Share

Aku Hanya Sedang Lelah, Mas!

"Ini belum seberapa, Mas. Masih permulaan," gumamku lalu mengusap sudut mataku.

"Sayang!" Masih terdengar teriakkan Mas Jaka mengiringi kepergianku.

Aku bergegas masuk ke kamar mengambil tas dan juga ponsel.

"Sayang, Mas minta maaf. Mas nggak ada niatan buat bikin kamu tersinggung, kamu jangan marah dong, Sayang," ujarnya mencoba memberikan alasan. Ia menghalangi jalanku, aku tak mempedulikannya.

"Istri aku kenapa sih? Kok jadi ngambekan gini, coba sini cerita dulu sama, Mas," ujarnya lagi sambil memegang tanganku.

"Aku capek, Mas!" ujarku langsung menunduk dan air mata jatuh begitu saja.

"Sayang, jangan menangis. Maafkan aku, maafkan kata-kata kasarku tadi," ucap Mas Jaka.

Bukan tentang itu, Mas. Aku hanya lelah saat harus berpura-pura baik-baik saja di depanmu. Aku lelah menjadi wanita yang sok tegar, padahal kenyataannya aku rapuh sangat rapuh.

Aku sekarang hancur sendirian tanpa ada lagi yang dapat kujadikan sebagai sandaran.

Aku melepaskan oelukannya. Lalu bergegas pergi dari hadapan Mas Jaka. Ia seperti kebingungan saat melihatku bertingkah seperti ini.

Kutinggalkan ia sendirian di rumah. Tak peduli lagi dengan teriakannya yang terus memanggilku.

Kupacu mobilku dengan kecepatan sedang menuju butik milikku.

Sepanjang perjalanan aku hanya tersenyum, entah tersenyum untuk apa. Mungkin, untuk kekacauan dan kekecewaan yang diberikan.

Miris! Sangat-sangat miris, entah mengapa harus terjadi mimpi buruk yang tak pernah kumimpikan ini!

Sekitar lima belas menit dalam perjalanan akhirnya aku sampai di toko butik milikku. Aku lalu berlenggang masuk ke toko.

"Selamat pagi, Bu," sapa karyawan padaku.

Aku hanya menganggukkan kepala dan tersenyum.

"Bu, di ruangan Bu Nandini sudah menunggu," ucap Dina karyawan kepercayaanku.

"Baiklah, terimakasih." Aku bergegas masuk ke dalam ruanganku dan mendapati Nandini yang sedang makan disana.

Kutaroh tas di atas meja, lalu memasang wajah datar. Sepertinya Nandini baru menyadari aku datang, hingga dia hanya menampilkan senyum terlebar miliknya.

"Bentar, aku habisin makan dulu." Dia bergegas memasukkan makanan ke mulutnya.

Uhuk!

Uhuk!

Aku bergegas memberikannya air minum.

"Makanya, makan jangan kaya orang dikejar hantu. Nggak bakalan aku minta juga." Aku berucap, lalu duduk di sofa ruanganku.

"Iya-iya maaf, aku mau ngomong sama kamu," ucapnya.

"Yaiyalah mau ngomong, terus kesini mau apa kalo nggak ada yang diomongin. Numpang makan," ucapku dingin dengan wajah datar sambil memainkan ponselku.

"Iss, aku serius! Kamu ngajak bercanda mulu," ucapnya dengan bibir yang dimonyongkan.

"Aku juga serius, emang ada raut di wajahku terlihat seperti sedang bercanda, heh." Aku melototkan mataku padanya. Hingga membuatnya tertawa.

"Hehe, kamu semenjak kita ketemuan kemaren. Jadi banyak berubah," ucapnya sambil memainkan jari.

"Berubah gimana? Jadi Batman?" tanyaku dengan alis terangkat sebelah.

"Bukan, jadi algojo. Ganas!" teriaknya padaku.

Aku langsung menutup telingaku, suaranya mendengung di indera pendengaranku.

"Yaudah langsung aja mau ngomong apa?" tanyaku padanya tanpa basa-basi.

"Kasih jus dulu kek, traktir makan kek, kasih jajan kek," ucapnya yang membuatku geram di dalam hati.

"Kan tadi udah makan sama minum," ucapku sambil menahan kesal. Menghadapi Nandini memang harus memiliki kesabaran yang ekstra jumbo.

"Itu pakai uangku, belum pakai uangmu," ucapnya lagi.

"Nanti, sekarang mau ngomong apa?" tanyaku sekali lagi.

"Beneran," ucapnya dengan mata yang sengaja dikedip-kedipkan.

"Iyaa," jawabku penuh penekanan. Semakin dilawan semakin tak terselesaikan perdebatanku dengannya.

"Yaudah, ngomong sekarang," ucapku padanya.

Nandini diam, entah apa yang sedang dipikirkannya. Lama aku menunggunya untuk berbicara namun tak kunjung mulutnya terbuka.

"Nggak ada sih, aku cuma mastiin kamu baik-baik aja. Siapa tau nanti malah gantung diri, kan," ucapnya dengan santai, lalu mengambil ponselnya dalam tas.

"Nandini!" teriakku kesal kepadanya. Orang yang kuteriaki hanya cuek bebek.

Aku menarik nafas dalam lalu menghembuskannya dengan kasar.

Tok ... Tok ... Tok ...

"Masuk," ucapku.

Kepala Dina menengok ke dalam ruanganku.

"Ada apa, Din?" tanyaku padanya

"Ada Pak Jaka di luar, Bu," ucapnya.

Aku bingung, untuk apa Mas Jaka kesini. Kulihat Nandini mengisyaratkan untuk menemuinya. Aku lalu berdiri, dan menemui Mas Jaka.

"Ada apa?" tanyaku dingin padanya setelah sampai di depan Mas Jaka. Kulihat hembusan napas keluar dari mulutnya, bibirnya pun dower dan memerah. Rasanya aku ingin tertawa terbahak-bahak melihatnya seperti itu.

Namun, sebagai seseorang yang memiliki hati, jadi tak kunampakkan raut bahagiaku setelah mengerjai dirinya.

"Dek, jangan marah ya. Mas minta maaf tadi udah marahin kamu," ucapnya sambil memegang tanganku.

"Nggakpapa, emang aku aja yang nggak becus jadi istri buat kamu," ucapku dengan berpura-pura sedih.

"Jangan gitu, Dek. Enak kok, malah tadi udah mas habisin. Tapi piringnya belum Mas cuci." Dia nyengir terpaksa, kurasa bibirnya memerah akibat kepedasan.

"Beneran Mas habisin." Aku pura-pura bahagia mendengarnya, padahal dalam hati aku mentertawakannya.

"Iya dong, apa sih yang nggak buat istri kesayangan Mas Jaka," ucapnya dengan bangga.

Cih! Mulut buaya seperti Mas Jaka memang sangat manis. Sampai-sampai rapat sekali dia menutupi perselingkuhannya dariku.

"Makasih ya, Mas. Padahal kalo nggak enak, buang aja ke tempat sampah." Aku berucap dengan nada sedih.

"Udah dong, Sayang. Mas tadi khilaf marahin kamu," ucapnya lalu memelukku. Aku hanya diam.

Khilaf kau bilang, Mas. Apa mencari daun muda juga kau bilang khilaf atau hanya kebetulan. Aku berbicara dalam hati.

Drrt ... Drrt ...

Ponsel Mas Jaka di kantong celananya bergetar, dia melepaskan pelukan lalu melihat nama yang menelpon.

"Diangkat aja, Mas," ucapku padanya. Tapi sepertinya itu dari selingkuhannya sehingga beberapa kali menelpon selalu dimatikannya.

"Nggak penting, yaudah Mas berangkat dulu. Semangat kerjanya, Sayang," ucapnya lalu buru-buru pergi.

Aku hanya menatap mobilnya yang semakin menjauh dari pandanganku.

Tak lama setelah Mas Jaka pergi, Nandini keluar dari tempat persembunyian.

"Aku mau ngikutin si Jaka, pinjam mobilmu. Aku lupa bawa mobil," ucapnya dengan senyum lebar khasnya.

Aku menyerahkan kunci mobilku, tanpa pamit Nandini lalu berangkat mengikuti mobil Mas Jaka.

Dan aku, aku sekarang duduk santai di ruangan menunggu kabar dari Nandini.

****

Tidak sampai tiga puluh menit, Nandini mengirimkan video padaku. Durasinya 30 detik. Aku lalu mengunduhnya.

Awal di video terlihat Mas Jaka berhenti di depan gang, yang kupastikan itu adalah tempat kos-kosan.

Mas Jaka keluar dari mobil lalu menunggu di depan gang, lalu keluarlah perempuan muda, seksi dan sepertinya menggairahkan.

Namun yang membuat dadaku seperti ditusuk banyak pedang, ketika Mas Jaka cipika-cipiki dengan wanita itu, dan mengusap pucuk kepalanya. Lalu membukakan pintu untuknya.

Mataku memanas, sebisa mungkin aku menahan sesak di dada.

-

-

-

-

-

Next?

Jangan lupa bantu vote yaa. Terima kasih semuanya, kalian sehat selalu yaa.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
makanya g usah drama hau njing. sok2an.
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status