Share

Bab 3: Kedatangan Keukeu

Sejatinya, setiap manusia pasti mengidamkan hidup yang nyaman, seperti batin senang dan tidur tenang. Akan tetapi, untuk mencapai kehidupan seperti itu perlu usaha. Usaha pun harus dibarengi dengan doa sebagai wujud rasa syukur.

Santi bangun sembari memacu semangat. Ia tunaikan kewajiban sebelum fajar menyingsing. Setelah itu, ia mencuci piring dan baju. Lalu, menyiapkan sarapan. Semua rutinitas dijalankan dengan ikhlas.

Lepas pagi menyapa, Santi berkutat dengan ponselnya. Ia sebenarnya masih berharap diterima kerja menjadi karyawan di Alfam*rt, karena lokasinya tidak jauh dari rumah. Sedangkan, untuk menuju mall butuh waktu 90 menit.

Hidup selalu disusupi pilihan. Daripada diam di rumah lebih baik bekerja sambil menyusun rencana masa depan, bukan? Santi mengamini Tuhan tak akan memberikan ujian di luar kemampuannya. Semua yang tersaji merupakan anugerah.

Tak terasa, siang datang. Santi kembali ke dapur untuk menyiapkan menu makan siang. Sementara itu, sang ibu duduk di teras sambil menjahit (tangan) celana sekolah Robi yang robek.

Saat Lilis tengah fokus menggoyangkan jarum di atas kain, segerombolan ibu-ibu berjalan dengan langkah yang ramai nan penuh antusiasme.

Lilis pun penasaran. Ia lekas bertanya, “Bade ka marana iyeu teh rame-rame (mau ke mana beramai-ramai begini)?”

“Ke warung si Ikah. Ceunah di ditu aya agensi atanapi naon kitulah (katanya di sana ada agensi atau semacamnya),” jawab salah seorang ibu.

“Agensi naon (apa)? Milarian nu hoyong damel di luar negeri (cari yang mau bekerja di luar negeri)?” tanya lagi Lilis.

Sanes (bukan), Lis. Em…. ini mah katanya teh ada orang Jakarta nyari gadis yang mau jadi model atau artis.”

Enyaan (benarkah)?”

Teuing atuh (tidak tahu juga). Urang tingali wae ka ditu (Kita lihat aja ke sana)?” ajak si ibu.

Lilis sangsi, tetapi ingin tahu kebenarannya. “Naha si Ikah teh nggak bilang-bilang ke saya?! Antosan sakedap nyah (tunggu sebentar ya)!

Lilis masuk ke dalam rumah. Ia hampiri Santi yang tengah berjibaku dengan tungku dan penggorengan. Jika berita yang disampaikan sang tetangga benar, ini kesempatan besar untuk menjadikan sang putri sebagai penerus cita-citanya.

Dulu, Lilis ingin menjadi artis. Hanya saja, ia tidak diperkenankan hijrah ke ibu kota orang kedua orang tuanya.

“Neng, ganti baju cepet?” perintah Lilis.

“Ada apa, Mah?”

“Katanya, di warung si Ikah ada agensi dari Jakarta yang lagi nyari model atau artis gitu”, terang Lilis.

“Terus kenapa Mamah nyuruh Neng ganti baju?”

Lilis menghembuskan nafas dengan kencang. Akhir-akhir ini, ia mudah sekali terpancing kesal. “Kamu teh ikut sama Mamah ke sana sekarang. Dandan yang cantik, terus pake baju yang bagus. Kali aja bener kata ibu-ibu yang di depan.”

“Mah, Neng teh masaknya belum selesai. Nanti kalau si Bapak pulang makanan belum siap, gimana?”

“Ah, tong (jangan) mikirin si Bapak. Ayo burukeun (cepat)!”

Santi coba mengutarakan isi hatinya. “Mah, Neng nggak minat jadi artis. Soalnya jadi artis teh nggak punya privasi.”

“Kamu teh ngomong apa sih, Neng? Segala bawa-bawa privasi.”

Lilis menarik lengan Santi. “Cepet ganti baju!”

Santi tak bergeming.

“Lis, geura atuh (cepat dong). Nanti kita ketinggalan informasi,” teriak seorang ibu di depan rumah.

“Iya,” sahut Lilis. “Mamah nggak mau tahu ya, setelah masaknya beres, Neng harus langsung ke warung si Ikah. Ini kesempatan langka Neng.”

Santi menunduk. Diam bukan berarti setuju. Ia hanya tidak mau dianggap menyulut emosi sang ibu jika memberikan penolakan lagi. Biarlah nanti waktu yang membulatkan keputusannya.

Sepanjang jalan menuju lokasi, Lilis terus mengagungkan Santi di hadapan para tetangganya. Adanya audisi artis di desanya ibarat hujan di tengah kemarau. Ia yakin sang putri memiliki kriteria yang cukup untuk berkiprah di industri hiburan.

Warung Ikah sudah ramai dengan ibu-ibu. Ya, semua yang hadir yaitu kaum perempuan. Lilis dan rombongan pun mendapatkan posisi di barisan belakang.

Seorang pria tambun dengan dandanan glamour berdiri di depan kerumunan. Ia ditemani dua orang pria bertubuh tegap dengan penampilan necis.

“Aduuuuh…. Kok yang pada datang gadis-gadis era 60-an sampe 70-an sih,” ujar si pria tambun dengan nada bicara yang agak melambai. Ya, bahasa dan gerakan tubuhnya cukup feminim. “Anak-anak perawannnya mana?”

“Anak kita mah lagi kerja di luar negeri, Kang,” sahut Kesih. Namun, ia masih bimbang memberikan kata sapaan yang dirasa tepat. Mengingat penampilan si pria begitu heboh bak seorang biduan.  “Maksudnya, Mas. Eh, Abang, Eh, Mbak. Eh, Seus. Apa atuh ah manggilnya?”

“Panggil aja saya dengan nama Keukeu,” tegas si pria. Ia pun bersungut, “Uh…. ulalala deh. Yang dicari gadis, yang muncul si mulut sadis.”

Kesih melirik ke arah Lilis sembari menyunggingkan bibir. “Emang ada apaan sih, Keu? Gadis-gadis yang tersisa di desa ini mah paling yang biasa-biasa aja. Gadis gengsian, nggak punya semangat kerja.”

Lilis yang berada di belakang Kesih menggumam. “Dasar cari perhatian. Kalau bukan di tempat umum, sudah saya konde tuh bibir si Kesih.”

“Semuanya duduk dulu yang rapi. Biar saya aja yang berdiri ya. Ulala deh di sini. Berasa di negeri tanpa pria. Nggak ada pemandangan yang kekar bagaimana gitu.” Keukeu merapikan rambutnya. “Kita mulai aja ya. Perkenalkan nama saya Keukeu. Saya ini seorang manajer artis terkenal di Jakarta. Selain itu, saya juga pemilik PH yang sedang berkembang pesat bernama Butterfly Management. Jadi….”

Beha teh naon (beha itu apa), Keu?” tanya salah seorang ibu menginterupsi. Namun, pertanyaannya justru mengundang gelak tawa.

“PH, Ceu. PH itu artinya Production House atau rumah produksi,” jelas Keukeu sambil menyalakan kipas angin portable dengan karakter Hello Kitty. “Jadi, mungkin beberapa ibu-ibu di sini sudah ada yang tahu dari Ceu Ikah bahwa saya sedang mencari calon foto model dan juga artis berbakat dari desa ini.”

“Ah, yang bener? Ngomongnya cari artis, tapi entar ujung-ujungnya malah jualan atau disuruh bayar,” ungkap salah seorang ibu mengkritisi.

Keukeu mengambil sesuatu dari tasnya. “Makanya dengerin dulu akika (aku) ngomong, Ceu.”

Ibu-ibu lain menyoraki si ibu yang tadi melayangkan pernyataan skeptis kepada Keukeu.

“Saya menerima wangsit dalam mimpi beberapa hari yang lalu. Katanya, di desa ini menyimpan calon bintang masa depan. Dia akan menggebrak panggung dunia hiburan di Indonesia hingga mancangera.” Tangan Keukeu meliuk manja, menggetarkan harapan para ibu.

“Itu mah pasti anak saya, Keu. Sebentar ya saya telepon dia dulu biar dia batalin keberangkatannya ke (Arab) Saudi,” ucap Kesih dengan percaya diri.

Keukeu memasang wajah cemberut. “Ini mau dengar penjelasan saya dulu atau gimana?”

Ibu-ibu saling menasehati satu sama lain untuk diam mendengar pemaparan dari Keukeu terlebih dahulu. Sebagian ibu sibuk dengan ponselnya mengabari anak gadis mereka, termasuk Lilis.

“Lanjut ya. Ibu-ibu bisa lihat gambar-gambar ini.” Keukeu menunjukkan majalah berisi potret wajah-wajah cantik. “Mereka adalah orang-orang biasa yang sekarang namanya menggema hingga internasional. Ini namanya Natasha Marimas, foto model terkenal yang jadi ambassador kosmetik Meubelin. Jangan tanya ambassador itu apaan ya. Ini bukan lagi sekolah.”

Keukeu berkeliling.  “Terus ini namanya Vita Pir, aktris yang sukses membintangi banyak film laris manis seperti 50 KM, Kapal Terapung, Iblis Kesiangan, dan banyak lagi. Kalau yang ini….”

Seorang ibu memotong presentasi Keukeu. “Keu, kok saya belum pernah lihat mereka di TV sih?”

Keukeu menghela nafas. “Duh! Ulala manja deh, Emak! Ini artis-artis yang kiprahnya sudah melanglang buana melintasi samudera, menembus Palung Mariana, hingga pernah bertemu Barack Obama. Natasha sekarang berkarir di Amerika. Kalau Vita Pir, dia itu pemain film ya bukan sinetron. Kalau mau nonton dia adanya di bioskop atau di Netpelik. Udah deh, nih saya kasih lihat aja yang lainnya. Silakan ibu-ibu baca profil serta prestasi mereka. Uh jadi hareudang (gerah).”

Para ibu bergantian melihat majalah. Beberapa dari mereka menyesal karena puteri mereka sudah terikat kontrak jadi TKW.

“Coba sekarang yang punya anak gadis usia 17-25 tahun, ajak ke sini. Saya mau adain audisi langsung. Kalau cocok kita tanda tangan kontrak, dan cus berangkat ke Jakarta. Terus, untuk jadi foto model atau artis saya itu gratis. Nggak ada biaya ini dan itu. Malahan, bakal dapetin uang puluhan hingga ratusan juta rupiah per bulan. Hidup senang, kerjaan gampang. Nggak perlu susah payah kerja di negeri orang.” Keukeu meniupkan angin-angin surga kepada para ibu yang polos dan minim pengetahuan.

Lilis menoleh kepada Kesih. Ia bermaksud menyindir balik sang rival. “Betul, Keu. Ngapain buang-buang anak ke luar negeri buat dijadiin ATM bernyawa. Mending kejar kesempatan di negeri sendiri.”

Kesih naik pitam. Namun, langkah seorang Nenek menghentikan aksinya untuk membalas sindiran Lilis.

Si nenek maju, mendekati Keukeu. Ia berlenggak-lenggok menunjukkan pesonanya bak seorang peragawati. Keukeu pun dibuat terheran-heran, sedangkan ibu-ibu tak kuasa menahan tawa.

“Kenapa, Nek?” tanya Keukeu.

“Emmm…. Nini…. mau…. daftar…. jadi…. foto model. Bisa, kan? Dulu waktu Sekolah Rakyat (setara SD) Nini sering berfoto sama orang-orang Belanda.”

Keukeu menepuk jidat. “Aduuuuh duh…. Nini. Ulala deh! Nini mah gadis di era penjajahan. Sekarang udah 77 tahun Indonesia merdeka.”

“Tapi Nini masih cantik, kan?” Si Nenek tak menyerah dengan penolakan implisit yang Keukeu ungkapkan.

“Ni, audisi ini buat yang muda-muda. Nini mah nanti jadi foto model buat sampul Yaasiin aja ya. Hihi….”

“Ih, meni jahat pisan (jahat sekali) si Keukeu,” teriak salah seorang ibu yang tadi cukup vokal bersuara.

Hampura (maaf). Bercanda ya, Ni. Keukeu kasih uang sabun aja buat Nini.”

Keukeu memberikan satu lembar uang seratus ribu rupiah untuk si nenek. Nenek tersebut pun tampak bahagia.

Lilis terus menelepon Santi supaya segera datang ke lokasi. Ia yakin sang putri menjadi kandidat kuat untuk masuk manajemen artis milik Keukeu.

Bayang-bayang popularitas dan materi mengalun di kepala Lilis. Jika sang putri menjadi artis, pasti tak ada lagi yang berani menyinggung atau meremehkannya.

Namun beberapa kali ditelepon, Santi tidak juga merespon. Lilis kesal dan berencana pulang untuk menyeret langsung putrinya agar mengikuti audisi.

“Anak siapa itu? Perfecto (sempurna),” ujar Keukeu. Ia terpukau melihat anggunnya Santi berjalan.

Lilis menunda langkahnya. “Itu teh anak saya, Keu. Cantik, kan? Ibunya aja cantik, apalagi anaknya.”

“Cantikan juga anak saya,” respon Kesih.

Lilis melirik Kesih, lalu membuang muka.

“Mah, si Dede pulang sekolah nangis nanyain Mamah. Neng ajak ke sini, dia nggak mau,” terang Santi.

“Terus sekarang dia di rumah sama siapa?”

“Sama si Bapak.”

Kedatangan Santi semata untuk mengajak sang ibu pulang.

Keukeu mendekati Santi. Ia mengamati Santi dari ujung kaki hinga kepala.

“Usia kamu berapa, Cantik?” tanyanya.

“18 tahun, Keu.” Lilis yang menjawab.

“Masih ranum ya.” Keukeu tak pikir panjang. Kriteria gadis yang ia cari melekat di Santi. Bahkan, melebihi ekspektasinya. “Kamu langsung lolos ke Jakarta. Saya sudah tidak perlu ngetes apa pun dari kamu..”

Santi pun bingung. “Lolos apaan ya, Kang?”

“Kamu bakal jadi artis terkenal dan kaya raya. Saya yakin itu. Wajah kamu yang simetris, kulit yang halus, tinggi yang semampai, kamu sempurna. Persiapkan diri kamu untuk mulai berkarir sebagai bintang,” jelas Keukeu.

“Iya, iya. Siap, Keu.” Lilis begitu bersemangat mendengar putri sulungnya langsung dipilih oleh Keukeu.

“Maaf, Kang. Saya nggak berminat jadi artis. Lagi pula, besok saya mulai masuk kerja,” ucap Santi menyampaikan penolakan.

“Kerja apa sih, Neng?” tanya Lilis berbisik sambil mencubit lengan Santi. “Kalau kamu nggak bisa ngomong iya, kamu diem aja. Jangan buat Mamah malu!”

Keukeu merangkul bahu Santi. “Geulis, jangan terlalu cepat ngambil keputusan! Saya kasih kamu waktu berpikir beberapa hari kok.”

Santi menganggukkan kepala untuk menghormati. Ia sudah teguh dengan jawaban yang diberikan. Baginya, sekali tidak untuk menjadi artis, maka selamanya tidak. Ia lebih senang menjalani hidup sebagai orang biasa.

Sementara bagi Lilis, ini momentum yang tak boleh dilepaskan begitu saja. “Maafin anak saya ya, Keu. Dia emang agak pemalu. Begini aja, ini kan anak saya yang bungsu di rumah sedang nangis. Dia kalau nangis suka ngacak-ngacak perabotan. Saya pulang dulu. Nanti saya kabarin, Keukeu. Boleh minta nomor Keukeu?”

“Tentu. Tapi kalau bisa cepet kasih keputusan ya, biar cepet juga dapet transferan. Hihi….”

Selama meniti langkah menuju rumah, Lilis terus mendesak Santi agar mau menerima tawaran Keukeu. Santi pun semakin dilanda dilema.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status