Share

POV Jaka (Sesal dalam Kenikmatan!)

Namaku Jaka Wijaya, papaku seorang pengusaha terkenal, sedangkan mama memiliki banyak toko butik. Jadi bisa dipastikan aku takkan kekurangan harta tujuh turunan.

Aku dilahirkan dalam keluarga yang berkecukupan, dididik sedari kecil bagaimana cara mengelola perusahaan.

Saat kuliah, aku menjalin hubungan dengan seorang wanita. Dia sederhana jauh dari kata kaya, dia baik, ramah kepada semua orang. Dia juga sering kulihat membantu Ibu kantin untuk berjualan.

Aku menyukainya, aku mulai berani mendekatinya walau sebenarnya dia selalu menjauh. Dari mulai kukirim surat, setangkai bunga mawar. Namun tak kunjung dapat meluluhkan hatinya.

Padahal apa kurangnya aku, tampan, cerdas, mandiri. Iya mandiri, mandi sendiri. Untuk urusan pekerjaan aku hanya meminta ayahku memberikan satu perusahaannya untukku dan akulah yang mengelolanya.

Papa dan mama sangat memanjakanku. Apapun yang kuinginkan pasti akan selalu dituruti oleh mereka. Jadi wajar saja, jika sampai kuliah aku masih tak bisa hidup mandiri, selalu saja bergantung pada ke dua orang tuaku.

Lelah juga ketika kita berjuang dianya malah menghindar, berjuang sendiri itu sakit apalagi tidak dihargai pengorbanan yang selama ini sudah kulakukan.

Cara satu-satunya yang kuambil agar bisa dekat dengannya adalah meminta nomor ponsel pada teman-temannya. Itu pun saat pertama kali mengirimkan pesan, dia membalas dengan jutek. Bahkan berkali-kali nomorku diblokir olehnya, entah mengapa dia terlihat tak berselera padaku saat itu.

Sampai di rumah aku uring-uringan di atas ranjang, bukan karena marah tapi karena tak tau harus menulis pesan yang bagaiman lagi, agat nomorku tak diblok olehnya. Mencoba mengetik beberapa kalimat, aku menghapusnya lagi. Terasa kata-katanya ada yang salah, mencoba lagi, ya menurutku salah lagi. Aku seperti orang yang serba salah.

[Bagaimana kuliahmu tadi, Ra.]

Klik. Terkirim.

Kulempar hapeku ke samping badan, aku gugup bercampur rasa takut. Takut diblokir lagi sebenarnya.

Wanita yang kusukai bernama Aralita. Dari namanya saja sudah cantik bukan, namun perjuangan untuk mendapatkan cinta dan hati orang tuanya sangatlah susah.

Ting!

Satu pesan masuk ke gawaiku. Aku bergegas membukanya dan mendapati nama Aralita disana.

[Baik, ini siapa?]

Aku berguling-guling di atas ranjang, rasanya hatiku bahagia sekali mendapatkan pesn seperti itu.

[Aku lelaki yang terus saja mengagumimu,] tulisku lagi padanya.

Lama tak ada balasan darinya, hampir dua puluh menitan. Aku sudah uring-uringan di atas ranjang, berguling ke sana kemari. Resah gelisah tak tertahan menunggu balasan dari sang pujaan.

[Berhentilah mengirimiku pesan, Kak. Bukankah kamu sudah memiliki kekasih, aku tak ingin dicap sebagai wanita penghancur hubungan orang lain.]

Balasan dari Ara membuatku mengerutkan kening tak mengerti. Kekasih? Kekasih yang mana maksudnya, bukankah selama ini aku masih sendiri, karena tak bisa memberikan hati pada wanita lain.

[Aku tidak punya kekasih, Ra. Mungkin kamu salah orang,] balasku.

[Tidak! Aku tidak salah orang. Kamu Kak Jaka bukan, Kak Nadya beberapa hari yang lalu marah padaku karena katanya aku merebutmu darinya.]

Balasan pesan yang dikirimkan Ara, perempuan itu lagi ternyata. Rupanya dia masih belum bisa mencari penggantiku, makanya setiap ada yang kudekati dia selalu ikut andil dalamnya.

Dasar menyebalkan!

Aku lalu menjelaskan yang sebenarnya pada Ara, bahwa aku sama sekali tak pernah memiliki hubungan khusus dengan Nadya.

Dulu Nadya memang pernah mengejar-ngejarku, aku berulang kali melakukan penolakan. Bahkan Nadya juga pernah mengancam ingin bunuh diri jika cintanya tak terbalaskan.

Karena sudah lelah dengan drama yang dilakukannya, jadi aku memilih untuk mengiyakan saja perkataan Nadya.

Namun kenyataannya, Nadya masih hidup sampai sekarang. Mana kata-kata Nadya dulu yang mengatakan bahwa dia tak bisa hidup tanpaku, dasar remaja. Mereka terlalu gila hanya untuk sebuah cinta.

Setelah mendapatkan penjelasan, barulah Ara percaya bahwa aku sama sekali tak pernah menjalin hubungan dengan Nadya. Apalagi sampai memberi harapan palsu.

Mulai dari saat itulah, aku semakin gencar melakukan pendekatan dengan Ara, bahkan kami menjalin hubungan secara diam-diam tanpa sepengetahuan orang-orang kampus.

Saat aku lulus kuliah, aku berniat menikahinya. Aku sudah tak sabar ingin memperistri sosok wanita yang benar-benar pas untukku.

Saat kuajak ke rumah, Ara tak menolak. Bahkan di wajahnya tergambar raut kebahagiaan.

Dan lebih menakjubkannya saat bertemu dengan kedua orang tuaku. Mamaku langsung menyukai Ara bahkan mereka sudah seperti menantu dan mertua.

Aku mengajak Ara pulang, awalnya mamaku menolak beliau ingin Ara tetap bersamanya. Namun Ara menjelaskan bahwa dia takut dimarahi ayahnya. Jadi mamaku pun memahami.

Perjuanganku mengambil hati ayah Ara sangatlah susah. Masih teringat saat pertama kali aku datang ke rumah Ara, beliau langsung marah terhadap Ara karena bersama seorang lelaki. Aku menyampaikan niat bahwa ingin memperistri Ara.

"Kau yakin ingin menikahi putriku?!" Nada bicara Ayah Ara membuatku sedikit takut, tapi saat melihat manik mata sendu yang ditampilkan Ara keberanian itu kembali muncul.

"Aku yakin, Pak. Sebisa mungkin aku akan mencoba membahagiakan Ara selalu," jawabku penuh dengan keseriusan dan nada yang tegas. Mencoba meyakinkan ayahnya agar bisa mengizinkanku untuk menjadikan Ara sebagai bidadari surga dan duniaku.

Reaksi pertamanya awalnya beliau seperti terlihat bingung, ada raut keraguan disana. Namun, aku mencoba meyakinkannya bahwa Ara akan baik-baik saja jika bersamaku.

Dari situ aku mulai berusaha mengambil hati ayahnya, dan lambat laun orang tuanya pun menerimaku sebagai calon menantu. Walau dari wajahnya aku masih melihat, mereka sangat berat melepaskan Ara untukku.

Menurutku ini sedikit berlebihan, mereka seperti tidak menghargai usaha yang selama ini kulakukan. Mulai saat itu aku bertekad jika sudah menikah dengan Ara, aku tak ingin tinggal serumah dengan orang tuanya.

Takut tidak cocok saja, nanti akan menyebabkan pertikaian dalam rumah tanggaku.

Aku pikir awalnya Ara memang anak yang sederhana tidak kaya, ternyata aku salah dia memang sederhana, tak pernah memamerkan harta.

Padalah faktanya, Ara adalah anak yang sangat berkecukupan bahkan sangat-sangat cukup. Ayahnya saja seorang polisi, sedangkan ibunya dokter di rumah sakit terkenal. Bagaimana mungkin dia bisa sebaik itu, merendah pada orang lain.

Padahal dia bisa saja menggunakan kekuasaannya untuk melakukan penindasan pada orang yang di bawahnya.

Namun Ara sama sekali tak melakukan itu, benar-benar calon istri idaman.

Aku semakin cinta dengan Ara. Apalagi saat mengetahui dia orang yang sangat berada.

Singkat cerita, pernikahan pun dimulai. Akad berlangsung dengan khidmat, pernikahan diadakan secara meriah. Sesuai dengan keinginan kami dan orang tua. Aku dan Ara saling bertatapan dan melemparkan senyum.

Kebahagiaan yang saat ini dirasakan tak dapat dijelaskan melalui kata-kata lagi.

Terpancar raut kebahagiaan di wajah wanita yang sekarang sudah halal menjadi istriku.

Saat malam pertama aku menggunakan pengaman, dia bertanya. "Mas, kenapa memakai pengaman?"

Raut wajahnya saat itu menggambarkan kekecewaan.

Aku hanya menjawab bahwa usia kami masih muda, masih ingin bersenang-senang.

"Kita masih muda, Sayang, masih harus menikmati masa-masa awal pernikahan kita. Anggap saja seperti pacaran lagi, tapi yang kali ini secara terang-terangan." Kuberikan alasan agar tak melukai hatinya.

"Tapi aku ingin segera menggendong baby, Mas," ujarnya terlihat sendu.

Aku lalu mengelus pucuk kepalanya dan menghujaminya dengan ciuman lembut di kening.

"Nanti akan ada saatnya kita bertiga dengan baby, ya. Untuk saat ini biarlah kita menikmati masa berdua dulu, saling berbagi kasih dan sayang."

Awalnya dia menolak. Namun aku tetap kukuh pada pendirianku. Hingga akhirnya Ara tak lagi memaksakan apa yang ia inginkan. Ia hanya mengangguk pasrah dengan wajah yang ditekuk.

Ara tipikal wanita yang tak banyak menuntut, rumah yang kami tempati itu hadiah dariku untuknya, toko butik itu juga menjadi miliknya hadiah dari orang tuaku.

Saat usia pernikahan kami 2 tahun, aku memberikannya mobil dan tentu saja semuanya atas namanya.

Dia sebenarnya tak meminta, tetapi aku sendiri yang memberikannya dengan senang hati. Anggap saja itu bukti cintaku padanya.

Aku bekerja di perusahaan yang diberikan oleh Papa untukku. Aku mengelolanya dengan sangat baik, bahkan peningkatannya pun sangat naik drastis.

Sedangkan Ara, dia kadang berada di butik, tetapi kadang juga ia berada di rumah. Aku tak membatasi pergaulannya selama itu masih dalam batas kewajaran. Dan selalu mengandung hal-hal yang positif.

Selagi membuatnya bahagia, kenapa tidak kulakukan begitu kan?,

"Mas, kenapa nggak program ibu hamil aja. Aku pengen secepatnya punya anak," ucap Ara di sela kami makan malam, hingga membuatku tak dapat menutupi rasa keterkejutan.

Aku melototkan mataku, lalu menggeleng cepat.

"Nanti ya, Sayang. Mas masih muda, kamu juga bekerja. Bikin anak mah nanti-nanti juga bisa," jawabku, aku mencoba fokus dengan makananku yang berada di piring.

Tak peduli dengan tatapan matanya yang terlihat kecewa karena jawabanku yang terdengar tak memuaskan.

"Udah dua tahun lho, Mas? Mumpung kita masih subur." Ucapan Ara sama sekali tak membuatku melihatnya.

Takut terbujuk dengan apa yang diinginkan Ara. Aku masih ingin senang-senang, tak ingin langsung berubah menjadi seorang ayah. Takut tidak bisa bebas pergi kemana pun lagi.

"Gimana kalo orang tua kita bertanya, kita harus jawab apa." Tergambar raut kesedihan di wajahnya.

"Itu urusan, Mas. Yang penting kita selalu bersama hingga Tuhan memisahkan kita." Aku merayu, lalu mendekatinya. Kubawa dia dalam pelukan.

"Gombal," ucapnya menepis tanganku lalu meninggalkanku sendiri di ruang makan.

Aku tak ingin saat memiliki anak, perhatian Ara padaku teralihkan. Aku juga tak ingin Ara mengalami perubahan pada bentuk badannya.

Maka dari itulah aku sering membatasi porsi makan Ara.

****

Saat ke kantor karyawanku mengatakan bahwa sekretarisku berhenti, karena ibunya yang sakit di kampung.

Jadilah sekarang aku memiliki sekretaris baru yang bernama Yose.

Cantik, menarik, bahkan sangat telaten dalam bekerja. Kulihat beberapa kali dia melirik ke arahku entah apa maksudnya.

Sering dia seperti sengaja menabrakku. Akan tetapi, aku enggan meladeninya. Walau sebenarnya jiwa laki-lakiku memberontak.

Dan saat aku bekerja di luar kota selama beberapa bulan bersama Yose. Disitulah penghianatan terjadi.

Sempat terbesit rasa bersalah pada Ara, aku menyesali perbuatanku. Apalagi aku melakukannya tanpa pengaman, aku takut Ara akan mengetahui kebusukan ini dan meninggalkanku.

Tapi bagaimana lagi, lelaki mana yang sanggup menahan hasrat, ketika diberikan dengan cuma-cuma.

Apalagi aku sudah lama tak mendapat nafkah batin darinya semenjak pekerjaan di luar kota ini. Namun, aku selalu mengabari bahkan menelponnya.

Oh Ara maafkan aku. Mungkin hanya sekali ini saja aku berkhianat.

Aku terbuai dalam belaian halus Yose, rayuan dan gombalan miliknya. Entah apa yang merasukiku hingga aku berani menyentuhnya.

Sebisa mungkin aku menahan nafsuku, tapi bagaimana lagi. Aku benar-benar sudah tak kuat, dan malam itu aku menghabiskan waktu bersamanya sepanjang malam.

Pulang dari sana bukannya semakin menjauh, kami malah semakin dekat. Saat Yose menyatakan bahwa ia hamil 8 minggu, entah kenapa aku senang bercampur rasa takut. Yose memaksaku untuk mengumumkan kehamilannya lewat status WA, entah untuk apa. Aku menolak namun dia mengancam akan membunuh janinnya. Kubuat status di W******p, namun akalku masih sadar kuprivasi istriku sendiri. Aku mencoba menjauh dari Yose, namun dia mengatakan akan melaporkan perbuatanku pada Ara.

Aku benar-benar bingung, dan sekarang usia kandungannya memasuki 4 bulan. Aku rutin mengajaknya periksa, untuk kenyamanan calon bayiku. Jujur saja untuk mencintai Yose aku tak bisa sampai detik ini. Karena Ara masih cinta sejatiku.

Aku tau ini salah. Ini perbuatan dosa, tapi ya bagaimana lagi.

Aku benar-benar dihantui rasa ketakutan. Takut ketika orang tuaku mengetahui aku selingkuh. Lalu Ara meminta cerai, lalu dihapus dari kartu keluarga. Ah, habislah riwayatku bukan hanya cintaku yang musnah, tapi juga hartaku.

"Sayang," bisikan lembut ditelingaku mampu membangkitkan gairahku. Sebenarnya aku jijik, tapi entah kenapa semenjak berhianat dari Ara aku tak pernah mengajaknya lagi. Aku malu pada diriku sendiri.

Ah, sudahlah urusan harta dan cinta itu nanti. Yang terpenting sekarang adalah hasratku.

Next?

Gimana udah panjangkan, beri saran dong, Mak. Bagusnya si Jaka sama pelakor ini diapain ya.

Yuk komen dibawah, di ramaikan ya.

Terimakasih untuk semuanya sayang kalian banyak-banyak 🖤🖤

Comments (5)
goodnovel comment avatar
Louisa Janis
kayak ASU sembarang letakin pan*at
goodnovel comment avatar
Isabella
aneh si Jaka hamil sama istri gak mau malah hamil sama perempuan lain
goodnovel comment avatar
Sanih Saraswati
di buang ke laut aja...sama istri sendiri gak mau punya anak giliran sm perempuan gak bener mau punya anak...somplak EMG tuh si Jaka heee
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status