Popularitas dan kemewahan seolah-olah menjadi sumber kebahagiaan. Padahal, hati yang damai akan lebih bisa mendatangkan kesenangan dalam pikiran.
Setiap anak pasti ingin membuat kedua orang tuanya selalu tersenyum dan bangga. Akan tetapi, bagaimana bisa melakukan hal tersebut jika jiwa terbelenggu oleh berbagai definisi bahagia yang semu?
Katanya, menjadi terkenal akan mendatangkan banyak uang. Katanya, setiap orang akan bahagia jika memiliki banyak uang. Asumsi dan praduga mengalun sendu di kepala Santi.
Ia terus dicekoki oleh sang ibu agar mau menerima tawaran Keukeu. Tinggal di Jakarta, menjadi seorang penghibur.
“Neng, kata si Keukeu, Neng bisa kok pulang tiap minggu ke sini. Jadi, apa yang masih memberatkan keputusan Neng?” tanya Lilis usai tinggal bertiga di meja makan. Robi dan si Dede sudah masuk ke dalam kamar untuk beristirahat.
Dari siang ke sore, dari sore hingga selesai bersantap malam, Lilis terus menombakkan kemiskinan ke dalam otak Santi. Tujuannya, jelas, agar sang putri segera mengatakan setuju untuk berkiprah di dunia entertainment.
Santi tak menanggapi pertanyaan yang dilayangkan oleh ibunya. Ia memilih membereskan piring-piring kotor untuk dibawa ke tempat pencucian.
“Ditanya bukannya jawab malah menghindar.” Lilis memasang wajah geram.
“Lis, kamu teh kenapa sih ngotot sekali pengen si Neng jadi artis?” Si Bapak coba menengahi ketegangan yang terjadi antara istri dan anaknya.
“Kang, kalau saya bisa, mending saya yang ke Jakarta,” respon Lilis sembari menjatuhkan tangan kanan ke meja.
Si Bapak menghirup udara, mengalirkan kesabaran ke setiap sendi badan. “Lis, maksud Akang teh, emang kamu udah tahu latar belakang orang yang mau ngajak si Neng jadi artis. Zaman sekarang, kita patut cari tahu dulu. Jangan asal setuju dan….”
Lilis menyela, “Inilah Kang kenapa kita nggak kaya-kaya. Ketika diajak maju sama orang lain, pikiran kita teh curiga terus, bukan bersyukur.”
Maksud hati mengajak diskusi untuk menemukan solusi, tetapi sang istri selalu mendahulukan emosi. Si Bapak menepikan pandang supaya batin tidak tertantang.
“Neng teh pengennya kumaha (bagaimana) atuh? Kerja di luar negeri nggak mau. Ditawarin jadi foto model dan artis nggak mau juga. Neng, kesempatan teh datangnya nggak dua kali. Cik (coba) diresapi! Gusti Pangeran teh moal ngarobah nasib hiji kaom, ari lain kaom eta nu ngarobah na (Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum, jika bukan kaum itu yang mengubahnya sendiri),” ucap Lilis dengan suara lantang.
Santi berpikir keras. Ada hal yang ia rasa janggal. Benarkah menjadi foto model atau pun artis semudah ini? Padahal, ia merasa tak memiliki bakat. Tak ada pula hasrat untuk mendalami pekerjaan di depan kamera.
“Mah, Neng teh nggak mau kerja di bidang itu,” sahut Santi. “Setahu Neng untuk masuk ke industri tersebut pun nggak gampang. Ada banyak tahapan yang harus dilalui. Ditambah, banyak godaannya.”
“Godaan naon? Emang Neng teh lagi puasa banyak godaan nu (yang) membatalkan. Pusing tujuh keliling Mamah mah sama Neng. Dikasih yang mudah, maunya mengejar yang sulit.”
“Mamah lihat kan di majalah yang Kang Keukeu berikan. Di situ terpampang jelas kalau artis-artis itu teh banyak yang buka-bukaan. Pake baju seksi, dandanan menor. Neng nggak bisa berpenampilan seperti itu, Mah. Apa kata orang-orang nanti tentang Neng?!” Santi mencoba memberi pemahaman.
“Namanya juga pekerjaan, Neng. Selagi nggak jual diri, sah-sah saja. Lagian, si Keukeu juga bilang kalau Neng bisa mulai dari foto model dulu. Cuma megangin produk dan difoto doang. Sekali pemotretan, itu gajinya satu bulan Neng kerja jadi karyawan di sini. Bayangkan kalau Neng sebulan ada belasan atau puluhan kali pemotretan. Terus kalau Neng mulai merambah maen pelem (film), uang yang akan….”
Si Bapak merasa sudah cukup menjadi pendengar. Ia lantas memotong ucapan Lilis. “Akang oge (juga) nggak setuju si Neng jadi foto model atau jadi artis, naon lah eta (apa pun itu) pekerjaan nu loba mudorotna (banyak bahayanya). ”
Pernyataan si Bapak seketika mendidihkan darah Lilis. “Akang teh naon sih nu setuju?”
“Lis, hirup (hidup) di Jakarta itu keras. Apalagi di zaman sekarang, semua serba canggih. Manusia udah pada ngandelin teknologi. Norma mulai dilupakan dengan alasan kebebasan. Akang teh hariwang (khawatir) mun (kalau) si Neng nggak bisa jaga diri, dia bisa terbawa pergaulan yang jauh dari kaidah agama dan hukum.”
Santi letih dengan perdebatan dan perdebatan yang setiap hari berdendang, melagukan kidung lara. Butir-butir air matanya pun jatuh, menyatu ke dalam kolam busa. Tangannya menggosokkan spons di atas piring, tetapi hatinya terasa dikerik oleh strata ekonomi.
“Kang, di sana kan ada si Keukeu yang bertanggung jawab jagain si Neng. Lagian, Akang teh pengennya si Neng diem aja di rumah? Akang bercita-cita kuliahin dia, tapi buat kita makan sehari-hari aja ala kadarnya. Akang dulu punya banyak sawah dan kebun. Tapi, Akang jual buat modalin sekolah, kuliah, hingga masuk kerja adik-adik Akang. Lilis bukannya ngungkit. Cuma sekarang, ketika adik-adik Akang sudah pada sukses, apa mereka peduli dengan kehidupan kita? Apa mereka inget sama keponakan-keponakannya?”
Wajah si Bapak menyala, menahan amarah. Tangannya mengepal untuk menggumpalkan suara agar tidak meledak.
“Terus Lilis coba jodohin si Neng sama Mang Parja atau si Faisal, Akang juga nggak setuju. Akang teh ridho kalau si Neng nikah sama si Wildan yang nggak punya apa-apa?” sambung Lilis.
Lilis, jika sudah bersabda, ucapannya acapkali keluar jalur. Ia himpun semua nestapa untuk menjadi amunisi senjata.
“Coba Akang lihat bahwa yang Lilis sedang perjuangkan itu demi masa depan si Neng. Demi anak-anak kita nanti, bukan buat Lilis semata. Bisa aja pas si Neng sukses, Lilis teh sudah mati.” Mata Lilis merah bercucuran air mata.
Pukkkkkk!!! Tak disangka-sangka si Bapak menghajar meja dengan kuat.
“Akang juga mikirin kok. Tapi kenapa kamu teh keukeuh (keras kepala) si Neng bakal bahagia kalau dia begini, kalau dia begitu? Bahagia itu dari hati, Lis. Anak itu bukan invetasi bagi kita. Bukan pula jaminan buat kita di hari tua. Anak itu amanah yang harus kita didik dan bahagiakan sebaik mungkin, tanpa memberinya paksaan dan tekanan mental.” Si Bapak menghela nafas berkali-kali.
Sifat sabar dan tenang si Bapak runtuh juga. Ini kali pertama, Santi mendengar sang ayah berbicara dengan nada tinggi di dalam rumah. Hatinya merasa begitu bersalah. Kedua orang tua bertengkar akibat idealismenya.
Ketika si Bapak mengencangkan suara, Lilis menundukkan kepala.
Hening terjadi beberapa menit. Santi pun kembali duduk di antara ayah dan ibunya.
Kemudian, Lilis berkisah dengan suara yang pelan. “Dulu Lilis teh mau jadi artis. Tapi, Abah sama Ambu nggak setuju. Lilis mau berangkat ke luar negeri setelah kita menikah, Akang juga ngga setuju karena Lilis hamil si Neng.”
“Mah, Neng mau ke Jakarta,” ujar Santi dengan mata sembab.
“Terserah kamu! Mamah nggak mau nantinya kamu bilang karena terpaksa.” Lilis bangkit dari kursi. Ia beranjak ke dalam kamar.
“Neng…. Neng teh yakin?” Si Bapak mengkonfirmasi pernyataan sang putri dengan tutur yang lembut.
“Iya, Pak. Siapa tahu memang ini jalannya buat Neng bisa membahagiakan Bapak sama Mamah.” Santi terisak. Ia mengalihkan tatapan ke langit-langit rumah untuk menyamarkan sesak di dada yang terukir dari raut muka.“Biar Neng juga nanti bisa bantu nyekolahin Robi sama si Dede.”
Keputusan sudah dibuat. Semoga besok dan seterusnya tak ada lagi perseteruan terkait nasib dirinya. Berat. Namun, lebih berat membiarkan hawa panas di dalam rumah terus bersemayam.
Santi meminta izin kepada si Bapak untuk lebih dahulu beristirahat. Lantas, ia kabari Nia melalui pesan singkat bahwa besok dia batal untuk mulai bekerja. Tak lupa, permohonan maaf pun disampaikan agar Nia tidak kecewa.
Mata yang basah coba ditutup sekuat tenaga dengan harapan kantuk tiba. Sewaktu kecil, menangis dilanjutkan tidur sama dengan menyelesaikan masalah. Ketika dewasa, hal tersebut hanya bisa meredakan kegusaran sesaat. Santi menegarkan hati untuk tidak mengingkari keputusan yang sudah diterbitkan.
Malam berlalu. Pagi menjelang, mengawali hari. Sikap Lilis berubah penuh senyum kepada Santi. Tak ada lagi ekpresi getir yang ditunjukkan oleh sang ibu.
Ponsel Santi berdering kencang. Sepagi ini, Wildan sudah menelepon. Pasti ada hal penting yang ingin disampaikan. Pikir Santi.
“Halo, A.” Santi menyapa dengan volume kecil.
“Neng, Aa dengar kamu mau jadi artis ya?” suara Wildan terhantar gelisah nan sedih.
“Aa tahu dari siapa?”
“Ini ibu-ibu ramai ngomongin tentang Neng. Beneran itu teh, Neng?”
“Iya, A.”
Persetujuan baru diucapkan semalam, tetapi berita sudah langsung menyebar pagi ini. Santi yakin sang ibu sudah menyebarkan berita tersebut dari kemarin. Pantas saja, ibunya semalam begitu ngotot.
“Neng, si Dede pakein seragam dulu geura. Sama si Robi tuh nyari dasi katannya belum ketemu. Mamah nanggung lagi goreng ikan asin,” seru Lilis dari dapur.
“Iya, Mah,” sahut Santi. “Udah dulu ya A teleponannya.”
“Nanti siang kita ketemu yuk? Aa pengen denger langsung penjelasan dari Neng.”
“Iya, A. Neng usahakan.”
Telepon ditutup. Santi segera mengurusi keperluan adik-adiknya bersekolah sembari memikirkan cara untuk bertemu dengan sang pujaan hati. Setiap tindak tanduknya di luar rumah pasti akan dipertanyakan oleh sang ibu.
Usai adik-adiknya rapi, Santi membantu sang ibu memasak. Ada rasa bahagia melihat ibunya kembali bercengkrama ceria dengan “perapian”.
“Neng, tadi Subuh, Mamah udah SMS si Keukeu kalau Neng mau ke Jakarta. Terus si Keukeu siang ini ngajak ketemu. Katanya ada hal penting yang mau diomongin untuk persiapan kamu berangkat. Dia juga bakal jemput pakai mobil ke sini,” terang Lilis berbinar-binar.
“Mah…. Neng…. Neng…. em…. Neng nanti siang ada janji sama teman buat ketemuan,” ungkap Santi. Tuturnya meragu karena harus berbohong.
Lilis mendelik. “Bukan mau ketemu si Wildan, kan?”
“Bu…. bukan, Mah. I…. ini teman sekolah Neng. Mamah aja ya yang ketemu sama Kang Keukeu.”
“Nanti Mamah tanya dulu kamu harus ikut atau nggak. Tapi kamu nggak bohong kan sama Mamah?”
Santi menggelengkan kepala. Hatinya memanjatkan permintaan maaf. Dusta yang ia lontarkan akibat terpaksa. Ia butuh penawar resah.
Lilis merias wajahnya dengan bedak yang tebal. Tak lupa bibir diolesi lipstik merah menyala, dan alis diukir membentuk garis melengkung seperti tikungan Jalan Nagreg. Pakaian yang dikenakan pun merupakan pakaian terbaik Lebaran kemarin.Ah! Ini momen yang begitu bermakna baginya. Penampilan tentu harus paripurna untuk bisa menyenggol tetangga, terutama Kesih. Belajarlah menjadi orang kaya dari sekarang. Begitu ucapnya di dalam hati.Lilis pun terus melihat perputaran waktu. Ia tak sabar menunggu Keukeu datang. Kalimat demi kalimat sapaan telah ia susun untuk menyapa setiap warga yang nanti akan dilewati.Duh! Emas masih di dasar sungai, belum di genggaman, tetapi ambisi untuk pamer sudah meledak-ledak.“Mamah meni menor pisan kayak mau kondangan,” komentar Santi sambil menahan tawa.“Tong nyengseurikeun kolot, doraka (jangan menertawakan orang tua, durhaka)!” ucap Lilis membalas candaan Santi.“Ampun, Mah! Hehe….”Santi memeluk sang ibu. Ada rasa bahagia melihat ibunya berdandan walau
Lilis bersandar di jendela mobil dengan perasaan kesal. Ia mendapat kabar dari Faisal jika Wildan membawa Santi pergi. Siapa yang tidak kecewa jika ditipu oleh anak sendiri?!Sesekali, Lilis menggerutu. Pikirannya berdiskusi dengan nurani untuk memberikan peringatan yang bisa membuat Wildan jera – tak lagi menjalin kasih dengan Santi.“Kenapa sih, Ceu? Masih kurang belanjaannya?” tanya Keukeu yang tak suka melihat raut kecut yang Lilis tunjukkan.“Ng…. nggak, Keu. Ini malah lebih dari cukup.” Lilis segera memperbaiki lukisan wajahnya.“Terus kenapa mukanya ditekuk gitu? Lecek bagaikan dompet suami yang tak berisi selama puluhan purnama. Tadi Ceu Lilis heboh banget, nggak berhenti ngomong kayak kereta lagi jalan. Apa lagi lobet (low battery = baterai lemah)? Nanti Keukeu beliin powerbank deh kalau anaknya Eceu sudah menghasilkan,” sarkas Keukeu.“Bukan gitu, Keu. Ini anak saya dibawa kabur sama pacarnya. Saya teh pusing mikirinnya,” terang Lilis.Keukeu berteriak hingga sang sopir nyar
Hinaan, makian, dan hujatan masih bisa ditahan. Namun, kebohongan yang dilakukan oleh seorang anak hingga menimbulkan semua kepedihan tersebut sungguh menyayat hati. Yati ingin sekali melampiaskan luka tanpa membenturkan derita.Wildan terus bersimpuh di kaki sang ibu. Ia tak mengira dusta yang diucapkan tadi pagi mengundang petir dan badai. Prahara memang terkadang tak bisa disangka arah kedatangannya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Ia pikir tidak akan ada mata yang mengintai. Ternyata, berita mudah sekali menyebar.Entah siapa orang yang menjadi mata-mata, itu tidaklah penting. Kata maaf dari sang ibu merupakan hal utama yang harus ia gapai.“Ambu, maafin Wildan ya. Ambu dimaki-maki sama Bi Lilis teh pasti gara-gara Wildan,” ucap Wildan mengharap ampunan.Dari depan rumah hingga pindah ke dalam kamar, Yati tak menggubris sedikit pun permohonan maaf sang putra. Bibirnya tertutup rapat, tetapi air matanya tak berhenti mengalir.“Ambu, tolong jangan diemin Wildan kay
Pagi menyapa dengan cahaya yang gembira, si Bapak mengajak sang istri dan Santi untuk bertandang ke rumah Wildan. Si Bapak ingin mengucapkan permohonan maaf atas kerusuhan yang terjadi kemarin. Sayangnya, Lilis tidak mau ikut. Ia berkata tindakannya bukanlah sesuatu yang salah.Waktu menunjukkan pukul 07:00. Suara kicauan burung mengiringi setiap langkah. Sinar mentari menghangatkan badan dan membantu menyemangati niat baik pagi ini.Sesampainya di rumah Wildan, si Bapak dan Santi perlu menyerukan beberapa kali salam hingga Yati keluar. Ya, hanya Yati seorang diri yang menyambut kunjungan si Bapak dan Santi.“Teh Yati, saya atas nama pribadi, istri saya, dan juga anak saya, Santi, memohon maaf yang sebesar-besarnya atas kejadian kemarin. Saya tahu, omongan istri saya teh memang sangat menyakitkan. Tapi, saya mohon sekali Teh Yati dan Wildan memberikan kami maaf,” ucap si Bapak langsung pada maksud dan tujuannya bertamu.“Saya sudah maafkan, Cid. Saya juga sadar diri bahwa kami teh mem
Keesokan harinya, para tetangga berkumpul di depan rumah Santi dari semenjak Subuh. Mereka ingin turut memberikan semangat kepada sang calon bintang. Andai Santi terkenal, maka nama baik desa bisa terangkat. Begitu pikir mereka, berharap nasib baik Santi menular kepada generasi muda yang lain. Keukeu datang tepat waktu untuk menjemput Santi. Si Bapak pun tak bisa membendung haru. “Neng, jangan lupakan sembahyang ya! Jaga diri Neng baik-baik. Jaga juga iman Neng ya!” ucap si Bapak sambil mendekap Santi. “Teh, nanti kalau udah banyak duit beliin Obi hape ya,” ujar Robi dengan polos. “Dede juga mau, Teh,” imbuh si Dede. “Iya, doain Teteh semoga betah ya di sana. Teteh pasti kangen banget sama jagoan-jagoan kecil ini.” Santi mencubit pipi Robi, lalu memeluk erat si Dede. “Mamah mah cuma mau pesen, Neng nurut apa kata si Keukeu. Dia udah janji bakal jaga Neng. Kerja yang bener ya, Neng!” Lilis berderai air mata. Ia seakan tak rela melepas kepergian sang putri, padahal dia yang meminta
Perjalanan hidup terkadang begitu misterius. Manusia bisa merencanakan hari esok, menskenariokan hal-hal yang akan dilakukan, tetapi realitas bisa sangat berubah. Segala yang ada di bumi ini dinamis. Waktu terus bergerak maju. Pun, setiap pijakan kaki harus bisa beradaptasi dengan masa depan.Santi diwacanakan akan menjadi bintang. Akan tetapi, deskripsi pekerjaan yang kelak dilakukannya tak dijelaskan secara gamblang oleh Keukeu. Hal ini sebenarnya membuat sang kembang desa cukup resah. Apakah menjadi seorang artis cukup dengan modal wajah yang cantik? Hipotesis tersebut tak berhenti mengiang di benaknya.“Keu, saya pengen tanya sesuatu. Boleh?” ujar Santi kala mobil yang ditumpangi memasuki jalan tol. Ia duduk di samping sopir. Sementara Keukeu bersama satu bodyguardnya di kursi tengah.“Mau tanya apa? Tanya aja. Asal jangan tanya tentang Matematika dan Sejarah. Akika soalnya kalau udah sayang sama orang, nggak suka hitung-hitungan. Tapi akika juga nggak suka terjebak di ruang nosta
Keukeu segera menghubungi Lilis. Ia meminta dikirimkan nomor Santi dengan alasan Santi tersesat di rest area.Kemudian, Keukeu kembali ke lokasi tempatnya makan tadi. Ketika ditelepon, Santi mengatakan tengah menunggu Keukeu cukup lama di depan restoran.“Aduh, Santi!!! Gue udah takut banget lu kabur. Heem, kesel deh. Ubun-ubun gue hampir aja mengeluarkan abu vulkanik,” ucap Keukeu.Santi lantas bingung dengan maksud pernyataan Keukeu. “Kabur? Kenapa saya harus kabur? Saya teh malah khawatir Keukeu meninggalkan saya sendirian di sini.”“Udah, udah. Kita makan aja ya. Habis itu kita langsung melaju, melanglang buana ke ibu kota.”“Madam mau makan lagi? Bukannya tadi udah melahap dua piring?” komentar si bodyguard.Keukeu menatap tajam si bodyguard. “Nggak usah ngingetin! Gue laper lagi gara-gara kalian.”Santi memang tengah mawas diri, tetapi dia belum berencana untuk kabur saat ini. Pekerjaan yang dijanjikan oleh Keukeu masih belum tersingkap kebenarannya. Jika sudah tiba di Jakarta,
Berbagai sangkaan berputar di pikiran Santi. Ia memang tidak memiliki refensi terkait proses bekerja di dalam insdustri hiburan. Namun ia cukup sangsi kepada si pria borjuis itu.Jika produser sama dengan pemilik sebuah perusahaan, mengapa dia tidak melakukan wawancara atau tes kemampuan? Bukankah hal lumrah dalam sebuah pekerjaan bila sang pelamar diminta menunjukkan kualifikasinya? Santi berusaha menerawang misteri yang perlahan menyuburkan ketakutan dalam diri.Semalam Santi bercerita mengenai keresahan yang menusuk sanubarinya kepada Wildan via sambungan suara jarak jauh. Sang kekasih pun meminta Santi senantiasa berhati-hati, dan lekas mengabari jika terhimpit mara bahaya. Hal sama juga diungkapkan oleh si Bapak. Baru 24 jam berpisah dengan sang putri, si Bapak dibayangi rindu dan rasa khawatir.Sikap berlawanan justru ditunjukan oleh Lilis. Ia terus menasihati Santi mengenai pekerjaan - tekun dan bersungguh-sungguh dalam menjalankan tugas. Ia sudah sangat yakin anaknya akan menj