Share

SSST ... JANGAN BERISIK!
SSST ... JANGAN BERISIK!
Author: KSIndra

Prolog

Langkah kaki berayun pelan. Nyaris tidak tak terdengar. Suara deru napas berhembus sedikit memburu setiap kali kakinya menapaki jejak jalan bertanah basah diguyur hujan. Awan berwarna abu-abu begitu setia kawan mengiringi langkah kaki tak beralas itu dengan rintik hujan.

Telinga gadis itu, begitu terganggu oleh teriakkan orang-orang yang menyuarakan agar dirinya untuk segera dihukum mati. Entah bagaimana dia begitu dibenci oleh orang-orang yang saat ini memandangnya jijik, semua berawal dari berita para wartawan yang meliputi kasus besar yang telah ia perbuat. Berita itupun akhirnya tersiar kemana-mana, dari mulut ke mulut, hingga di hati orang-orang menaruh dendam dan kebencian padanya akibat membaca berita kesadisannya.

"Beri hukuman mati ... jangan diberi ampun!" teriak salah seorang dari gerombolan masyarakat yang menyaksikan tertangkapnya gadis itu.

"Dasar pembunuh gila! Gak punya otak. Kau pantas mati, tempatmu di neraka!" teriak lainnya begitu membencinya.

"Perempuan laknat! Manusia berhati iblis," maki warga lainnya. Mereka terlalu kesal dengan apa yang dilakukan gadis bisu itu.

Bahkan ada yang meludahinya, lemparan telur-telur busuk pun menghujani dirinya di setiap langkah kaki yang terlihat gontai tak bertenaga.

Wajah itu tertunduk layu, tatapannya terlihat sendu. Tak ada ekspresi, hanya tatapan kosong saja terlihat di wajah yang dingin dan terlihat polos itu.

Bercak darah kering di sekitar wajah dan memenuhi bajunya yang berwarna putih, hampir mengering.

"Masuk!" kata petugas penjara. Mau tidak mau, kaki itu pun melangkah dengan keterpaksaan. Menuruti petugas penjara yang tidak sama sekali bersikap ramah padanya.

Kepalanya mendongak saat hendak menaiki mobil narapidana. Dua petugas kepolisian bersenjatakan lengkap dan berompi anti peluru siap mengawal seorang gadis bisu. Semenakutkan itukah gadis yang pakaiannya berlumur darah?

Gadis itu tak terlihat takut, justru ia melempar senyuman dingin pada kedua polisi pengawal itu. "Gak usah senyum-senyum, duduk di situ!" Perintah salah satu polisi. Kemudian dia duduk di hadapan dua polisi berwajah menakutkan.

Apa yang sudah dilakukan seorang gadis berusia dua puluh tahun itu? Ia terlihat seperti gadis pada umumnya. Tidak terlihat di raut wajah putihnya itu menandakan bahwa ia seorang penjahat. Hanya saja Wajahnya hampir tertutupi bercak darah kering. Dia lebih terlihat seperti gadis lugu yang tak berdosa. Tapi kenapa dia harus dikawal dengan dua orang polisi dan dua orang petugas penjara yang baru saja naik.

"TUNGGU!" teriak seorang wanita dari kejauhan. Tubuhnya basah di guyur hujan. Pakaiannya kotor terkena cipratan air bersambur tanah. "Hentikan mobilnya!" teriaknya lagi, lalu berhenti di depan mobil narapidana yang membawa gadis itu. Tangannya membentang lebar, menghalangi jalan.

"Apa-apaan ibu itu? Mau mati berdiri di depan mobil?" ujar sopir terlihat kesal. Dia mengklakson mobilnya agar minggir dari depan mobil. "Hei ... Bu, cepat minggir! Bisa mati kau terus menerus berdiri di situ!" bentak sopir.

"Saya mohon, ijinkan saya bertemu anak saya. Saya mau bertemu dengan gadis yang kalian tangkap!" pintanya keras kepala.

"Anak? Maksud Ibu, gadis pembunuh yang gak bisa bicara itu?" tanya sopir. Seolah meledek wanita berwajah muram durja itu. Namun terlihat sangat serius menatap sopir itu.

"Iya, Pak! Saya mohon, biarkan saya bertemu anak saya itu!" pungkasnya yakin.

Sopir itu mendengus. "Baiklah, saya akan bilang terlebih dahulu pada petugas di belakang!" Sopir itu turun dari mobil narapidana itu. Dan berjalan ke belakang, sedangkan wanita itu tetap diam dengan tangan tetap terbentang.

"Ada apa, Pak?" tanya salah satu polisi yang berjaga.

"Ada seorang wanita yang ingin bertemu anaknya, Pak! Dia tidak akan pergi sebelum bertemu anaknya ini!" kata Sopir itu sambil melirik sinis ke arah gadis yang menunduk itu.

"Jadi dia masih punya seorang Ibu?"

Sopir itu mengangguk.

"Ya sudah, ijinkan dia bertemu sepuluh menit saja agar tidak mengganggu perjalanan ini!" usul salah satu polisi itu.

"Baik Pak! Saya akan beritahu Ibu itu!" Sopir itu bergegas ke balakang dan berbicara pada wanita berhijab itu. "Silahkan ke belakang, Bu! Tapi hanya sepuluh menit saja, tidak lebih!" ujar sopir itu tegas.

"Terima kasih, Pak!" wanita itu bergegas berjalan ke belakang. Gadis itu sudah berdiri di dekat tangga mobil.

"D-Dina?" sebut wanita itu parau. Suaranya hampir hilang ketika matanya mendapati gadis itu berdiri dengan tangan terborgol. Wanita itu memeluknya sambil menangis. "Kenapa harus seperti ini, Nak? Kenapa ibu harus melihatmu seperti ini? Ibu yakin kamu anak baik, seperti Ibu mengangkatmu menjadi seorang anak yang Ibu cintai," Pilu wanita itu meluap. Dia mengorbankan banyak hal demi membesarkan gadis itu, dia begitu mencintainya setelah kedua orang tuanya hangus terbakar.

Gadis itu terdiam, tak ada satu katapun yang terlontar di bibirnya. Namun matanya bicara lain, ada air embun yang menetes dari pelupuk matanya yang berwarna kecoklatan. Wanita itu pelapaskan pelukkannya, memandang sekali lagi gadis di hadapannya.

"Ingatlah, Nak! Bagaimanapun kamu tetap anak Ibu, anak Ibu yang baik dan selalu ceria. Dan ingatlah satu hal, Ibu tetap menyayangimu sampai kapanpun!" imbuhnya.

"Waktunya sudah habis!" kata polisi yang menjaga gadis itu. "Ayo cepat naik, kita harus segera pergi dari sini!" lanjutnya memberi kesan ketus pada gadis itu. Tak lama, gadis itu mencium kening wanita itu di hadapan banyak orang dan kedua polisi yang menjaganya.

Tautan tangan yang tadinya menggengam erat satu sama lain, perlahan-lahan terlepas dan kemudian menjauh. Gadis itu naik kembali ke mobil narapidana. Tatapan kosong wanita itu seolah mengisyaratkan bahwa dirinya akan benar-benar kehilangan gadis itu.

Roda mobil pun mulai berputar lambat setelah semua sudah naik ke dalam mobil. Keluar dari sebuah rumah tempat kejadian perkara, tempat di mana gadis itu ditemukan sambil memegang pisau dan berlumur darah yang membekas di tangan juga hampir di seluruh tubuhnya.

Gadis itu menundukkan kepalanya, ada pergolakkan batinnya. Ia merasa tak bersalah, apa yang harus dituntut dari dirinya. Dia menyadari bahwa dirinya memegang pisau di tengah-tengah korban yang tergeletak dengan beberapa tusukan di dada. Atau dia memang tidak sadar apa yang sudah ia lakukan?

Dia tetap tidak mengingatnya walau sudah berusaha mengingat kejadian itu semua.

"Sebenarnya, apa yang terjadi padaku? Kenapa tidak ada sedikitpun aku mengingat tentang kejadian-kejadian yang telah kuperbuat?" katanya di batin.

Lalu tanpa diminta, ingatannya kembali mengusik dirinya yang enggan mengingat itu semua. Banyak kejadian pahit yang harus terjadi padanya dulu, benar-benar pahit hingga sering kali membuat dia trauma dan hilang kesadaran akan dirinya sendiri. Dia kadang juga membenci apa yang terjadi di dalam dirinya.

Sebenarnya, apa yang terjadi pada kehidupannya dulu? Dan kegilaan apa yang dia lakukan hingga harus diperlakukan kasar oleh orang-orang.

****

Bersambung.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status