Aku memejamkan mataku. Mengistirahatkan pikiran yang sempat lelah.
Tunggulah, Mas. Besok aku akan pergi ke kantormu! Aku membatin dengan perasaan yang campur aduk.****Aku tertidur dengan sangat pulas, saat terbangun tak kudapati mas Jaka disini. Kemanakah dia? Aku bertanya-tanya pada diri sendiri.Ah, terserah lah apa peduliku. Toh, sebentar lagi kami juga tidak akan bersama. Aku harus membiasakan diri tanpanya.Cukup tadi malam aku terlihat bodoh, dan hampir saja membuat diri ini tersiksa. Bahkan juga bisa kehilangan nyawa.Entah jin apa yang merasukiku tadi malam sampai-sampai aku melakukan hal tak waras itu. Ah, mengingat kejadian itu aku bergidik ngeri sendiri.Untung saja Tuhan masih sayang terhadapku, dan sekarang dia memberikanku kesehatan sepenuhnya.Aku bergegas mandi membersihkan diri, di dalam kamar mandi aku mengingat kejadian malam tadi. Tiba-tiba aku tertawa sendiri. Ah, pokoknya betapa bodohnya aku tadi malam.Tok ... Tok ... Tok ...Pintu kamar mandi diketuk, aku terdiam menunggu suara di luar pintu."Dek, kamu di dalam kah?" Terdengar suara. Ternyata jin buaya yang mengetok pintu.Iya Jin buaya, buaya darat maksudnya. Hahaha!"Iya," teriakku singkat.Terdengar langkah kaki menjauh, berarti dia keluar kamar kembali.Setelah selesai membersihkan diri, aku keluar dan menemukan Mas Jaka sedang duduk di tepi tempat tidur sambil.memegang hape.Mungkin dia sedang berbalas pesan dengan wanita mudanya. Ah, apa peduliku.Aku bergegas memakai baju, lalu berlenggang menuju dapur.Ternyata disana sudah tersedia berbagai makanan.Mungkin Mas Jaka membelinya, tidak mungkin dia memasak. Memasang tabung gas saja harus tukang antar yang memasangkan.Entah sadar atau tidak, dia sepertinya belum mengetahui bahwa aku sudah berada di meja makan.Aku bergegas untuk sarapan, perutku rasanya keroncongan."Sayang, yaampun Mas kira kemana. Ditungguin di kamar ternyata udah disini. Kapan keluarnya coba?" tanyanya panjang lebar."Baru aja, situ kan sibuk sama ponsel. Mungkin bahas kerjaan lagi, sampai ketawa-ketawa sendiri," ucapku cuek bebek."Ciee, cemburu. Masa sama pekerjaan Mas sendiri cemburu sih, Sayang," ucapnya yang hampir membuat isi perutku keluar.Aku hanya diam, sepertinya tingkat kepedean Mas Jaka mulai meninggi.Aku bergegas menyelesaikan sarapanku. Mas Jaka sudah terlihat ingin pergi ke kantor."Sayang, Mas berangjat kerja dulu ya." Dia menyodorkan tangannya padaku.Aku menyambutnya, sebenarnya aku enggan. Tapi nanti dia malah curiga. Pucuk kepalaku dicium olehnya.Jijik rasanya. Buru-buru kubersihkan bekas ciumannya di pucuk kepalaku. Kubersihkan meja makan dan mencuci piring kotor.Aku bergegas masuk ke kamar lalu memoles sedikit wajahku.Aku takut jalanan akan macet, nanti terlambat untuk sampai ke kantor Mas Jaka.Kuambil tasku, tak lupa mengabari Dina bahwa aku akan telat sampai ke toko butik.****Kupacu mobilku dengan kecepatan sedang, jalanan saat ini benar-benar sangat macet.Tapi tak apa, aku masih tau dimana jalan menuju kantor Mas Jaka.Drrt ... Drrt ...Nama Nandini tertera di layar, segera ku pasang earphone ke telinga. Kitekan tbol hijau lalu terdengarlah suara Nandini. Jalanan sedang macet jadi aku harus berhati-hati, salah-salah nanti malah aku yang kena masalah.[Kau di mana?]Suara Nandini mengalihkan perhatianku dari arah jalanan.[Masih di jalan.] Jawabku dengan cepat.[Jalanan di sini sangat macet.]Aku memberitahukan lagi padanya.[Loh, aku menuju toko butikmu. Jalannya aman-aman saja tidak macet.]Ucap Nandini di telfon, aku lupa memberitahukannya bahwa aku sekarang menuju kantor Mas Jaka.[Aku ingin menuju kantor Mas Jaka. Tunggulah kau di sana, ada hal yang perlu kuselesaikan.]Segera kuberi tahu dia, agar tak menungguku terlalu lama. Jika bosan, dia bisa pergi kemana saja.[Baiklah, kutunggu di sini saja ya.]Nandini berbicara dari telfon, aku hanya menjawab iya lalu mematikan telfon secara sepihak.Bergegas kupacu mobilku menuju kantor Mas Jaka.Saat hampir mendekati kantornya, aku melihat Mobil Mas Jaka di restoran dekat kantornya.Hampir setengah jam aku menunggu, akhirnya dia keluar. Dan lagi-lagi bersama wanita yang ada di foto tersebut.Secepat mungkin kufoto mereka yang terlihat bergandengan tangan serta tertawa bahagia. Mungkin bahagia! Padahal sekarang mereka menghadapi penderitaan.Mobilku berada lebih jauh dari mobil.mereka, jadi aku rasa aman. Mereka juga tidak akan curiga denganku.Seketika mobil mereka membelah jalanan yang lenggang, dan aku! Aku masih setia membuntuti mereka.Akhirnya mereka sampai, Mas Jaka keluar bersama daun muda itu dan ternyata Mas Jaka dan wanita itu memang satu kantor.Mereka masih tetap terlihat bergandengan tangan. Benar-benar berani sekali menampilkan hubungan mereka.Apa karyawan disini tak tahu bahwa hubungan mereka adalah hubungan yang terlarang. Terlarang aku sebut, karena Mas Jaka sudah memilik istri.Aku biarkan mereka sesaat, kuawasi mereka dari luar. Setelah terasa jauh, baru aku bergegas keluar dari mobil.Aku masuk menuju kantor, terlihat para karyawan mulai menyapaku. Namun wajah mereka terlihat tak baik-baik saja.Aku paham mungkin mereka takut aku mengetahui kebusukan Mas Jaka."Ibu mau ke mana?" tanya salah satu karyawan Mas Jaka."Menemui suami saya," jawabku santai seraya tersenyum."Bagaimana jika saya telfonkan dulu, saya takut Pak Jaka sedang sibuk." Dia menuju meja yang terdapat telfon. Aku langsung mencegahnya."Tidak perlu, saya istrinya jadi masih berhak disini," ucapku sambil memegang tangannya. Aku tau pasti dia khawatir."Tapi, Bu ...." Aku langsung menaruh jari telunjuk di bibir mengisyaratkan untuk diam.Aku tau pasti dia merasa khawatir denganku, oh atau mungkin dengan bosnya sendiri.Aku bergegas melangkahkan kaki jenjangku menuju ruangan Mas Jaka.Saat di depan pintu aku mendengar suara tertawa yang beriringan.Kubuka pintu perlahan.Deg!"Wah! Ada acara apa nih. Main pangku-pangkuan kayanya seru!" teriakku yang langsung melempar tas ke atas meja kerjanya.Mereka berdua terkejut, Mas Jaka mendorong wanita itu hingga bangkit dari pangkuannya.-----Next? Semoga suka ya.Nah, disini konflik bakalan dimulai satu persatu.Gimana menurut kalian? seru nggak sih?Kasih komentarnya dong."Wah! Ada acara apa nih. Main pangku-pangkuan kayanya seru!" teriakku yang langsung melempar tas ke atas meja kerjanya.Mereka berdua terkejut, Mas Jaka mendorong wanita itu hingga bangkit dari pangkuannya.Sepertinya mereka baru menyadari kehadiranku. Keringat membasahi wajah kedua manusia yang ada di depan.Aku masih bersikap santai, kedua tangan kutaruh di pinggang layaknya seorang majikan yang marah sambil menatap pembantunya."Loh, kok dihentikan acara pangku-pangkuannya. Padahal aku lihat, seru loh." Aku berucap sambil menaikturunkan alis."Sayang, aku bisa jelaskan! Ini sama sekali nggak seperti apa yang kamu lihat dan pikirkan!""Ya sudah kalo begitu silakan jelaskan padaku! Agar aku tak terus berkelana dengan pikiran negatif yang sedang menari-nari dalam benakku. Cepat jelaskan!" tegasku penuh penekanan sambil menatap Mas Jaka dengan tajam.Entah kenapa tidak ada lagi rasa sakit, mungkin sudah terhempas jauh dari awal saat aku mengetahui penghianatan Mas Jaka.Mungkin saat in
"Lebih baik kita berpisah!" teriakku lantang sebelum meninggalkan ruangan itu. Masih sempat kulihat senyum meremehkan dari wanita itu.Aku berlari melewati karyawan, banyak tatapan iba dari mereka. Namun tak kuhiraukan. Tak ada airmataku yang keluar, hanya rasa benci yang tertanam sekarang.Masih terasa tetes demi tetes darah yang keluar dari hidungku. Hatiku sudah membeku, hancur lebur tak bersisa.Kuusap berkali-kali darah yang keluar, mungkin orang akan iba. Namun aku, aku merasa sakit ini tak terlalu menyakitkan.Kulewati kerumunan orang yang menatap dengan bingung, aku tak peduli. Aku terus berlari menuju mobilku.Entah kenapa air mata tak keluar, padahal jelas-jelas bibirku bergetar menahan sesak di dada.Bergegas aku masuk ke mobil, ku kirim pesan pada Nandini agar menyusulmu ke kantor Mas Jaka. Kukirim alamat kantornya, untuk saat ini sepertinya aku belum bisa membawa mobil sendiri.Lihatlah, bahkan saat aku berlari Mas Jaka tak mengejarku. Apa wanita itu lebih penting dari ak
Tapi apa?! Sekarang aku menangis lagi, karena luka yang ditoreh Mas Jaka bukan sekali tapi berkali-kali.Kuhapus sisa air mataku dengan kasar. Begitupun Nandini. Nandini melajukan mobil dengan kecepatan sedang.Jika bukan karena ia menangis, mungkin aku juga tidak akan menangis."Apa rencanamu?"tanya Nandini."Aku ingin mengobati bekas tamparan ini?"jawabku dingin sambil menatap lurus ke depan."Apa perlu kita melakukan visum?"tanyanya lagi."Tentu saja, ini akan kujadikan bukti di pengadilan," ucapku tegas."Apa kau yakin?" tanya Nandini sekali lagi."Tentu saja. Sudahlah Nandini apalagi yang perlu dipertahankan. Apa kau ingin aku dijadikan samsak saat dia marah," ucapku menatap Nandini tajam."Bukan begitu, siapa tau kau ingin mendapatkan bukti lebih," ucap Nandini."Bukti apalagi, bukankah ini sudah termasuk KDRT," ucapku tegas."Betul, siapa tau kau ingin memergoki mereka sedang enak-enak," ucapnya diiringi kekehan kecil."Ah, peduli badai lah. Mau mereka ngapain itu juga bukan ur
"Kurang ajar! Awas saja kau Jaka! Tidak akan aku ampuni dirimu."Ayah berteriak lalu mengambil vas bunga dan melemparkannya.Untung saja vas bunga itu terbuat dari bahan plastik, jadi tak mudah pecah. Aku menatap Ayah dengan perasaan yang berkecamuk.Baru kali ini aku melihat ayahku semarah ini, biasanya jika sedang marah Ayah pasti bisa mengendalikan amarahnya.Kugenggam erat pakaianku, rasa takut menyeruak di dalam dada. Ibu memelukku lalu mengajakku untuk duduk di sofa.Ibu pergi ke dapur dan kembali membawakan segelas air putih untukku.Aku meminumnya hingga tandas, tenggorokanku rasanya kering sekali. Seperti sudah lama tak minum.Kutatap Nandini yang melamun memandang vas bunga di lantai. Aku memandangi Ibu, sepertinya Ibu mengerti lalu menarik tangan Nandini.Nampak raut terkejut darinya, aku segera mengajaknya duduk di sofa.Sedangkan Ayah, dada Ayah naik turun. Nafasnya tak beraturan.Ayah meremas rambutnya frustasi lalu duduk di sofa lainnya."Ayah ...," panggilku.Baru saja
"Panggil kedua orangtuamu untuk kesini," ucap Ayah dingin, lalu duduk menuju sofa.Mas Jaka menatapku sendu. Aku langsung memalingkan wajahku."Untuk apa orangtuaku dipanggil kesini?" tanya Mas Jaka. Ah, dia berlagak pura-pura tak tahu kesalahannya."Agar mereka tau apa yang kau lakukan pada putriku," ucap Ayah."Memang apa yang aku lakukan? Aku hanya mengajaknya pulang. Jangan ganggu rumah tangga kami!" teriak Mas Jaka lantang."Kamu! Pasti kamu kan yang sudah membuat Ara begini! Kamu memang wanita tak tau diri. Pantas saja tidak ada laki-laki yang menyukaimu!" teriak Mas Jaka sambil menunjuk Nandini.Plak!Aku berdiri menghampirinya dan langsung menampar wajahnya."Jangan hina sahabatku! Dia tak ada urusannya dengan kita. Kau yang salah, kau yang sudah membuatku seperti ini." Aku menekankan setiap kalimat yang keluar dari mulutku, entah kenapa tak ada lagi rasa kasihanku padanya."Kita pulang, Sayang," ucap Mas Jaka memegang lenganku. Namun segera kutepis, risih rasanya tanganku dip
Ting![Pulanglah malam ini, ada yang ingin kubicarakan! Jangan selalu beralasan lembur, aku juga perlu waktumu walah hanya semenit!]Satu pesan masuk ke gawaiku. Dan pengirimnya adalah istriku.Aku bingung tumben sekali dia mengirimkan pesan seperti ini, biasanya tidak pernah. Jika aku pulang malam, dia pasti selalu memaklumi. Kenapa sekarang dia memintaku agar pulang malam ini.Aku jadi khawatir, takut terjadi apa-apa dengannya."Mas, kenapa sih? Kok dari tadi natap gawai terus?" Suara Yose mengagetkanku.Segera kumasukkan gawai ke saku celana."Nggakpapa, ayo kembali ke kantor. Aku sudah membelikan kalung bahkan memasangkannya secara langsung padamu," ucapku padanya."Eits, tapi entar malam kamu ke tempatku lagi kan?" tanyanya manja."Tidak bisa, istriku meminta waktu untuknya malam ini," ucapku ketus."Istri? Istri terus, aku kapan dijadiin istri sama kamu. Anak dalam kandunganku juga butuh seorang ayah, jangan nunggu kandunganku besar dulu baru kamu mau bertanggung jawab," ucapnya
"Jika terjadi apa-apa dengan Mamaku, aku takkan memaafkanmu, Sayang." Mas Jaka berbisik ditelingaku.Aku bergidik ngeri, entah apa yang ia lakukan nanti. Yang terpenting sekarang adalah kesalamatan Mama.Sempat terjadi perdebatan saat ingin membawa Mama ke rumah sakit. Mas Jaka yang selalu ingin bersamaku, dia tak ingin dipisahkan. Ayah berusaha keras agar Mas Jaka tak satu mobil denganku, takut terjadi apa-apa.Jadilah kami memakai mobil masing-masing untuk menuju rumah sakit. Kami menuju rumah sakit terdekat.Setelah lima belas menit akhirnya kami sampai di rumah sakit. Karyawan di rumah sakit bergegas membantu untuk menyambut Mama.Mama di masukkan ke ruang VIP agar lebih mudah, dan tidak terlalu berisik.Kami yang berada dalam ruangan ini semua terlihat khawatir. Namun berbeda dengan Mas Jaka seperti ada sesuatu yang membuatnya senang.Entahlah, sepertinya Mas Jaka sudah mulai tak waras.Aku duduk di sofa ruangan ini, sambil memijit pelan kepalaku yang sakit. Nandini juga sekekali
"Siapkan saja mentalmu, saat kau kehilangan semua. Maka kau akan merasakan penyesalan yang mendalam," bisikku di telinga Mas Jaka dengan nada mengejek.Terdengar nafasnya yang memburu, mungkin dia sekarang sedang menahan amarah. Ah, aku takkan selemah dulu lagi, Mas. batinku."Jaga omonganmu Ara, aku tak pernah mengajarkanmu untuk melawanku!" teriaknya sambil menunjukku dengan dada naik turun."Aku akan berhenti bicara, jika duniaku benar-benar sudah tak ada," ucapku menantangnya."Jangan bicara tentang dunia Ara! Duniamu ada padaku. Bahkan surgamu juga padaku," ucapnya dengan melemah.Terlihat penyesalan di matanya. Tapi maaf, aku tak akan terbuai kembali."Buktikan saja pada mereka, bahwa cinta kita memang hanya sampai di sini.Andai kau tak berkhianat mungkin kita akan tetap bersama," ucapku dengan senyum termanis.Ada luka yang menganga di sana, di dalam hati. Aku hanya berusaha untuk menutupi agar tak terlihat lemah."Kita masih bisa memperbaiki semuanya Ara. Mas mencintaimu," uc