Share

Kehidupan Masa Kecil

Malam, jam sudah menunjukan di angka 12 malam. Seharusnya begitu tenang. Seharusnya malam ini menjadi sunyi. Hari di mana orang-orang pergi tidur setelah seharian bekerja. Namun, terdengar suara anak kecil yang menyayat hati, parau dan terdengar pilu di sebuah rumah kontrakkan kecil di salah satu desa di kota Bandung.

"Ampun Mah, maafkan aku Mah. Aku janji gak akan ngompol lagi!" Jeritnya sambil menangis, memohon ampun dan berusaha menutup kepalanya dari sabetan sapu lidi ibunya itu.

"Alah ... janji mulu tiap hari. Tapi mana? Kamu tetap saja mengompol," teriak wanita itu terus memukuli anaknya yang baru berusia 4 tahun. Ia begitu bersemangat saat memukuli bocah perempuan yang lugu itu. "Mamah sudah capek ngebilangin kamu agar berhenti mengompol dan pecahin barang-barang di rumah, tapi kamu tetap saja melakukan itu, Dina! Mamah juga benci sekali sama ayah kamu yang pergi meninggalkan kamu yang nakal ini sama Mamah!"

"Sudah pukul aja, biar dia ngerasain kalau kita capek, Mah, tiap hari cuci sprei dan jemur kasur!" Laki-laki bertubuh kekar dan bertato itu ikut kesal harus mencium aroma bau pesing, mencuci dan menjemur kasur ompol anaknya tiap hari.

"Kamu tau kan? Kalau Mamah sama papah capek bekerja ngurusin kamu, sekarang jadi kebiasaan mengompol. Malu, kamu sudah empat tahun, berhenti mengompol."

"Iya Mah, ampuni aku, Mah, ampuun!"

"Gak usah diberi ampun! Kebiasaan jadinya kalau dikasihani," celetuk laki-laki itu. Seolah memberi kuasa pada istrinya untuk terus menyiksa anak perempuan malang itu.

"Ayo ikut Mamah!" pekik wanita itu. Telah puas menyiksa, ia menarik tangan anak kecil bertubuh gendut itu. Terlihat ada bekas pukulan yang masih membekas di lengan dan sebagian di kaki. Lalu ada bekas pukulan yang baru saja ia terima oleh ibunya sendiri. "Malam ini kamu pantas tidur di luar!"

Rasanya, wanita itu tidak cukup puas memberi hukuman yang terlihat sebagai sebuah penyiksaan terhadap anak perempuan malang itu.

"Jangan Mah, Dina takut tidur di luar sendirian," rengeknya, dibarengi suara isak tangis yang tersedu-sedu.

"Masa bodo! Kamu harus menanggung akibat dari perbuatanmu itu. Mamah capek Dina, capek ngurusin kamu tiap hari dan bau ompolmu ini. Bahkan kamu sering memecahkan gelas dan piring, dan itu membuat mamah stres menghadapinya!" ujar wanita itu.

"Rasain itu, anak bandel!" Laki-laki itu tampak senang melihat anak tirinya itu di siksa oleh istrinya, ibu kandung anak itu sendiri.

"Keluar kamu! Dan jangan tidur di kamar sebelum kamu benar-benar berhenti mengompol!" Di dorong tubuh anak itu hingga terjatuh.

"Gak Mah, ampuni Dina. Maafkan aku, Mah. Aku takut hantu, Mah! Aku takut sendirian di luar!" Bocah itu terus merengek, memohon agar wanita itu mengampuninya. Tapi apa yang terjadi, seolah rasa iba terhadap anak sendiri hilang, wanita itu justru tetap mengunci pintu dan membiarkan anak perempuannya di luar. "Tolong ampuni Dina, Mah. Dina janji gak akan nakal lagi, Dina janji jadi anak baik, Mah!" katanya lagi sambil melihat ke arah luar. Gelap dan menakutkan. Apalagi di depannya terdapat pohon beringin besar yang terkenal angker.

Wanita itu mendengus. Rasa kesalnya belum juga hilang walau sudah memukul, menyiksa dan menghukum anaknya sendiri tidur di luar.

"Sudah, jangan kamu pikirkan. Sekali-sekali dia pantas tidur di luar. Ingat, kamu gak boleh lembek dan lembut pada anak kamu itu, kebiasaan, nanti akan sering membantah juga berbohong padamu!"

Isak tangis terus terdengar, namun lambat laun tak sekeras tadi. Ia sudah terlihat sangat kelelahan setelah menangis sejam lamanya. Bukan hanya itu saja, ia juga merasakan sakit di sekujur tubuhnya. Tetapi ia berusaha tidak menghiraukannya. Gadis kecil itu terus memohon, meminta pada wanita itu agar diijinkan masuk. sayangnya, permohonannya itu tidak di gubris sama sekali oleh ibunya.

Wajah polos itu sangat ketakutan, namun apa daya, ia tidak punya tenaga lagi untuk menggedor pintu. Tubuhnya beringsut duduk di depan pintu. Lalu menyembunyikan kepalanya di antara kedua lututnya. Ketakutan, sekaligus kelelahan.

Kejadian ini bukan sekali dua kali, selalu saja terus terjadi. Dan pelampiasannya selalu saja bocah tak bersalah itu. Sedikit saja kesalahannya, kedua orang tuanya selalu marah dan memukuli hingga tak puas sekali.

Kadang ia merindukan sosok ibunya yang dulu. Begitu ramah, sayang, perhatian dan selalu memeluknya saat sedih. Entah sejak kapan dia berubah, bahkan ayah tirinya pun dulu begitu sayang pada Dina layaknya anak kandung sendiri.

"Maafkan aku, Mah. Maafkan aku!" Igaunya sesekali mengoceh permintaan maafnya pada ibunya itu. "Aku janji ... aku janji tidak akan nakal lagi, Mah. Aku janji tidak akan mengompol atau pecahin gelas dan piring, Mah!" lanjutnya, terus mengigau. Terpaksa tertidur di luar rumah.

****

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status