Share

Rantai Kehidupan

Tubuh Dina terdorong oleh Tino hingga terjatuh. Besi di tangannya terlepas,  menggelinding dan berhenti tepat di dekat kaki Tino. "Ngapain kamu di sini?" tanya Tino tak bersahabat, tangannya bertelak pinggang dan tatapan matanya terlihat sinis. "Kau ingin balas dendam pada kami, huh?"

Dina diam, tidak menghiraukan apa yang di tanyakan Tino. "Bodoh, kau tuli, huh!" Ia menendang lengan Dina. Bocah itu tersungkur di tanah. "Gak punya mulut sampai-sampai kamu cuekin pertanyaanku?"

Senyuman khas Dina terlihat mengerikan. Ia mendongak dan sengaja memperlihatkannya pada Tino dan Ryan. "Kalian ingin tau?" tanya Dina bangun dari tersungkurnya. Berdiri tegap tanpa ada mimik rasa takut menghadapi dua anak laki-laki bertubuh dua kali lebih besar darinya.

Tangannya mengangkat, "Aku mau membunuh kalian berdua!" Menunjuk bergantian ke arah Tino dan Ryan.

Ryan, wajah bocah berkulit putih itu semakin pucat, bukan takut akan ancaman Dina, melainkan dia takut akan mimik wajah bocah berusia 7 tahun yang tak wajar. Bocah itu sama sekali tak punya rasa ngeri atau ketakutan saat menghadapinya dan Tino seperti beberapa jam lalu.

"Ada apa dengan anak ini? Kenapa dia terlihat berbeda dengan yang tadi!" Tino pun merasakan apa yang Ryan rasakan perubahan di dalam diri Dina. Ia mencoba tenang, namun aura dalam tubuh Dina benar-benar ada sesuatu yang mengendalikan dirinya. Mengerikan.

Tino berusaha tertawa terbahak-bahak walau terdengar terpaksa. Dia hanya tidak ingin Dina semakin berani padanya. "Kau ingin membunuh kami? Bagaimana bisa tubuh kurus, kecil dan pendek kayak kamu bisa membunuh kami berdua, ya kan, Ryan?" Tino menyikut dada Ryan. Lalu ia menoleh ke arah temannya itu.

Ryan terdiam, matanya memandang lurus ke depan, tepatnya ke arah Dina berada. Tidak berkutik maupun bergerak. Ketakutan. Tino melihat apa yang Ryan lihat. Benar dugaannya, Dina yang ia pandangi.

Duk.

Tino menyikut dua kali lebih keras ke perut Ryan. "Ngapain kamu lihat Dina kayak begitu?" bisik Tino rada kesal.

"Kamu nyadar gak, sih, kalau anak itu sedikit berbeda dari biasanya?" tanya Ryan penasaran. Tino mengangguk mantap.

"Kita harus hati-hati, jangan sampai kita gegabah!" balas Tino. Mereka asik berbisik tanpa menyadari bahwa Dina sudah berada di dekat mereka berdua.

"Kalian sedang ngomongin aku?" tanya Dina. Ryan dan Tino tersentak. Dina sudah bersiap menghajar keduanya, tangan itu mengayun cepat. Mereka berdua melangkah mundur.

"Dasar bocah gila!" pekik Tino. Dina hanya tersenyum, terus menyerang hingga mereka berdua tanpa takut dan tak gentar sedikitpun.

"Ryan ... lari Ryan!" teriak Tino yang sudah lebih dulu berlari. Ryan terdiam, ia sedikit syok dengan tindakkan Dina. "Sial, kenapa dia diam saja?" pikir Tino, mau tidak mau dia kembali dan menarik bajunya. Untungnya Tino menarik baju Ryan lebih cepat dari ayunan tongkat yang di arahkan Dina ke wajah Ryan.

"Bodoh, kamu mau mati di tangan bocah gila itu, huh?" oceh Tino mengomel.

"Kamu pikir aku gila? Ya, gak lah! Tadi, entah kenapa kakiku benar-benar gak bisa bergerak, seolah aku terhipnotis olehnya!" sahut Ryan. Mereka berlari cepat. Dina mengejar Ryan dan Tino di belakang dengan senyuman menyeringai yang menjadi ciri khasnya itu. Tatapan mata tajam dan sedikit melotot. Dina seolah tidak mau melepaskan kedua bocah laki-laki itu.

"Sekarang kita harus keluar dari sini. Bisa-bisa kita mati di tangan bocah gila itu!" seru Tino.

"Bagaimana dengan Azhar, Fadil dan Dede? Kamu mau meninggalkan mereka bertiga dan di bunuh gadis gila itu?"

"Mau gimana lagi? Kita harus selamatkan diri kita sendiri. Lagi pula, siapa suruh mereka bersembunyi di tempat yang susah ditemukan!" Tino tidak ingin mengambil resiko dengan membiarkan gadis itu membunuhnya.

Namun, di belakang mereka sudah tidak terlihat lagi Dina mengejar. "Tunggu!" henti Ryan. Dia sudah tak melihat Dina mengejar mereka lagi.

"Ada apa lagi?" sahut Tino dengan ketusnya.

"Di mana gadis itu?" tanya Ryan penasaran.

"Ssst! Jangan berisik!" Suara Dina dari belakang. Tino dan Ryan menoleh. Dan ....

Buk

Gedebuk.

Satu pukulan keras tepat mengenai kepala Ryan. Bocah laki-laki itu terjatuh. Pingsan seketika dengan darah keluar dari kepalanya.

"Ryan!" pekik Tino syok. Dia tidak bisa membayangkan, bocah berusia 7 tahun, berbadan kurus dan lemah bisa membuat Ryan yang jauh lebih tinggi, kuat dan jago beladiri itu harus terkapar dengan sekali pukulan saja. "Dasar bocah gila!" umpat Tino melangkah mundur.

Dina terkekeh. "Kamu berisik sekali!" kata Dina bernada suara berat. Lalu dia mulai mengangkat tongkatnya kembali.

Tino bergidik, lalu membalikkan tubuhnya dan berlari sekuat tenaga agar bisa terbebas dari kejaran Dina. "TOLOONG! TOLOONG AKU!" teriak Tino, tak peduli ada atau tidak yang mendengar teriakkannya itu. Dia terus saja berteriak.

"Benar-benar berisik!" ucap Dina. Dia tidak mengejar dari arah yang dilalui Tino. Bocah perempuan itu justru melangkah lewat samping bangunan besar yang sudah berlumut serta usang itu. Bagi Dina, bangunan ini adalah menjadi tempat persembunyiannya kala dirinya sehabis di pukuli dan di siksa kedua orang tuanya.

Sudah sangat hafal kemana dia harus melangkah pergi untuk bisa menghalangi langkah bocah laki-laki besar itu kabur.

Kaki Tino berhenti secara mendadak. Matanya terbelalak saat melihat sosok yang kini paling ia takuti. Padahal beberapa jam lalu dia begitu sombong dan berani menghajar Dina hingga babak belur tanpa ampun. Napasnya kian memburu, jantungnya kian berdetak kencang. "B-bagaimana bisa d-dia sudah sampai lebih dulu di pintu gerbang?" tanyanya dalam hati. Wajahnya sudah sangat pucat sekaligus kelelahan.

Lagi-lagi bocah itu hanya tersenyum. Tangannya mulai mengangkat tangannya. Tino bersigap setiap gerakan tangan Dina itu.

"Tolong ... siapapun tolong aku!" teriak Tino sekali lagi. Tubuhnya gemetaran, bibirnya bergetar hebat saat berteriak meminta tolong. Dina tak berkata apapun, bocah perempuan itu terus melangkah, menghampiri Tino.

Dan itu sengaja Dina lakukan membuat bocah laki-laki itu kelelahan untuk mengalahkannya. Dia menyadari, bahwa dirinya tak akan mampu melawan bocah berbadan dua kali lebih besar darinya itu.

"Bocah gila! Kau pikir aku takut denganmu? Aku tidak takut sama sekali!" bentaknya mencoba menggeretak Dina. Namun, bocah perempuan itu sudah tidak ada rasa takut sama sekali. Ucapan Tino seakan lelucon yang patut ditertawakan olehnya. Kaki mungil tanpa mengenakan sandal itu melangkah, semakin mendekati Tino.

Justru, bocah laki-laki besar berkulit sawo matang itulah yang takut dengan mimik wajah serta tatapan mata Dina. Kaki besarnya melangkah mundur, "Kau ingin membunuhku bukan? Ayo lakukan kalau kau ingin membunuhku! Aku tidak takut padamu, Dina!" teriaknya menantang, dia sudah terlihat putus asa menghadapi Dina, terlebih lagi saat dia melihat Ryan harus terkapar di tanah dengan darah yang terus keluar dari kepalanya.

Dina tak merespon, dia lebih suka bermain-main terlebih dahulu dengan Tino. Bocah perempuan itu ingin membuat Tino seperti dirinya, memelas, memohon ampun, namun tetap menyiksa sampai lawannya lemah tak berdaya.

Mata Tino melihat sekeliling, mencari sesuatu untuk bisa melawan Dina. Namun, tiba-tiba saja Dina berlari kencang. "Dasar gila!" gumam Tino, dia bergegas membalikkan badannya. Lalu berlari.

Buk.

Nasib sialnya tidak berpihak padanya.

****

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status