Share

Bab 1: Terhalang Materi

Semilir angin sore membelai rambut seorang gadis cantik. Ia berjalan dengan begitu berhati-hati menyusuri bebatuan. Kakinya terasa letih, tetapi langkahnya tetap diayunkan penuh harapan.

Minimnya lapangan kerja di desa, membuat dia harus berusaha ekstra. Menaruh lamaran dari satu tempat ke tempat yang lain, walau harus bersaing dengan ratusan pelamar lain.

“Neng, kalau pun kamu kuliah dapet beasiswa, tetapi kan tetep aja kamu perlu kost dan perlu makan. Emang semuanya ditanggung oleh beasiswa? Neng coba pikirkan sekali lagi. Si Bapak nggak kerja, cuma ngandelin hasil tani. Perempuan itu nggak terlalu penting kuliah. Cukup pinter cari suami yang mapan aja. Lagian, Neng kenapa sih nggak mau berangkat ke luar negeri seperti yang lain?”

Perkataan ibunya terus mengiang di kepala. Itulah sebab dia memilih untuk mencari penghasilan, melupakan mimpi merengkuh cita-cita.

Hem! Sebagian orang masih beranggapan bahwa pendidikan tinggi bagi perempuan bukanlah hal yang krusial. Toh, katanya, tugas perempuan tidak akan lepas dari dapur, sumur, dan kasur.

Padahal, pendidikan penting bagi siapa pun tanpa memandang jenis kelamin dan profesi yang nanti akan dilakoni. Karena pendidikan bukan hanya berkaitan dengan pekerjaan di masa depan, tetapi juga menjadi pegangan dalam mendidik dan membimbing keluarga (serta sekitar).

Namun, Santi mencoba mengerti kondisi ekonomi keluarga. Kebutuhan perut hari ini tidak bisa ditunda. Sementara, kuliah mungkin bisa ditempuh tahun depan. Ia berbesar hati untuk menunggu keajaiban tiba.

“Neng, Neng kok jalan kaki?” tanya seorang lelaki dengan suara syahdu. Laki-laki yang telah berhasil mencuri hati Santi.

Santi pun tersipu. “Iya, A. Aa dari mana?”

“Aa habis nyariin Neng. Aa tunggu di perempatan, Neng nggak ada. Aa telepon, hape Neng nggak aktif,” terang Wildan.

“Maaf, A. Hape Neng teh mati.”

“Ya udah yuk, naik! Aa anterin pulang.” Wildan mengajak Santi dengan lembut.

Akan tetapi, Santi meragu untuk duduk dibonceng oleh Wildan. Tadi pagi, sang ibu sudah memaki Wildan. Meskipun makian tersebut tidak sampai ke telinga sang pujaan hati, tetapi Santi merasa khawatir.

“Neng jalan aja, A. Udah deket ini,” tolak Santi sembari menorehkan senyum.

“Deket gimana sih, Neng? Masih 500-an meter lagi. Neng mau betisnya besar kayak pemain bola?” Wildan coba menggoda supaya Santi mau diantar olehnya.

Santi akhirnya luluh juga. Ia tak bisa lagi memberikan kalimat penolakan apabila lesung pipi Wildan turut membujuk.

Wildan, pria berusia 21 tahun. Wajahnya tampan, posturnya tinggi, dan badannya ideal meski di perutnya belum ada kotak-kotak berjumlah enam. Ia cukup dikagumi oleh bunga-bunga desa.

Sayangnya, paras tampan saja tidak cukup membuat Wildan menjadi idaman mertua. Pekerjaannya sebagai buruh di Pabrik Dorokdok (kerupuk kulit) acapkali dipandang sebelah mata oleh para orang tua yang memiliki anak gadis. Mereka berpikir sang anak harus bisa mendapatkan jodoh yang mapan yang bisa mengangkat derajat keluarga. Beginilah kehidupan di desa yang terlihat adem, tetapi penuh intrik sosial.

Wildan tidak terlalu memikirkan stigma orang. Baginya, hidup harus dipikirkan sembari dijalankan. Begitu pun dengan cintanya yang sudah ditambatkan kepada Santi. Ia akan berjuang untuk menggapai restu kedua orang tua perempuan pilihannya.

Setiba di rumah, Santi melihat sekeliling. Ia ingin menawari Wildan untuk duduk dan minum kopi, tetapi ia takut akan keberadaan sang ibu.

“Robi, Mamah ada di dalam?” tanya Santi dengan suara pelan kepada adik pertamanya.

“Mamah lagi ke warung Bi Ikah sama si Dede (adik bungsu). Ada apa Teteh nanyain si Mamah?” Robi balik bertanya.

“Teteh nanya aja. Udah main lagi sana.” Santi lantas merasa aman. “Aa mampir dulu sini. Neng buatin kopi ya?! Aa tunggu sebentar!”

“Aa langsung pulang aja ya, Neng.”

“Ya udah atuh. Terima kasih ya A untuk hari ini. Neng jadi nggak enak ngerepotin Aa terus.”

“Besok kalau Neng mau pergi-pergi atau pulang dari mana aja, Neng kabarin Aa ya.”

“Neng nggak mau ganggu Aa. Aa kan juga sibuk kerja.”

“Nggak, Neng. Lagian, kerjaan Aa teh sekarang lagi sepi. Pesanan lagi anjlok.” Wildan menghela nafas. “Aa sebenarnya pengen jadi TKI atau kerja ke luar kota. Tapi, Ambu di rumah nggak ada yang ngejaga dan ngerawat.”

“Sabar aja ya, A. Neng yakin suatu saat Aa bisa berhasil. Aa kan pekerja keras.”

“Aamiin. Cuma, kerja keras aja kadang nggak cukup kan, Neng?! Maksud Aa….” Wildan menatap bumi. “Aa pengen serius sama Neng. Mudah-mudahan ada jalan buat Aa biar bisa diterima sama Mamah Neng. Neng mau kan kalau nanti…..” Wildan sadar mungkin belum saatnya membicarakan rencana berumah tangga. Namun, ia ingin menunjukkan keseriusan dari sekarang sambil merenda bekal ekonomi.

Baru saja Santi hendak menanggapi pernyataan sang kekasih, sang ibu lebih dulu melaungkan panggilan.

“Wildan! Ek naon maneh aya di dieu (apa yang kamu lakukan di sini)?” tanya Lilis dengan suara lantang.

Wildan dan Santi pun begitu kaget. Mereka tak mendeteksi langkah Lilis yang seketika ada di dekat mereka.

“Bi….” Wildan menjulurkan tangan untuk bersalaman.

Lilis mengabaikan sopan santun yang Wildan berikan. “Masuk, Neng! Ngapain berduaan di sini. Pokoknya mah, sampai kapan pun Mamah nggak setuju kamu menjalin hubungan sama dia.”

“Mah, bisa nggak sih Mamah ngomongin soal ini nggak usah di depan Aa Wildan?” keluh Santi setengah berbisik kepada ibunya.

“Kenapa? Mamah ini ibu yang ngelahirin kamu. Apa Mamah salah jika Mamah pengen kamu nantinya mendapatkan kehidupan yang lebih baik dari Mamah?” Lilis justru semakin bernafsu mengias Wildan.

Tak mau cintanya kandas karena restu, Wildan coba mengutarakan sikapnya. “Bi, Wildan janji akan bekerja lebih keras lagi untuk bisa pantas dengan Santi. Wildan mohon berikan Wildan kesempatan untuk membuktikan keseriusan Wildan ya, Bi.”

Lilis memutar pandangan. Ia mantap menatap Wildan. “Kamu itu hanya buruh kasar. Gaji kamu berapa sih?! Saya bukan meremehkan kamu, tetapi saya ingin anak saya dapat kehidupan yang bahagia. Tidak seperti saya.”

“Saya janji akan membahagiakan Santi, Bi.”

“Dengan apa? Dengan cinta? Dengan kerja keras? Kasih dulu pondasinya. Bangun rumah aja harus ada pondasi yang kokoh.” satir Lilis. “Kamu emang kasep (tampan), tetapi dalam rumah tangga mah itu nggak ada artinya. Ketampanan hanya bisa membahagiakan sesaat sebelum kalian punya anak. Kalau udah ada anak mah ripuh (ribet). Banyak yang harus dicukupi, uang jajan, uang sekolah. Saya nggak mau anak saya nantinya udah capek ngurus anak, dia harus jualan Seblak juga buat tambah-tambah kebutuhan dapur.”

“Mah, udah atuh. Mamah mah mikirnya kejauhan.” Santi resah dengan kata-kata yang dilontarkan sang ibu kepada Wildan.

 Kekhawatiran Lilis sebagai seorang ibu memang masuk akal. Akan tetapi, benar kata Santi, Lilis terlalu jauh memikirkan masa depan. Cinta memang tidak bisa mengenyangkan perut. Namun, cinta bisa menjadi pemacu semangat dalam bekerja (dan dalam hal apa pun).

Aya naon sih, Lis? Henteu isuk, henteu sonten, cocorowokan wae (ada apa sih, Lis? Tidak pagi, tidak sore, teriak-teriak terus).” Si Bapak pulang sembari memanggul cangkul di bahu.

Lilis bergegas masuk. Ia tarik si Dede yang sedari tadi menjadi penonton.

“Baru pulang, Mang?” sapa Wildan. Kali ini, ia mendapatkan sambutan hangat dari si Bapak ketika menjulurkan tangan.

Muhun (iya). Hayu (mari) atuh masuk. Ngopi-ngopi dulu,” ajak si Bapak dengan ramah.

“Wildan pulang aja, Mang. Kebetulan udah sore.”

“Ya udah. Hatur nuhun (terima kasih) udah nganterin si Neng. Omongan Mamahnya mah, jangan kamu masukin ke hati ya.”

“Iya, Mang.”

Wildan menghidupkan motornya. Sejujurnya, setiap suku kata yang ibu Santi ucapkan cukup menukik dalam di sanubarinya. Namun, ia coba jadikan hal tersebut sebagai motivasi daripada mengkonversi menjadi sakit hati.

“Terima kasih banyak ya A untuk hari ini,” ujar Santi memberikan senyuman manis.

Wildan menganggukkan kepala. Ia juga mengembangkan bibir untuk membalas penyejuk yang Santi berikan.

Si Bapak bergegas ke dalam rumah. Ia segera menghampiri sang istri yang merebahkan badan di kursi panjang di dapur. “Lis, bisa nggak sih kalau kamu ngomong sama orang lebih lembut sedikit.”

“Maksud, Akang?” Lilis lekas bangkit.

“Tolong jaga ucapan kamu kalau ngomong sama orang lain, terutama sama si Wildan. Jangan sampai bikin sakit hati anak orang! Kamu boleh nggak suka sama si Wildan, tapi kamu nggat patut maki-maki dia kayak tadi.” Si Bapak sedikit meninggikan suara.

Lilis pun tak mau kalah dalam hal memproduksi volume dan nada. “Biarin aja sih, Kang. Kadang orang kayak si Wildan tuh emang kudu (harus) dikerasin, Kang. Nggak akan mempan diomongin secara baik-baik. Nanti disangkanya hanya bercanda.”

Santi mengepalkan tangan. “Udah atuh Mah, Pak. Tadi pagi pas Neng berangkat ribut. Sekarang Neng pulang, ribut lagi.”

Air mata Santi tumpah ruah. Ia pun segera masuk ke dalam kamar untuk bercerita pada bantal dan kasur.

Pikiran Santi mengelana. Apa yang harus ia lakukan? Meninggalkan desa untuk mencari penghidupan yang lebih baik di negeri orang? Apa hanya itu cara satu-satunya agar tak ada lagi percekcokan di dalam rumah? Percekcokan yang didasari materi dan materi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status