Share

Renjana dan Nestapa
Renjana dan Nestapa
Author: J. Arya

Awal Kisah

Siapa bilang hidup di desa itu tenteram dan nyaman?! Terkadang banyak gesekan serta sindiran yang membuat telinga panas. Belum lagi harus menghadapi perbandingan kehidupan yang mengundang pertikaian orang tua.

“Mau ke mana, San? Pagi-pagi udah rapi dan cantik,” tanya seorang tetangga yang melintas di depan rumah Santi.

“Mau naruh lamaran ke Alfam*rt, Bi,” jawab Santi dengan santun.

Tangannya sibuk merapikan berkas lamaran pekerjaan.

“Oh…. Masih mau naruh lamaran sana sini ya,” si tetangga merespon bernada menyindir. “Si Euis mah bentar lagi udah mau berangkat ke Hongkong. Katanya mah sih minggu depan. Udah nggak pusinglah harus ngelamar kerja sana sini nggak jelas. Ngabisin duit. Mending yang pasti-pasti aja. Iya, kan?!”

Santi paham jika sang tetangga sedang melakukan komparasi. Namun, ia tak merasa tersinggung. Ia percaya bahwa setiap orang hidup dengan jalan cerita masing-masing.

“Syukur atuh, Bi. Mudah-mudahan sukses dan lancar,” timpal Santi.

“Pasti atuh. Apalagi di sana gajinya gede. Jaba (ditambah) si Euis mah geulis (cantik), pasti bakal disayang banget sama majikannya nanti.” Si tetangga terus berusaha memanaskan suasana pagi yang sejuk.

Bagi sebagian orang tua, suatu kebanggaan bisa memamerkan kesuksesan anak di depan orang lain. Padahal, kesuksesan dalam hidup bukan semata tentang pekerjaan dan harta. Ada jiwa yang harus bahagia dan diri yang harus bisa bermanfaat bagi sekitar.

Mendengar sang anak mengobrol dengan tetangga yang suaranya familiar di depan rumah, Lilis (ibu Santi) segera menghampiri. Ia jengah ketika mendapati kata-kata yang tidak nyaman di telinga.

“Kamu teh lewat ke sini sengaja mau pamerin tentang anak kamu yang mau berangkat jadi TKW (tenaga kerja wanita)? Segala ngomong kalau anak kamu mah cantik, pasti disayang majikan. Emangnya di sana dia mau ngapain? Mau jual diri? Atau mau ngebabu?” Lilis langsung berapi-api.

Naha ai kamu kaluar teh ujug-ujug marah-marah (kenapa kamu keluar langsung marah-marah)?” Si tetangga menyunggingkan bibir. Ia tanggapi sinis pernyataan Lilis. “Lagian ya, saya teh ngobrolnya sama anak kamu, bukan sama kamu. Kenapa malah kamu yang nyamber kayak bensin?”

Lilis maju beberapa langkah, mendekati sang lawan bicara. “Emangnya saya nggak tahu kalau kamu teh lagi nyindir-nyindir keluarga saya. Mentang-mentang anak kamu lagi di penampungan.”

Si tetangga menaikkan kedua alis sembari membanting pandangan ke arah samping.

“Heh Kesih,” bentak Lilis. Ia juga melayangkan telunjuk ke muka tetangganya tersebut. “Nggak usah ngurusin hidup orang lain. Kamu doain aja supaya anak kamu betah kerja di luar negeri. Pinta juga sama Gusti Allah semoga anak kamu nggak masuk TV, karena kasus yang bisa membuat orang-orang di desa ini malu.”

Kesih pun naik pitam. Ia tidak terima atas dampratan Lilis yang terkesan merendahkan sang anak. “Dasar kamu mah baper-an (bawa perasaan)! Bilang aja kamu sirik. Anak kamu masih keliling-keliling cari kerja, sedangkan anak saya bulan depan udah mulai kirim transferan (uang) ke saya,” pungkasnya sambil melenggang pergi.

“Saya doakan semoga anak kamu ketahan, nggak jadi berangkat. Dasar sombong! Baru segitu aja udah mau pamer. Pamer tuh kalau udah ada hasil yang nyata,” umpat Lilis kepada Kesih.

Kesih menanggapi umpatan Lilis dengan menggoyangkan pinggul.

Tak terima diledek dengan gerakan tubuh, Lilis berusaha mengejar Kesih. Santi pun terbawa panik. Ia tahan sang ibu agar tidak terjadi kontak fisik.

“Udah, Mah. Ngapain sih Mamah (mamah = mama, ditambahkan “h” sebagai penegasan aksen sapaan/ kata ganti) teh marah-marah segala?! Biarin aja Bi Kesih mau ngomong apa juga tentang kita.” Santi mencoba meredam emosi sang ibu.

“Ini teh gara-gara kamu, Neng.” Lilis justru berbalik mencaci Santi. “Coba kamu mau berangkat ke luar negeri, nggak akan si Kesih teh berani ngomong gitu ke kita.”

Lilis seolah mendapatkan momentum untuk menumpahkan kekesalan kepada sang sulung.

“Sponsor tuh udah banyak yang nanya ke Mamah soal kamu. Sementara kamu masih aja mau naruh lamaran sana sini. Emangnya bikin SKCK (Surat Keterangan Catatan Kepolisian), kartu kuning (kartu pencari kerja), fotokopi, dan tetek bengek (dan sebagainya) itu nggak pake duit? Udah berapa banyak lamaran yang kamu buat dan kamu ajukan? Terus udah ada yang panggil kamu buat interview?” sambung Lilis.

Santi berusaha tenang. “Sabar atuh, Mah. Namanya juga kan lagi ikhtiar. Semua ada prosesnya.”

“Proses apaan, Neng? Orang-orang mah udah menuju beunghar (kaya), sementara kita masih balangsak (susah/ miskin). Kamu seneng dengar keluarga kita diinjak-injak sama tetangga macam si Kesih tadi?”

“Mah….” Santi kesulitan untuk memberikan tanggapan. Ketika mental sudah terserang, maka kata-kata seakan menghilang dari kepala.

Si Bapak yang berada di belakang rumah bergegas melihat perdebatan yang suaranya makin menguat bersama laju udara.

Aya naon sih, Lis? Isuk keneh teh tos ribut. Isin kadangu tatangga teh. (Ada apa sih, Lis? Masih pagi kok sudah ribut. Malu kalau didengar oleh tetangga),” tanya si Bapak dengan suara yang halus.

Teuing ah (entahlah)! Lilis mah udah capek ngomong sama si Neng. Coba atuh Akang yang bilangin supaya si Neng mau berangkat ke luar negeri kayak temen-temennya. Kalau mau ngandelin kerja di sini mah, atuh jadi apa, Kang? Gaji teu sakumaha (tidak seberapa), sementara harga-harga kebutuhan teh makin hari makin mahal.”

Santi tertunduk. Semangat yang ia bangun untuk mencari pekerjaan runtuh seketika. Matanya pun mulai berkaca-kaca.

Lis, tong ngabahas iyeu wae atuh (jangan membahas hal ini terus)!. Hargai keputusan si Neng. Dia kan nggak mau berangkat ke luar negeri karena pengen guyub (kumpul) sama kita. Bahagia itu nggak hanya soal materi, Lis,” tutur si Bapak.

“Alah, Lilis bosen dengar kata-kata mutiara Akang. Bahagia bukan soal materi, bukan soal uanglah. Realitis, Kang! Kebahagiaan mungkin henteu (tidak) bisa dibeli dengan uang, tapi banyak uang bisa bikin bahagia, Kang,” ungkap Lilis sembari mengentakkan nafas melalui mulut. Kemudian, ia masuk ke dalam rumah dengan memasang wajah cemberut.

“Lis….” panggil Si Bapak. Ia ingin istrinya lebih memikirkan perasaan sang putri.

“Udah ah, lieur (pusing) Lilis mah,” sahut Lilis dengan ketus.

Santi tak kuasa menahan air mata. Ia tidak tahu lagi harus bagaimana agar esok hari perdebatan seperti ini tidak terulang.

Santi, gadis belia berusia 18 tahun yang baru lulus SMA. Ketika para perempuan di desanya banyak yang memilih bekerja di luar negeri, Santi bertekad untuk mencari pekerjaan di desa sambil merawat orang tua dan adik-adiknya. Ia berharap suatu saat bisa mengangkat status ekonomi keluarga tanpa mengorbankan kebersamaan.

“Udah, Neng. Omongan si Mamah nggak usah Neng pikirin. Neng pergi aja. Hati-hati aja di jalan ya! Bapak nggak pernah berhenti doain Neng supaya Neng berhasil dalam segala hal.” Si Bapak coba memulihkan ekspresi Santi.

“Aamiin. Nuhun (terima kasih) ya, Pak!” ucap Santi seraya menyeka kedua sudut mata. Lalu, ia menjabat tangan sang ayah untuk pamit.

Tiba-tiba Lilis keluar lagi. “Kamu sama siapa berangkatnya? Sendiri atau sama si itu?”

“Sama A Wildan, Mah. Barusan A Wildan kirim SMS. Katanya lagi di jalan mau ke sini,” terang Santi.

Kejujuran Santi laksana percikan api yang kembali menyulut amarah Lilis. “Hubungan Neng teh sama si Wildan udah sejauh mana? Neng emang nggak bisa cari laki-laki yang lain yang mapan? Kalau Neng nggak bisa, Mamah yang carikan. Neng, kita teh orang susah. Jangan nikah sama orang susah lagi. Rek iraha (kapan) kita hidup senang? Rek iraha Neng teh bisa memperbaiki ekonomi keluarga? Ganteng doang mah nggak akan bikin perut wareg (kenyang), Neng. Contohnya tuh si Bapak.”

Si Bapak hanya bisa melafalkan Istifgfar kala dijadikan bahan perbandingan. Ia berupaya sabar menghadapi perangai sang istri. Jika ia bantah atau ladeni emosi Lilis, maka percekcokan tidak akan kunjung selesai.

Santi melihat ponselnya. Kemudian, ia meraih tangan sang ibu untuk memohon restu. Bagaimana pun, doa kedua orang tua sangat ampuh menembus langit.

“Neng pergi dulu ya, Mah. A Wildan sudah sampai di pos ronda. Doain semoga ada rezekinya Neng hari ini.”

Sang ibu tak menanggapi sepatah kata pun. Ia masih terbawa kesal dengan tragedi pagi ini.

Namun setelah Santi pergi, ia justru menggerutu. “Sampai mati saya nggak akan setuju anak saya sama kamu, Wildan.”

Si Bapak geleng-geleng kepala. Ia biarkan istrinya meluapkan segala panas hati. Daripada terbakar bara, si Bapak memilih kembali ke belakang untuk mempersiapkan perkakas yang akan dibawa berladang.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status