Share

Membunuh Kali Pertama

"Ayo masuk!" ajak Dina. Bocah itu menurut saja layaknya kerbau dicocok hidungnya.

Lalu,

Krieeeet.

Blaaam.

Pintu tertutup rapat.

Azhar celingukkan, tidak ada curiga sedikitpun. Ia mengamati sekelilingnya, ruangan gelap dan pengap di bumbuhi aroma bau busuk menyeruak ke dalam rongga hidungnya. "Tempat apa ini? Kenapa kita harus bersembunyi di tempat ini?"

"Supaya tidak ketahuan!" Lagi-lagi senyuman mengerikan itu tampak di bibirnya. Dina menyambar besi yang tergeletak di dekat tembok. Lalu ia mengangkatnya tinggi-tinggi. Sialnya, Azhar menoleh ke arahnya.

"Aaargh!" teriak Azhar, ia terjatuh karena kaget. "Mau apa kamu?"

"Ssst!" henti Dina, tangannya berada di mulutnya sendiri. Ia jalan mendekati Azhar sambil, "Jangan berisik!" Berkata pelan.

Gedebuk.

Namun pukulan Dina meleset. Azhar bergegas bangun dan berlari. "Larilah sampai jauh. Aku akan terus mengejarmu!" gumam Dina sangat menakutkan.

Kaki kecil itu berlari namun sayangnya,

Gubrak.

Azhar terjatuh. Kakinya tersandung karung semen. "Aduuuh!" katanya meringis kesakitan. Bocah itu hendak menangis, tetapi tidak jadi. Ia membekap mulutnya sendiri agar suaranya tidak terdengar sama sekali oleh Dina.

Bocah itu berjalan ngesot, mencari tempat persembunyian. Ia duduk meringkuk di antara lemari-lemari besi tak terpakai. Ketakuatan, tubuhnya gemetaran.

"Azhar ... di mana kamu?" kata Dina, panggilannya tidak seperti seorang anak berusia 7 tahun. Terdengar menyeramkan.

"Mama ... aku takut!" bisik batinnya. Ia sesekali menoleh. "Untunglah, dia tidak mengejarku!" gumamnya pelan. "Tunggu, sepertinya ...." lanjutnya, dia kembali menoleh pelan, merasakan ada orang sedang memperhatikan di belakangnya.

"Baaa ...."

"Aaaargh!" Azhar terkejut. Dia segera menjauh dari Dina.

"Kita bertemu lagi, Azhar!" Dina mendekati anak laki-laki yang sudah ketakutan itu.

"A-pa m-mau k-kamu, D-Dina?" tanya Azhar tergagap. Bibirnya bergetar hebat.

"Apa mauku?" kata Dina mengulang kalimat Azhar. "Tentu saja membunuhmu, sebagai tanda pembalasan perbuatan kalian padaku tadi dan tadi pagi!"

"A-apa?" Wajah Azhar semakin pucat mendengar seorang anak perempuan seumurannya bisa bicara tentang pembunuhan. "T-tapi ... i-itu keinginan Tino, bukan aku!"

"Ssst!" Lagi-lagi Dina menghentikan ocehan Azhar dengan jari telunjuk di bibirnya sendiri. "Jangan berisik! Nanti kedengeran!" katanya kemudian, mengangkat tongkat besi di tangannya itu. Dan lalu,

Buk.

"Arrrgh!" Besi itu mengenai tulang kakinya. Azhar meringis kesakitan dan lalu menangis. "Mamaaa ... sakit!" teriaknya sambil memegang kakinya yang berwarna bbiru dan sangat sakit itu.

"Mama kamu tidak ada di sini, Azhar. Di sini hanya ada kita berdua, jadi, jangan berisik!" tatapan Dina semakin menakutkan. Kemudian dia mengangkat tongkat besi itu untuk kedua kalinya.

Buk.

Satu pukulan menghantam kepala Azhar. Hingga darah muncrat dari kepala bocah laki-laki malang itu. Azhar masih bertahan, namun dia kehilangan pengelihatannya. Lalu,

Bruk.

Ia tergeletak, tak sadarkan diri dengan darah terus keluar dari kepalanya. Mati di tempat. Tetapi, Dina tidak cukup puas hanya sekali memukul.

Buk

Buk

Buk

Dia membabi buta menghajar Azhar, melampiaskan kemarahannya. Membalaskan kekesalannya terhadap apa yang Azhar lakukan padanya bersama teman-temannya yang lain.

Tak lama bocah perempuan itu berhenti memukul. Ia menatap tubuh Azhar yang sudah banyak mengeluarkan darah dari mulut, hidung dan telinga serta kepala tanpa merasa berdosa maupun bersalah. Napasnya memburu, lalu tangan mungilnya menyeka air keringat yang mengucur di sekitar dahinya.

Sekali lagi, Dina tersenyum menyeringai. Sangat puas melihat kematian Azhar. Bocah perempuan itu berbalik, bersikap masa bodo dengan darah yang terkena badan serta tangannya. Lalu Dina pergi meninggalkan dan membiarkan mayat bocah laki-laki malang itu juga tongkat besi di lantai. "Ini sangat menyenangkan, ayo kita bunuh lagi!" Ekspresinya kian bertambah menakutkan.

Lalu di luar, Tino mulai mencari teman-temannya bersembunyi. "Hei ... kalian, aku mulai mencari. Bersiaplah jangan sampai ketauan aku!" teriak Tino.

Teman-temannya berdiam diri di tempat masing-masing.

Dina melangakah ke tempat anak-anak laki-laki itu bermain petak umpet. Ia lalu berhenti ketika matanya melihat Tino. Dahinya mengkerut, alis matanya menyatu, tatapan dingin begitu tajam menatap anak laki-laki berbadan besar itu. "Kau ... tunggu giliranmu terakhir!" ucapnya sambil menunjuk ke arah bocah laki-laki yang sedang sibuk mencari teman-temannya itu.

Dia melanjutkan langkahnya kembali. Tak seberapa jauh kakinya berhenti melangkah. Matanya melihat bocah laki-laki berbadan tak jauh dari Azhar. Bocah itu sedang berjongkok, bersembunyi dari Tino dengan mata mengawasi gerak-gerik Tino.

"Sedang apa kau di sini?" bisik Dina di telinga Dede, membuat bocah itu bereaksi kaget.

"D-dasar p-perempuan gila! M-mau ngapain kamu d-di sini, huh?"

"Membunuhmu!" sahut Dina singkat, raut wajahnya terlihat datar tanpa ekspresi itu.

"A-apa?"

Dina lalu tertawa, ekspresi wajahnya berubah seketika. "Kenapa kamu seserius itu?"

"Dasar cewek gila! Sana pergi dari sini, atau aku akan buat kamu babak belur kayak tadi!" Usir Dede. Ia kembali fokus pada permainannya itu.

"Kau tau, Azhar menemukan tempat rahasia yang tidak akan mudah ditemukan Tino!" kata Dina, Dede menoleh dengan tatapan serius.

"Azhar? Dimana tempatnya? Kamu bisa tunjukan padaku?" tanya Dede penasaran.

Dina mengangguk. "Tempatnya di sana!" Tunjuk Dina ke arah bagian bangunan lain di area bangunan tua dan terbengkalai itu.

"Ya sudah, antarkan aku kesana dan jangan banyak bicara lagi!" imbuh Dede. Ia kemudian mengikuti Dina menuju tempat di mana Azhar sudah menjadi mayat. Mereka melewati rerumputan yang tumbuh subur, tinggi menjulang setinggi tubuh Dina dan Dede.

"Hei ... apa kau yakin dia bersembunyi di sini?" tanya Dede tak yakin. Dina mengangguk pelan tanpa menoleh. "Awas saja kalau kau bohong! Aku akan membuatmu menyesalinya nanti!" Gadis itu tidak menjawab, hanya sebuah senyuman penuh misteri mengambang di bibirnya.

Pintu pun terbuka, Dina menyuruh Dede masuk terlebih dahulu. Tanpa curiga seperti Azhar, Dede memasuki bangunan gelap dan berbau itu.

Krieeet.

Blaam.

"Di mana Azhar?" tanya Dede tanpa basa basi.

"Di dalam. Kau masuk saja!"

Bocah laki-laki itu menurut saja apa yang dikatakan Dina. Namun, baru saja sepuluh langkah kakinya bergerak maju. Mendadak bau amis darah ikut tercium memaksa masuk ke dalam rongga hidung Dede. "Darah!" bisik batin Dede. "Jangan-jangan ...." bibirnya berhenti berkata, lalu ia bergegas menoleh. "Kamu?"

Dina hanya tersenyum menyeringai sambil mengangkat tongkat besi tinggi-tinggi yang dia ambil di dekat pintu masuk, dan ....

Buk.

****

Bersambung.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status