Share

Part 6

Suami Miskinku di Ruang Nasabah Prioritas

Part 6

"Iya uangnya biar buat Ibu aja, tadi 'kan kita gak bawa apa-apa buat Ibu, jadi biar uang arisan itu untuk hadiah Ibu aja," kata Bang Jaya yakin.

"Lah kok gitu sih?"

Kesal, aku pun bangkit menarik tangan suami sebentar keluar.

"Abang, apaan sih, kok duit arisannya malah mau dikasih ke Ibu? 'Kan kita juga butuh Bang buat periksa rutin dan beli-beli makanan sehat buat utun."

Bang Jaya mengibas tangan, "kalau soal buat belanja sehari-hari dan periksa utun, kamu tenang aja Rin, Abang ada uang kok."

"Ya tapi, Bang-"

"Bener apa kata Jaya Rin, kasih aja uangnya ke ibumu, biar kalian nggak dihina-hina dan dibedakan lagi," potong Ibu mertua yang tiba-tiba sudah ada di teras.

"Eh Bu, udah pulang?"

"Udah cuma muter sekitaran sini aja, Nuna juga udah tidur nih."

"Oh tidur ya Bu. Ya udah kita langsung balik aja kali ya, arisannya juga udah selesai."

"Ya udah ayok."

"Bentar Arin pamit dulu ke dalam." Aku berbalik badan. "Tapi eh, seriusan ini uang arisan Bang Jaya mau dikasih ke Ibu Arin, Bu?" tanyaku lagi sambil kembali berbalik badan ke arah mereka.

"Serius. Udah kasih aja."

"Oh ya udah."

Aku pun masuk ke dalam.

"Bu, uang arisan Bang Jaya buat Ibu aja. Kami mau langsung pulang aja karena Nuna udah tidur."

"Gak usah, ambil aja," respon Ibu ketus.

Astagfirullah. Aku cuma bisa elus dada lalu pamitan pada yang lainnya dari pada meladeni beliau.

Duit arisan juga tetap kutinggalkan di atas meja, tak kuambil walau selembar.

"Eh beneran mau pulang sekarang Rin? Kok buru-buru amat. Kalau gitu Mbak antar kalian pake mobil ya," kata Mbak Juwita ketika aku menyalaminya.

"Eh nggak. Nggak usah, Mbak," tolakku cepat.

"Mereka gak akan mau Mbak karena suka mabok perjalanan kalau naik mobil, jadi percuma aja nawarin," ketus Mbak Opi.

Aku geram sebetulnya, tapi males kalau harus debat lagi sama itu orang. Akhirnya aku buru-buru saja ke depan meski tak ada yang mengantar kami ke pintu kecuali Mbak Juwita.

"Kalian hati-hati ya, bawa motor 'kan? Terus anak sama mertuamu naik apa dong pulangnya?" tanya iparku lagi.

"Naik-"

Tiiit!

Ucapanku terpotong saat ada klakson mobil bunyi kencang di depan rumah ibu.

"Ibu mertua naik taksi online kayaknya, Mbak," lanjutku akhirnya.

Mbak Wiwit manggut-manggut sambil mengedarkan pandang pada mobil itu.

Mendengar ada suara klakson mobil di luar, ibuku dan Mbak Opi akhirnya ikut keluar.

"Rin, kamu naik mobil aja ya sama Ibu dan Nuna, biar Abang naik motor sendiri," kata Bang Jaya. Aku mengangguk saja.

"Mari Bu, kami permisi," pamit mertua sambil menganggukkan kepala dengan sopan ke arah ibuku.

Ibu membuang muka, "halah kirian mobil pribadi, tahunya cuma taksi online," ketusnya pelan.

"Astagfirullah, gak ada akhlak emang tuh ibuku," celetukku kesal. Saat aku sudah berada dalam mobil.

"Husst, jangan gitu sama ibumu." Ibu mertua menyikut lenganku.

"Hehe maaf Bu, habisan Arin kesel."

Ibu mertua menggeleng-gelengkan kepalanya. Saat mobil mulai melaju aku menyenderkan punggung pada jok yang terasa sangat empuk itu.

"Aaah ternyata gini ya rasanya jadi orkay. Andai kita juga punya mobil kayak gini ya Bu, udah pasti kita juga jadi tamu kehormatan Ibunya Arin," kataku sambil merem melek.

"Tenang aja, suatu hari nanti mobil ini bakal jadi milik kamu kok," celetuk Ibu mertua.

Aku kontan menoleh, "maksud Ibu?"

Ibu mengibas tangan seperti ingin meralat ucapanya, "enggak. Itu maksudnya ... suatu hari nanti kamu juga pasti bakal punya mobil kayak gini, Rin. Tenang aja. Asal kamu sabar, terus berbuat baik dan tetep jadi diri kamu sendiri."

"Ouuh." Aku manggut-manggut.

-

"Rin, sebentar. Sini duduk dulu, biar Nuna Jaya yang tidurin ke kamar," ajak Ibu mertua ketika kami sampai dan aku hendak masuk ke dalam kamar.

Akhirnya, cepat kuberikan Nuna pada suamiku dan aku menuruti perintah mertua untuk duduk di sampingnya.

"Ada apa, Bu?"

"Ada yang mau Ibu bicarakan sama kamu."

"Apa?" Aku menyimak serius.

"Maaf ya Rin kalau Ibu kurang sopan, tapi tadi saat di rumah ibumu, Ibu gak sengaja denger pas kamu lagi berantem sama ibumu," ucap beliau sambil menatapku serius.

Aku menarik napas panjang.

"Gak apa-apa, Bu. Emang begitulah ibunya Arin, Ibu jangan kapok ya berkunjung ke sana."

Mertua menggeleng cepat, "nggak. Bukan begitu, maksud Ibu, tadi 'kan Ibu denger apa yang sedang jadi perdebatan kalian. Kalau gak salah soal Jayanta anak Ibu ya?"

Lagi, aku menarik napas panjang dan berat, "iya, Bu. Ibu jangan kesinggung ya. Ibunya Arin emang begitu orangnya, ceplas-ceplos."

"Gak apa-apa kok Rin, Ibu tuh gak bakal marah atau apa pun sama kamu. Cuman ... kamu serius gak mau memikirkan ulang kemauan ibumu itu?"

Alisku menaut, "kemauan apa maksudnya, Bu?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status