Share

Suara yang Menjijikan!

Namun yang membuat dadaku seperti ditusuk banyak pedang, ketika Mas Jaka mencium 0ipi wanita itu secara bergantian, begitupun sebaliknya. Setelah itu Mas Jaka mengusap pucuk kepalanya. Lalu membukakan pintu mobil untuk wanita yang sangat terlihat menggoda itu.

Mataku memanas, sebisa mungkin aku menahan agar tak menangis sekarang. Kupegang erat stir mobil meredakan gemuruh di dalam dada.

Lama kuperhatikan video itu, mereka langsung melajukan mobilnya. Kulempar ponselku ke atas sofa, lagi-lagi aku harus menahan sesak dalam dada.

Tapi ada yang aneh disitu, aku kembali membuka video yang dikirimkan Nandini. Aku memperhatikan video itu dengan saksama.

Disitu terlihat perempuan tersebut menggunakan pakaian khas seperti orang yang bekerja di kantoran.

Apa dia bekerja bersama dengan Mas Jaka? Pikiranku mulai berkelana, memikirkan siapa dan darimana wanita itu berasal.

Kenapa di video itu, terlihat seolah-olah hubungan mereka sudah terjalin lama. Jika benar, sungguh sangat hebat Mas Jaka menyembunyikan semuanya di belakangku. Apa Mas Jaka selama ini hanya berpura-pura mencintai. Ah! Rumit sekali permasalahan ini.

"Kau dimana?" Aku mengirim pesan pada Nandini.

Lama dia tak membalas, sepertinya masih dalam perjalanan.

"Aku masih mengikuti mobil Jaka, kau tenang saja di sana. Akan kukumpulkan bukti-bukti untukmu." Tak sampai 5 menit pesanku sudah dibalas dengan Nandini. Aku tersenyum penuh arti, sekaligus bangga dan terharu mempunyai sahabat yang sebegitu perhatiannya terhadapku.

"Baiklah, aku akan menunggu itu." Aku membalas. Lalu menyudahi untuk memakai ponsel, ku sandarkan kepala pada sofa, lalu memejamkan mata menikmati tiap goresan-goresan luka yang datang mendera.

Ting!

Bunyi notifikasi W******p membuyarkan lamunanku sekarang.

[Apa kau tak ingin menemuiku sekarang disini, siapa tau kau ingin menghajar pelakor itu,] tulis Nandini diakhiri dengan emot marah.

"Tak perlu, terlalu cepat mereka menikmati surga dunia." Kubalas dengan diakhiri emot tertawa ngakak. Padahal nyatanya sekarang, aku sedang menimbang-nimbang. Apakah aku perlu menyusul dan mempermalukannya?

[urga dunia, dalam lembah zina. Cih! Menjijikan.] Nandini membalas. Dalam pengintaian pun dia masih sempat membalas pesanku, aku hanya terkekeh pelan. Mengasihani diri sendiri yang ternyata sudah lama dibohongi.

Tak kubalas lagi pesannya, aku tak ingin mengganggu waktu pengintaian Nandini. Biarlah dia mencari bukti terlebih dahulu sebanyak-banyaknya. Walau sebenarnya aku tak enak hati karena sudah merepotkan ia.

"Ini kopinya, Bu." Suara Dina mengagetkanku dari lamunan.

"Taroh saja di atas meja, Din," ucapku padanya.

Dina memandangku lama, aku jadi salah tingkah ketika ia menatapku seperti itu.

Ehem!

Kucoba menetralkan perasaan saat mendapatkan tatapan heran dari Dina.

"Ada apa?" Aku bertanya padanya dengan dingin, tak suka ditatapnya seperti itu.

"Kamu jangan menatapku seperti itu, Dina. Tidak sopan!" tegasku padanya. Dina langsung merubah raut wajahnya.

"Apa Ibu habis menangis?" tanyanya padaku.

Aku mengerutkan kening mendengar penuturannya, bahkan orang lain pun paham bahwa sekarang aku sedang terluka.

"Ngaco kamu. Nangis darimana orang saya ceria gini," ucapku padanya diiringi kekehan kecil.

"Benarkah, Bu. Lalu kenapa mata ibu seperti bengkak begitu," ucapnya lagi, sepertinya jiwa keponya saat ini sedang meronta.

"Ah, masa sih. Mungkin gara-gara tadi malam. Saya lagi bersih-bersih di kamar, terus debu banyak banget kelilipan deh," ujarku memberi alasan yang mungkin menurutnya sangat konyol.

Tak kuperhatikan lagi Dina yang terus menatapku dengan pandangan menyelidik, aku langsung saja menuju meja kerjaku untuk mengambil minuman yang diberikannya tadi.

"Oh, saya pikir Ibu habis menangis, soalnya saat Ibu sampai tak ada raut bahagia seperti hari-hari biasanya," ucapnya.

"Sotoy kamu, kaya peramal aja. Yakali saya nangis, nangis karena apa pula," jawabku sambil tertawa.

Kuseruput kopi yang ada di atas meja! Rasanya ahh nikmat.

"Yakan siapa tau gara-gara Bapak," ucapnya.

Uhuk!

Uhuk!

Kopi yang kuminum tersembur keluar dari mulut. Dina menepuk-nepuk belakangku.

"Hati-hati atuh, Bu." Dina berbicara dengan nada khawatir.

"Iya, saya nggakpapa. Kamu sih, ngagetin aja kalo ngomong. Kan tadi kamu lihat saya dan Bapak baik-baik aja," ucapku lalu membersihkan mulut menggunakan tisu.

"Oh iya, Bu. Yaudah saya minta maaf," ucapnya merasa bersalah.

"Iya nggakpapa, yaudah lanjut kerja sana," ucapku padanya, lalu Dina berjalan keluar.

****

Aku mondar mandir di depan pintu masuk. Nandini dari tadi tak ada kabar, aku takut Mas Jaka mengetahui bahwa Nandini mengikutinya.

Orang yang kutunggu-tunggu akhirnya datang juga. Sepertinya akan ada berita heboh yang disampaikannya.

"Nggak sia-sia perjuanganku, Hahaha!" tawanya menggema di ruangan hingga menjadi perhatian karyawan di butikku.

"Nggak malu dilihatin," ucapku padanya. Lalu dia menutup mulutnya dan menarik tanganku untuk masuk ke ruangan.

"Ada bukti apa?" tanyaku padanya antusias.

"Sebentar aku ambil hape dulu," ucap Nandini.

Lalu dia mengambilkan beberapa gambar dan satu rekaman suara.

Foto yang pertama terdapat Mas Jaka sedang memegang tangan wanita itu. Foto kedua Mas Jaka membelai pipi wanita muda tersebut.

Dan, yang ketiga Mas Jaka memakaikan kalung dileher jenjangnya.

Namun yang membuatku heran, mengapa wanita ini sangat asing bagiku. Wajahnya juga tak terlalu jelas disini, karena dia selalu menunduk.

"Kenapa nggak jelas gini fotonya?" tanyaku pada Nandini.

"Gimana mau jelas, aku duduknya dibelakang mereka. Kalo diperjelas ya nanti malah ketahuan dong," ucap Nandini.

Betul juga, apa yang dibicarakan olehnya. Aku masih memperhatikan foto tersebut. Otakku rasanya panas dan hampir saja mengeluarkan asap.

"Nih dengerin rekaman suaranya, iw perempuannya kaya gatal banget," ucap Nandini lalu membuka rekaman suara.

"Apa istrimu takkan mengetahui ini, Mas," ucap suara wanita di dalam ponsel. Sepertinya ia berbicara sengaja di lembut-lembutka.

"Tidak. Aku sangat pandai bermain, Sayang," ucap suara lelaki yang kuyakini itu adalah suara Mas Jaka.

"Apa kau serius, Mas," ucapnya.

"Tentu saja," ucap Mas Jaka.

Kumatikan rekaman suara itu. Cara wanita itu bicara serta jawaban Mas Jaka benar-benar membuatku murka. Jijik sekali aku mendengar pembicaraan mereka. Pantas sajalah Mas Jaka bisa jatuh ke pelukannya.

Ternyata perempuan itu selain pandai menggoda, juga pandai merayu.

Aku benar-benar mual membayangkan bagaimana malam-malam yang sering dilalui oleh Mas Jaka dan perempuan yang aku tak tahu namanya.

"Dengarlah sampai habis," ucap Nandini padaku.

"Ogah, jijik aku, Nan." Aku berucap, sambil menahan mual di perutku.

"Yaudah, aku kirim ya," ucap Nandini. Aku hanya mengangguk sebagai jawaban.

Sesudah mengirim rekaman itu ke tempatku, aku mengirimkan pesan pada Mas Jaka.

[Pulanglah malam ini, ada yang ingin kubicarakan! Jangan selalu beralasan lembur, aku juga perlu waktumu walau hanya semenit!]

Begitulah isi pesan yang kukirimkan pada Mas Jaka. Kumatikan ponselku, aku tak ingin melihat penolakan pada dirinya.

Aku akan memberikanmu kejutan, Mas! Perlahan tapi pasti. Aku berbicara pada diriku sendiri lalu menyunggingkan bibir sebelah.

-

-

-

-

-

-

Next?

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
banyak bacot
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status