Share

Bab 2: Badai Pilihan

Santi merenung. Akalnya bingung. Hatinya limbung. Harapan untuk hidup bahagia dalam kesederhanaan kerap terbentur dengan omonganya sang ibu.

Semenjak melepaskan seragam putih abu-abu, rumah seakan kelabu. Bayangan masa depan seolah hanya ada dua yaitu bekerja di luar negeri atau dinikahkan dengan pria mapan.

Kemapanan selalu diukur dari tingkatan ekonomi. Padahal, menjadi istri dari pria kaya belum tentu menjamin hidup sejahtera. Bisa saja hanya untuk dijadikan pajangan dan dicicipi keperawanan. Santi tidak mau menikah hanya untuk dijadikan alat.

“Hari ini kamu masih mau keliling-keliling lagi cari kerja?” tanya sang ibu ketika Santi keluar kamar.

“Nggak, Mah.”

“Terus kapan kamu mulai kerja?”

“Belum tahu, Mah.”

“Kok belum tahu? Emang dari sekian lamaran yang kamu taruh masih nggak ada satu pun yang masuk?”

“Saingannya banyak, Mah,” terang Santi dengan tenang.

“Saingannya banyak, yang diterima hanya mereka yang punya orang dalem, kalau mau langsung masuk harus bayar sekian juta. Begitu, kan? Lagian kamu mah dibilangin teh keras kepala. Udah paling bener kerja di luar negeri. Semua dibiayain sama sponsor dari kamu masuk penampungan sampai tiba di negara tujuan. Nggak perlu pusing mikirin ini dan itu.” Lilis mengencangkan suaranya.

Santi coba mengimbangi lontaran nada sang ibu. Ia terbawa emosi karena merasa terus dipojokkan pada hal yang sama. “Mah, Mamah teh keukeuh (bersikeras) pengen Neng jadi TKW? Kenapa? Karena lihat orang-orang pada sukses? Mereka cerita gajinya di luar negeri teh gede? Mah, bukannya Mamah juga tahu banyak TKW yang pulang ke desanya tinggal nama. Ada yang disiksa majikan. Banyak juga yang terlibat kasus kriminal. Mereka cerita nggak gimana kerasnya hidup di sana?”

“Kamu emang pinter nyari-nyari alasan. Terus mau sampai kapan kamu cari kerja di sini? Noh, yang ijazahnya pada tinggi aja banyak yang masih nganggur. Kamu teh gengsi jadi TKW?” sanggah Lilis. Pikirannya seakan sulit untuk diajak berdiskusi. “Coba lihat adik-adik kamu! Kamu nggak kasihan sama masa depan adik-adik kamu? Si Bapak mah nggak bisa diharepin, Neng. Kumaha (bagaimana) kalau Mamah besok mati?”

“Kenapa sih Mamah bilangnya gitu? Setiap hari teh Neng berusaha dan berdoa.”

“Makanya, Mamah kasih kamu tawaran. Kalau nggak mau ke luar negeri, kamu nikah sama Mang Parja, juragan tanah dari desa sebelah. Dia tuh sering nanyain tentang kamu. Atau sama si Faisal, bosnya si Wildan. Sanajan (walau) tampang dia pas-pasan, tapi kan duitnya banyak. ”

Santi mencoba menahan diri agar tidak hanyut dalam perang mulut. “Mereka teh udah pada punya istri, Mah.”

“Biarin atuh. Asalkan kamu dinikahin secara sah. Terus masalahnya apa? Kamu maunya Mamah carikan bujang kaya yang tampan? Itu mah adanya di kota-kota besar, Neng. Lagian, mereka teh pasti nyarinya pasangan yang se-level juga sama mereka.” Lilis makin membabi buta berkata-kata.

Santi pun berang juga. “Mah, Neng teh nggak mau dijodoh-jodohin. Kasih Neng kebebasan milih calon pendamping Neng nanti.”

“Pilihan kamu teh jiga (kayak) si Wildan? Teu (tidak) sudi Mamah mah.”

Santi masuk ke dalam kamar. Ia bosan mendengar tawaran sang ibu yang berulang. Lebih baik obrolan disudahi. Jika ia meladeni, maka ada label durhaka yang membayangi.

Boga (punya) anak teh makin gede makin susah dibilangin,” gerutu Lilis.

Hujan emas di negeri orang, hujan batu di negeri sendiri, lebih baik negeri sendiri. Betapa pun senangnya hidup di negeri orang, tetapi masih lebih baik di negeri sendiri. Dekat dengan orang tua, dan bisa berkumpul bersama keluarga.

 Santi tak menampik jika ada tanggung jawab yang ia emban sebagai anak pertama. Ia harus bisa membantu perekonomian keluarga. Namun, ia pun memiliki cita-cita untuk bisa berkuliah.

Ia tidak ingin menjadi seperti kebanyakan perempuan di desanya. Mengais rezeki di negeri orang hingga terpisah dengan mereka yang disayangi selama beberapa kali Lebaran.

Memang tak ada yang salah dengan hal tersebut. Hanya saja, dia ingin menjadi berbeda. Menunjukkan kepada warga di desanya jika pendidikan bisa membuka kesempatan yang luas untuk bekerja. Perempuan punya peluang yang sama dengan laki-laki.

Ada hal yang cukup miris mengenai perempuan di desanya. Terutama bagi mereka yang menjadi TKW setelah menikah. Mereka bekerja bercucuran peluh di perantauan beda negara demi masa depan anak. Sementara, sang suami duduk tenang di rumah menunggu kiriman uang setiap bulan.

Beberapa suami berdalih fokus mengurus anak. Tetapi pada kenyataannya, mereka bermain perempuan. Mereka gunakan hasil keringat saat istri untuk kesenangan diri sendiri. Dunia pun seakan berputar secara terbalik.

Ini bukan tentang suami yang menjadi pengasuh anak, dan istri yang menjadi pencari nafkah. Ini tentang kesenjangan pola pikir dalam rumah tangga. Suami dan istri seharusnya saling bahu membahu, bukan mengandalkan salah satu. Begitu pikir Santi.

Intinya, Santi ingin fokus mengejar mimpi dan mengubah tradisi. Perempuan di desanya bisa memiliki masa depan yang cerah selain menjadi “penyumbang devisa”.

Santi mengganti pakaian. Ia berencana ke pusat kecamatan untuk meninjau lamaran pekerjaan yang kemarin diajukan. Berdiam diri di rumah hanya menambah beban pikiran.

“Mah, Neng pamit dulu ya,” ucap Santi kepada ibunya.

“Mau ke mana kamu?”

“Mau ke kantor Alfam*rt. Ngecek lamaran yang kemarin disimpen. Siapa tahu sudah ada kabar.”

“Emangnya nggak dikabarin lewat telepon kalau diterima?”

Santi hanya bisa bersabar menghadapi nada tinggi sang ibu. “Neng sekalian mau ketemu Nia, teman sekolah Neng. Mau nanyain info lowongan kerja yang lain.”

“Kamu nggak dianter sama si Wildan, kan?” tuding Lilis.

“Nggak, Mah.”

“Kalau udah selesai langsung pulang. Jangan keluyuran ke mana-mana! Apalagi main sana sini kayak anak gedongan. Kudu (harus) prihatin sama keadaan ekonomi kita.”

“Iya, Mah.”

Santi memandu kaki dengan air mata. Dadanya terasa sesak mendapati sikap sang ibu yang beberapa waktu belakangan begitu keras.

Santi coba memahami ibunya dari berbagai sisi. Namanya kehidupan, setiap orang pasti menginginkan perubahan. Namun, ia berharap ibunya bisa bersabar sembari memberikan dukungan bukan tekanan.

Desa yang indah nan sejuk menyimpan persaingan yang tak berwujud, tetapi kadang memiliki bentuk. Bukan salah tempat, melainkan ambisi dan obsesi yang harus diarahkan pada jalur yang tepat.

Dari rumah menuju perempatan untuk menunggu angkutan umum, Santi harus menempuh jalan sepanjang 1 kilometer. Jarak yang sebenarnya sudah terbiasa bagi kakinya. Hanya saja, hari ini langkahnya terasa berat. Pijakan yang ditapaki mengalirkan perih ke ulu hati.

Bagaimana jika nanti pulang tanpa hasil lagi? Makian sang ibu sering merembet kepada sang ayah. Percekcokan seakan tak bisa dihindari ketika ia tak bisa memberi kepastian kapan mulai menerima gaji pertama.

Hem! Jangan pesimis, Santi! Harapan harus tetap dipanjatkan setinggi langit. Berpkir positif, maka hal yang baik semoga mengikuti.

Setiba di kantor minimarket tempat menaruh lamaran, penjaga keamanan mengatakan calon karyawan yang diterima akan dihubungi. Santi pun diminta menunggu untuk dikabari sang perekrut.

Dengan berlapang dada, Santi lantas menunggu Nia tiba. Semoga ada kabar baik yang dibawa oleh sang sahabat.

“Santi….” teriak Nia kala turun dari angkutan umum. “Maaf ya lama soalnya tadi angkotnya ngetem-ngetem terus.”

“Iya, nggak apa-apa.”

“Gimana? Udah ada hasilnya.”

“Belum. Katanya sih nanti bakalan ditelepon kalau diterima.”

“Ya, sudah. Mending kita nongkrong yuk di café seberang. Kita ngobrol-ngobrol sekalian aku mau ngasih info soal kerjaan.”

“Tapi, Ni….” Santi ragu karena tidak memiliki uang lebih.

“Tenang aja, aku yang traktir. Kan aku yang ngajak.”

Santi berkeluh kesah kepada Nia terkait nasibnya yang belum mendapat pekerjaan. Nia pun membawa angin segar bagi Santi.

Nia memberi tahu ada lowongan pekerjaan di mall yang terletak di ibu kota kabupaten. Persyaratannya pun tidak ribet, hanya bermodal KTP dan ijazah. Pekerjaan yang ditawarkan yaitu menjadi sales promotor brand ponsel terkenal dari Tiongkok.

Tanpa pikir panjang, Santi langsung mengatakan mau. Terlebih, Nia juga akan menjalani pekerjaan yang sama.

Tak terasa waktu berputar dengan cepat. Berbagai macam pembahasan dari kehidupan keluarga hingga masalah asmara telah mereka curahkan.

“Nia, aku pulang ya. Si Mamah udah SMS nanyain aku di mana,” ungkap Santi.

“Sampai ketemu hari Senin ya. Dandan yang cantik ya, Bestie-ku!”

“Terima kasih banyak ya, Ni. Semoga lancar!”

“Aamiin. Doa yang kenceng biar didengar sama Tuhan.”

Santi pulang dengan hati yang gembira. Setidaknya, ada secercah harapan untuk membalut asa sang ibu.

Langit mendadak mendung. Santi ingin naik ojeg, tetapi ongkosnya tidak cukup. Ia hanya berharap hujan tidak turun sebelum sampai di rumah.

Di tengah perjalanan, sebuah Avanza berhenti di dekatnya. Lalu, si pengemudi pun membunyikan klakson diikuti membuka kaca.

Mau tak mau santi menghentikan laju kaki sejenak.

“Neng Santi dari mana?” tanya seorang pria dengan tatapan genit.

“Dari kota kecamatan, Kang,” jawab santai datar.

“Ini mau pulang ya?”

“Iya, Kang.”

“Akang anterin yuk! Naik mobil. Enak loh, adem. Mobil Akang juga baru nih.”

“Terima kasih atas tawarannya, Kang! Santi jalan kaki aja. Udah deket kok,” tolak Santi secara halus. Cara Faisal mengajaknya penuh ambigu.

“Kenapa? Akang kan cuma mau nganterin kamu. Akang nggak ada maksud apa-apa. Ayolah naik”, paksa Faisal.

“Nggak enak Kang kalau istri Akang tahu,” pungkas Santi.

Faisal turun dari mobil. Ia tarik tangan Santi, memaksa agar mau diantar pulang.

“Istri Akang nggak akan kenapa-kenapa kalau tahu juga. Ayo masuk! Atau Neng Santi mau jalan-jalan dulu sama Akang? Kita makan-makan dan beli baju yuk,” bujuk Faisal. Ia kira setiap perempuan akan luluh dengan tawaran harta.

Santi mencoba melepaskan diri, tetapi tenaga Faisal jauh lebih kuat darinya. “Nggak, Kang. Tolong lepasin! Santi mau pulang.”

“Kenapa sih kamu sulit banget Akang ajak seneng-seneng? Nanti Akang telepon deh Mamah Neng buat minta izin. Neng nggak usah takut.” Faisal menarik Santi agar masuk ke mobilnya.

Santi mempertahankan diri. Ia ingin berteriak, tetapi jalanan sepi.

“Kang Faisal, lepasin Santi!” seru Wildan. Ia datang di waktu yang tepat.

“Apa hak kamu ngatur-ngatur saya?” Faisal melayangkan tatapan tajam kepada Wildan.

Wildan segera mencengkram tangan Faisal. Ia balas pelototi sang bos.

“Santi ini pacar saya. Tolong Kang Faisal jangan berlaku tidak sopan,” tegas Wildan.

Faisal mundur. Ia merasakan kekuatan Wildan tak akan sebanding dengannya. Jika mengajak untuk berkelahi, ia sadar akan kalah telak oleh karyawannya tersebut.

“Alah, baru pacaran aja lagak kamu sudah seperti suaminya. Lagi pula, saya tahu kok Mamahnya Santi nggak suka sama kamu. Mimpi aja kamu bisa nikah sama Santi.” Faisal coba serang mental Wildan.

Wildan abaikan perkataan bosnya. Ia fokus melihat kondisi tangan Santi.

“Besok kamu nggak perlu lagi datang ke pabrik saya,” ujar Faisal sembari memutar kemudi.

Terserahlah! Wildan tidak peduli dengan pemecatan tersebut. Baginya, menjaga kehormatan Santi lebih utama.

“Neng, nggak apa-apa kan?”

“Nggak, A.”

“Emangnya Neng dari mana? Aa kan udah bilang, kabarin Aa kalau Neng mau ke mana-mana. Untung Aa lewat sini. Ayo Aa anterin pulang.”

“Maaf ya, A. Gara-gara Neng, Aa jadi dipecat.” Santi merasa bersalah. Akan tetapi, ia juga merasa beruntung kekasihnya didatangkan Tuhan untuk menolong.

“Nggak apa-apa, Neng. Rezeki mah nanti datang dari mana aja,” ucap Wildan dengan bijak.

Sesampainya di depan rumah, Santi tidak sabar ingin segera melihat ekspresi sang ibu ketika tahu dirinya akan mulai bekerja lusa.

Santi lepas sepatu. Mendengar kedatangan sang putri, Lilis segera menghampiri.

Tanpa basa-basi, Lilis segera melakukan interogasi. “Kamu habis ngapain sama si Wildan? Terus kalian ke mana aja seharian? Bilangnya mau ngecek lamaran, ketemu temen sekolah, tahunya mojok (berduaan), pacaran sama si Wildan. Kamu kok bohong sih sama Mamah?”

“Aa Wildan?” Santi keheranan mendengar pernyataan sang ibu. “Neng nggak pacaran sama Aa Wildan. Neng beneran – nggak bohong, Mah. Dari Alfam*rt, Neng ketemu Nia. Terus Nia ngajakin Neng buat….”

Lilis memotong ucapan Santi. “Neng, jangan sampai ya bikin keluarga kita malu. Tadi si Faisal nelepon Mamah. Katanya, kamu lagi berdua sama si Wildan di pinggir hutan. Neng teh anak gadis. Mamah nggak mau sampai kamu kecolongan sama si Wildan.”

“Mah, Neng emang ketemu sama A Wildan. Tapi….”

“Neng teh coba dengerin dulu apa kata Mamah. Semenjak Neng pacaran sama si Wildan, Neng teh jadi berani ngelawan kayak gini setiap Mamah bilangin. Mamah cerewet sama Neng, karena Mamah sayang sama Neng.” Lilis berurai air mata.

Si Bapak keluar. “Duh! Ada apaan lagi sih, Lis? Akang teh sholat Ashar jadi nggak khuysu.”

Santi menunduk. Lilis mengusap pipinya yang basah.

“Lis, kamu lebih percaya omongan orang lain ketimbang anakmu sendiri? Seberapa kenal kamu sama si Faisal?” tanya si Bapak sembari berupaya menahan kesal.

“Kang, ini teh bukan masalah Lilis lebih percaya sama siapa. Lilis cuma ngingetin si Neng,” bentak Lilis.

“Tapi cara kamu nggak harus kayak gini juga. Kan bisa dinasehatin dengan tutur kata yang halus dan lembut.”

“Ah, pusing! Di mata Akang, Lilis mah salah wae (terus).”

Lilis masuk ke kamar diiringi dengan membanting pintu.

“Sabar ya, Neng.” Si Bapak memeluk Santi. “Si Mamah mungkin hanya emosi sesaat.”

Santi pun menangis di pelukan sang ayah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status