Share

Nasi Goreng Spesial!

Begitulah isi pesannya, waktu dulu aku sangat senang dikiriminya pesan begini. Tapi entah kenapa sekarang rasanya sangat hambar.

Aku tak bisa membayangkan bagaimana malam ini Mas Jaka memadu kasih bersama selingkuhannya. Sedangkan aku disini terlena dalam bahtera rumah tangga.

Jangan gegabah Ara. Aku berusaha menguatkan diriku sendiri, salah sedikit saja hancurlah semua yang saat ini direncanakan.

Kupejamkan mata, mencoba terlelap dalam mimpi tanpa gangguan ilusi terburuk yang pernah saat ini terpatri. Membuta diri lupa akan tujuan hidup sendiri.

Raga ini rasanya tak lagi berfungsi, semenjak kekasih hati mengkhianati dan memberikan luka yang bertubi-tubi hingga sulit untuk kuterima lagi.

Dia di sana bersenang-senang, sedangkan aku di sini malah menangis dalam dia. Dia di sana tertawa bahagia, karena mampu membohongiku yang saat ini kecewa karena pengkhianatan yang diberikannya.

Paham kah dia sana, bahwa aku disini terluka sendirian. Menantinya untuk segera memberikan sebuah kepastian, tapi sayang! Akhirnya aku terluka karena terlalu besar memberi kepercayaan.

Bodoh! Aku benar-benar bodoh, mempertaruhkan logika hanya untuk cinta yang sangat membutakan mata hatiku saat ini.

Entah apa kesalahanku di masa lalu, hingga sakit yang kurasakan saat ini tidak satupun keluargaku yang menahu.

Hancur! Ibarat kaca yang terhempas, disusun perlahan tak akan pernah kembali menjadi bentuk asalnya.

Aku menatap langit-langit kamar dengan perasaan yang tak dapat digambarkan. Air mata kubiarkan mengalir begitu saja membasahi bantal.

Harusnya kalli ini tak boleh ada tangisan lagi, aku harus kuat menghadapi masalah sendirian. Tanpa harus melibatkan orang yang tersayang.

Namun, aku juga manusia punya rasa lelah, lemah dan juga ingin dirangkul saat berada di posisi sekarang.

Kusempatkan membalas pesan Mas Jaka terlebih dahulu. Aku harus bisa bermain lebih halus darinya, baru setelah itu akan kuhempaskan secara perlahan hingga ia merasakan sakit yang amat terdalam.

"Selamat malam, Sayang. Semangat kerjanya dijaga kesehatannya. Aku tidur duluan ya. Jangan ada orang ketiga diantara kita."

Begitulah isi pesan yang kukirimkan padanya, sengaja kalimat akhir kubuat. Entah dia sadar atau tidak, mungkin sekarang dia sedang beradu peluh dengan orang lain. Hingga tak akan sempat membaca pesanku, bahkan sekadar untuk melihat ponselnya.

Nikmatilah dulu kebahagiaan duniamu sekarang, akan ada saatnya kau benar-benar terpuruk lalu terjatuh dibawah lututku. Aku berucap dalam hati.

Dan saat itu juga aku akan menjadi sakit yang membuatmu sulit untuk melupakannya. Dan aku juga akan menjadi rindu yang akan membuat perlahan-lahan terbunuh dengan rasa yang mendera.

Kutarik nafas dalam-dalam, lalu membuangnya secara perlahan. Sudah cukup! Aku tak ingin mengulang-ulang tangisan yang tak akan ada gunanya.

Dia hanya titipan, salahku karena mencintai berlebihan. Padahal kenyataannya, dia makhluk Tuhan yang suatu saat akan pergi dari kehidupanku.

Kumatikan ponsel lalu bergegas untuk tidur, terbang ke alam mimpi.

Mimpi buruk yang akan melanda dalam kegelisahan!

****

Entah berapa lama aku tertidur. Kurasakan keanehan saat terbangun dari tidurku. Aku merasakan sangat berat di pinggang.

Saat aku berbalik, aku mendapati Mas Jaka tertidur di samping. Kutatap wajah tampannya. Tak menyangka ia yang lemah lembut, tak pernah kasar bisa membuatku terluka hingga tak bisa menggambarkannya bahkan walau hanya dengan kata-kata.

Refleks langsung saja kutepis tangannya, hingga membuat ia terbangun.

"Sayang, kenapa?" tanya Mas Jaka melihatku menepis tangannya. Mungkin ia terkejut dengan perlakuan yang baru saja ia dapatkan.

Aku pun sama tak kalah terkejutnya dengan apa yang kulakukan. Bisa-bisa ini membuatnya menjadi curiga bahwa aku sudah mengetahui akal busuknya.

Aku salah tingkah, mengapa aku bisa langsung refleks melakukan itu.

"Maaf, Mas. Aku kaget, aku kira siapa yang meluk pinggangku." Alasanku. Mas Jaka terlihat tersenyum, senyum yang dulunya sangat menjadi candu untukku. Kupaksakan membalas senyuman yang diberikan Mas Jaka., agar tak terlihat kesedihan di mata ini.

"Oh, yaudah kalo gitu. Kenapa bangun, sini tidur lagi," ucapnya menarik lenganku untuk kembali tidur di sampingnya. Bukannya merebahkan diri, aku malah menarik tanganku dari genggamannya. Mas Jaka mengernyitkan dahinya, seolah-olah heran dengan perlakuan yang kuberikan saat ini.

"Udah jam 6 pagi, Mas. Aku mau masak dulu, hari ini kamu ke kantor kan. Lagian aku juga sekalian mau ke butikku." Aku langsung turun dari ranjang. Membayangkan ia menghabiskan malam yang panjang bersama wanita itu, membuatku merasa jijik pada diri sendiri saat kami bersentuhan.

"Yaudah, Mas mau tidur sebentar. Bangunin yah nanti, Mas capek banget soalnya," ucapnya, lalu kembali merebahkan dirinya, mencari posisi ternyaman.

Kutatap punggungnya yang saat ini membeleakangiku. Aku tersenyum getir, tentu saja dia lelah. Karena dia tadi malam baru saja mereguk kebahagiaan dengan zina yang mereka lakukan. Tanpa memikirkan apa konsekuensi yang akan dia dapatkan selanjutnya.

"Tentu saja kau merasa lelah, Mas. Dirumah kau bilang lelah, tapi diluar kau menikmati layaknya singa yang kelaparan," geramku pelan takut terdengar olehnya. Kukepalkan telapak tanganku, menahan gemuruh di dalam dada yang saat ini membuncah ingin segera dilampiaskan pada seseorang yang sedang asik terlelap di pembaringan.

Kutinggalkan ia sendiri di kamar, segera aku menuju dapur lalu memasak nasi goreng.

Nasi goreng untukku berbeda dengan punyanya.

Untuk Mas Jaka sengaja aku membuatkan nasi goreng yang sangat pedas dan asin. Agar dia tahu bahwa kehidupan tak selamanya manis.

Aku tersenyum membayangkan bagaimana reaksinya nanti ketika memakan nasi goreng buatanku yang kubuat dengan rasa penuh kasih dan cinta ... dan sedikit amarah yang membara.

Aku tertawa sendiri di dalam hati. Tak sabar dengan apa yang terjadi dengannya nanti. Mungkin tidak akan berdosa, mengerjai suami sendiri. Ah, masih pantaskah dia kusebut suami. Mungkin lebih tepatnya calon mantan suami.

Kulihat jam di dinding masih menunjukkan pukul setengah tujuh. Cukup setengah jam saja aku bergulat dengan peralatan dapur.

Bergegas aku masuk ke kamar dan langsung mandi. Kupakai pakaian yang terlihat menarik, kupoles wajahku tak terlalu tebal. Cukup cantik dengan alami tanpa tambahan make up yang menor.

Aku penasaran, apa sebenarnya kelebihan dari wanita perebut suamiku tersebut. Ah, mungkin caranya di ranjang yang membuat Mas Jaka lupa haluan. Oh atau mungkin dari cara dia menggoda Mas Jaka, hingga membuat Mas Jaka tak tahan.

Tiba-tiba tangan melingkar di pinggangku, dan itu adalah tangan Mas Jaka. Dulu aku suka diperlakukan begini, tapi saat tahu tangan ini pernah memegang wanita lain. Rasanya aku geli bercampur jijik. Sangat-sangat terasa jijik, andai bisa aku ingin langsung saja mandi kembang tujuh rupa.

"Cantik sekali istriku hari ini," ucapnya.

"Apakah hari-hari sebelumnya aku tak terlihat cantik, Mas." Aku berucap lirih, sengaja menampilkan mimik sedih di wajah.

"Kau terlihat cantik setiap hari dimataku, bolehkah kita mencobanya pagi ini. Aku ingin memakanmu ," bisiknya di telinga sambil membalikkan badanku.

"Terimakasih, Mas, atas segala pujian yang sudah kamu berikan. Mandi dulu sana, makanan sudah kusiapkan di atas meja." Belum sempat bibirnya bertaut dengan bibirku. Aku langsung mendorong dadanya pelan, sebelum dia melakukan hal yang lebih lagi.

Walaupun aku ingin, aku tetap akan menahannya.

Entah berdosa atau tidak karena sudah melakukan penolakan, yang pasti saat ini rasa kecewaku sudah terlalu besar padanya.

"Ah, tapi aku sangat ingin sekali memakanmu, Sayang!" Aku mencoba bersikap biasa-biasa saja.

"Waktu kita kan masih panjang, lagipula saat ini aku sedang kedatangan tamu. Jadi tidak bisa." Kembali aku berbohong lagi.

"Sudahlah, mandi sana. Jangan cemberut begitu, nanti tampanmu hilang," ucapku lagi sambil tersenyum manis padanya.

Sengaja saja! Agar terlihat seperti biasa.

"Istriku memang pandai membuatku senang," ucapnya lalu berlalu pergi ke kamar mandi.

Jika aku pandai membuatmu senang, lalu kenapa kamu bisa tergoda wanita di luaran sana, Mas! Batinku menjerit menatap punggungnya.

Lagi-lagi aku harus menarik nafas yang panjang sebelum mengembuskan dengan pelan. Kusiapkan pakaian untuknya berangkat ke kantor. Walau bagaimanapun aku masih berstatus sah sebagai istrinya. Jadi segala keperluannya, aku harus tetap mempersiapkannya.

Mas Jaka keluar dari kamar, sudah rapi dan wangi. Wajah tampannya tak pernah hilang dari pandanganku.

"Oh ya, Sayang, aku lihat tadi malam bajuku kok ada di dalam koper semuanya?" tanya Mas Jaka tiba-tiba yang membuat mataku melebar sempurna.

Astaga, karena terlalu larut dalam tangisan, aku sampai melupakan untuk menyusun kembali pakaian Mas Jaka ke dalam lemarinya.

"Aku berniat membersihkan lemari pakaian, Mas, jadi bajumu kubersihkan. Namun, karena kecapekan karena kegiatan hari kemarin, jadinya aku urungkan dan membuatku lupa untuk membereskannya kembali," kataku berbohong.

Mas Jaka menganggukkan kepalanya, lalu ia ingin berucap kembali. Namun segera kupotong.

"Makan dulu, Mas. Nanti nasi gorengnya dingin, cepatlah memakai pakaianmu."

Aku segera ke luar dari kamar dan menunggunya di ruang makan.

"Sayang, apakah aku sudah tampan?" tanyanya. Biasanya aku akan menjawab panjang lebar dengan ciri khasku. Namun kali ini, aku hanya akan menjawab singkat saja.

"Tampan!" Aku berucap sambil menyendokkan nasi goreng spesial ke dalam piringnya.

"Sayang kamu hari ini terlihat berbeda," ujarnya yang memilih untuk duduk di kursi sebelahku. Kulihat dia masih membenarkan dasinya, biarlah dia bisa sendiri.

"Mungkin hanya perasaanmu saja, Mas!" Aku sebenarnya sudah lelah berpura-pura baik-baik saja. Tidakkah ia mengerti itu semua.

"Tapi, Mas rasa ada yang berbeda darimu. Apa Mas--"

"Mas, aku ingin punya anak." Aku langsung memotong ucapannya dan menatapnya matanya dengan raut wajah yang serius.

Kulihat raut keterkejutan di wajahnya. Beberapa kali dia berdehem mungkin menghilangkan rasa salah tingkahnya.

"Nanti saja ya, Sayang. Mas belum siap punya anak, kita nikmati saja dulu masa muda kita," ucapnya. Aku menampilkan raut wajah kecewa.

Dia ingin memegang tanganku. Akan tetapi aku langsung menepisnya. Kutahan air mataku, kecewa itu yang kurasakan saat ini.

"Makan lah, Mas. Nanti terlambat," ucapku lalu menyuapkan nasi goreng ke mulutku. Ia lalu menyuapkan nasi ke dalam mulutnya.

Kuperhatikan tak ada reaksi apapun yang diberikannya.

"Enak, Mas?" tanyaku yang melihatnya dengan santai memasukkan nasi goreng ke dalam mulutnya.

"E-enak, Sayang," ujarnya sambil menampilkan senyum yang terlihat terpaksa.

"Huah!! Pedas, air mana air!" teriak Mas Jaka, aku tak perduli. Dia masih punya tangan untuk mengambil air sendiri.

Mas Jaka buru-buru menuangkan air putih ke gelas miliknya dan meminumnya hingga tandas.

"Kenapa, Mas?" tanyaku padanya.

"Huh ... Pedas, Dek. Makanannya pedas banget, terus keasinan. Mas nggak kuat makannya."

"Tadi katanya enak, Mas!" ujarku menatapnya dengan tajam.

"Iya, sebenarnya enak. Hanya saja, sepertinya kamu terlalu banyak menaruh cabai dan juga garamnya. Kamu mau bunuh Mas dengan cara memberi makanan tak layak begini," ujarnya lagi yang membuatku terdiam.

Aku pura-pura menampilkan wajah terkejut setelah mendengarkan perkataannya, lalu merubahnya menjadi sedih. Aku berdiri dan meninggalkannya.

"Ini belum seberapa, Mas. Masih permulaan," gumamku lalu mengusap sudut mataku.

"Sayang!" Masih terdengar teriakkan Mas Jaka mengiringi kepergianku.

-

-

-

-

Next?

Bantu vote ya semuanya. Sehat selalu, sayang pembaca semuanya ❤️🥰🥰🥰

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status