Share

Part 4

Suami Miskinku di Ruang Nasabah Prioritas

Part 4

Astagfirullah. Apa jangan-jangan mereka itu sebenernya orang jahat yang sedang menyamar jadi orang biasa? Mereka lalu menjadikanku mangsa mereka agar mereka bisa melancarkan aksi mereka?

Eh tapi, aksi apa? Apa tujuan mereka melakukan ini? Dan kenapa harus aku? Apa hubungannya mereka sama aku?

Enggak! Ya ampuun Ariniii lebay amat deh ini otaknya mikirnya. Mereka baik gitu sama aku. Mana ada mereka orang jahat, kebanyakan nonton sinetron emang nih aku.

"Iya Bu, maaf. Tadi itu Mbak Mumun tiba-tiba aja dateng nepuk pundak. Jaya juga sampe kaget, biasanya 'kan Mbak Mumun gak belanja ke pasar Sifon." Suami bicara lagi.

Aku kembali menguping.

"Hih ada-ada aja sih. Kalian hati-hati dong, ujian kita buat Arini itu belum selesai. Masih ada beberapa tahap yang harus dia lewati."

Hah, ujian? Ujian apaan dah? Kenapa gitu aku mesti diuji?

"Iya iya. Ya udah ah, Jaya mau ke kamar dulu. Capek."

Bang Jayanta terdengar bangkit dari kursi. Cepat-cepat aku kembali ke kasur dan pura-pura tidur.

"Jaya, bangunin juga Arin, takut dia telat, abis Dzuhur dia 'kan mau arisan di rumah ibunya," kata mertua lagi.

"Hmmm."

Bang Jayanta lalu membuka pintu kamar.

"Rin, Arin, bangun. Katanya mau pergi ke rumah Ibu."

Aku pura-pura menggeliat lalu duduk sambil mengucek mata.

"Udah adzan ya, Bang?"

"Belum sih, tapi bentar lagi. Takut kamu telat arisannya."

"Iya, Bang."

Aku lalu bangkit mengambil handuk. Semetara Bang Jayanta merebahkan diri di sisi ranjang

Selsai mandi aku bersiap-siap hendak pergi ke rumah ibuku. Pakai baju, jilbab dan tas yang baru tadi pagi kubeli tentunya.

"Cantik gak, Bang?"

"Waaw antiknya istri Abang. Gak nyangka dah bakal secantik ini."

"Isssh Arin tuh sebenernya emang cantik tahu, Bang. Cuma kurang modal aja makanya keliatan dekil gini."

Bang Jayanta bangkit dari sisi ranjang lalu memelukku dari belakang.

"Sabar ya. Akan ada saatnya kamu beli apa pun yang kamu mau. Abang janji," bisiknya.

Aku menatapnya dari cermin lemari yang sedang kupakai untuk mematut diri. Dia sedang cengar-cengir sambil memejamkan matanya.

Idih, apaan dah ni laki, lagi bayangin apaan coba dia? Akhirnya kusikut aja perutnya sampai dia meringis.

Dash!

"Adaww. Ariin ngapa Abang disikut astaga," katanya sambil memegangi perutnya.

"Haha rasain. Abisan sok sok an mau bikin adegan so sweet, bikin geli ada, hiih. Hahaha."

Dia menggelengkan kepala.

"Ya udah ayo berangkat sekarang aja, 'kan mau beli pizza dulu takut lama."

Bang Jaya baru akan menarik tanganku keluar saat aku lebih dulu menariknya tetap di tempat.

"Tunggu, Abang."

"Ada apa lagi?"

"Bang, boleh nggak Arin nanya?"

Alisnya terangkat, "boleh, mau nanya apa?"

"Tapi Arin mau Abang jawab jujur."

"Iyaaa. Apaan?" desaknya tak sabar.

"Maaf sebelumnya Bang, tadi Arin denger Abang lagi ngobrol sama Ibu, Ibu bilang Arin masih harus melewati beberapa ujian. Ujian apa emangnya? Dan maaf nih ya, Arin kok ngerasa kalian itu aneh sih. Kayak lagi ada yang disembunyiin dari Arin."

Suami bergeming agak lama.

"Abang, malah bengong." Aku mengguncang lengannya.

Dia mengerjap, "ah kamu nih, Abang nyembunyiin apa Rin? Gak punya apa-apa juga. Hehe. Dan soal Ibu, pokonya kamu tuh gak usah mikir yang macem-macem ya. Namanya orang udah tua emang suka begitu. Tingkanya suka aneh-aneh, maklumlah, korban sinetron." Bang Jaya agak berbisik di akhir omongannya sambil cengengesan.

Aku menggigit bibir dengan kening mengerut, "eh apa iya ya? Jadi sebenarnya kalian gak sembunyiin sesuatu?"

"Kagak. Udah ayok," ajaknya buru-buru.

Aku dan Bang Jaya pun keluar kamar lalu pamitan ke ibu mertua.

"Rin, Ibu ikut aja ya, biar bisa jagain Nuna di sana," pinta beliau.

"Eh beneran Ibu mau ikut? Takutnya lama gimana, Bu? Terus ... ya Ibu tahu sendirilah di sana bakal kayak gimana."

Ibu mertua mengibas tangan, "gak apa-apa, Ibu udah paham kok di sana bakal kayak gimana."

"Oh ya udah kalau gitu, berarti Arin pesen ojek dulu ya," kataku sambil buru-buru merogoh ponselku dari dalam tas.

"Eh nggak usah Rin, nanti biar Ibu aja yang nyari kendaraannya. Kamu sama Jaya berangkat aja duluan gih, 'kan mau beli pizza dulu."

Aku menggigit bibir, "beneran Ibu gak mau dipesenin ojek? Takut angkotnya lama Bu kalau naik angkot."

"Gak apa-apa. Lagian deket ini, cuma ke gang sebelah ya ampun kamu nih khawatir banget."

Aku nyengir dan akhirnya berangkat duluan karena mertuaku maksa nyuruh kami berangkat duluan ke gerai pizza.

Selesai beli pizza kami langsung otw ke rumah ibu. Ketika kami sampai ternyata mertuaku juga baru saja sampai. Beliau dan Nuna turun dari sebuah mobil mewah.

"Ibu naik mobil siapa itu, Bang?" tanyaku sambil menepuk pundak suami.

"Ah palingan taksi online, kayak gak paham aja," jawabnya enteng sambil mengibas tangan.

Eh apa iya ya? Kuteliti lagi mobil yang hendak pergi dari depan rumah ibuku itu.

Mobil mewah masa dijadiin taksi online, apa gak sayang ya? Gumamku dalam hati, ketika kudapati mobil tersebut ternyata bukan mobil yang kaleng-kaleng.

"Arin, malah bengong. Ayo," ajak mertua.

Aku mengerjap dan gegas menghampiri beliau yang sudah dekat teras.

"Assalamualaikum."

Kami langsung masuk karena pintu rumah ibuku sudah terbuka.

"Waalaikumsalam," balas Ibu dari ruang keluarga.

Kami menyalami ibu lalu ikut duduk di sofa lingkung. Belum juga kami berbasa-basi ibuku sudah bangkit lagi lalu menarikku ke belakang.

"Sini kamu Arini."

"Ada apa, Bu?"

"Kamu mau arisan apa mau piknik sih? Kok bawa semua anggota keluarga gitu?"

"Siapa? Ibu mertua maksudnya? Beliau 'kan mau jagain Nuna di sini, Bu."

Ibu mengecap bibir, "ck kamu itu Ariin Ariin, Nuna 'kan bisa suami kamu yang jaga, dia juga gak ada kerjaan 'kan? Jadi mertua kamu itu gak perlulah kamu bawa-bawa juga, menuh-menuhin tempat aja, tahu gak?"

Aku terhenyak, "Astagfirullah Bu, ngomongnya kok gitu amat sih? Kalau mertua Arin menuhin tempat, ya udah nanti Arin suruh beliau duduk di luar aja," responku tak habis pikir.

Sikap ibuku kalau sama suami dan mertuaku emang selalu gitu. Mentang-mentang Bang Jayanta katanya bukan mantu idamannya, beliau jadi memperlakukan suamiku dan ibunya begitu.

Ya, dulu setelah Mas Agas dan Mbak Opi menikah, ibu hendak menjodohkanku dengan seorang pria anak juragan entok, tetapi aku menolak karena tak punya kecocokan dengan pria itu.

Pria itu suka mabuk-mabukan dan kutahu dia juga suka main perempuan. Makanya aku nolak meski dijanjikan mas kawin sawah 5 hektar dan rumah 3 tingkat di daerah Rajeg.

Tapi gak nyangka hal itu justru jadi masalah untuk ibuku sampai sekarang, beliau selalu saja mengungkit dan sensian kalau melihatku dan Bang Jayanta.

Yang parahnya ibuku bahkan pernah ngomong gini, "sekarang kalian Ibu izinkan nikah, tapi Ibu doain kalian cepet cerai."

Aku cuma bisa geleng-geleng kepala saja sambil mengusap dada.

Mau dilawan gimana? Udah tabi'atnya begitu. Padahal aku bisa kembali menata hati dan melanjutkan hidup aja harusnya ibuku bersyukur.

Gimana kalau dulu saat Mbak Opi dan Mas Agas ketahuan selingkuh itu aku pendek akal lalu bu nuh diri? Hih, Naudzubillah.

"Ya udah bagus. Inget ya, kalau nanti Mbak Opi dan Masmu udah dateng, pastikan mertuamu itu keluar. Apaan sih bikin rusak suasana aja. Udah tahu ini acara keluarga, malah nimbrung aja. Dasar gak punya urat malu, maklum sih orang miskin emang begitu," ketus Ibuku lagi.

Lagi, aku terhenyak dan menggeleng tak habis pikir.

"Ibu apaan sih? Kok malah ngehina gitu?

"Ya nyatanya suami kamu dan ibunya itu orang miskin 'kan? Kamu sih gak nurut kalau dibilangin, coba kamu dulu nikah sama si Arkan anak juragan entok, mungkin sekarang hidupmu bahagia kayak Mbak dan Masmu. Ngeyel sih."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status