Share

Bab 5: Janji Cinta

Lilis merias wajahnya dengan bedak yang tebal. Tak lupa bibir diolesi lipstik merah menyala, dan alis diukir membentuk garis melengkung seperti tikungan Jalan Nagreg. Pakaian yang dikenakan pun merupakan pakaian terbaik Lebaran kemarin.

Ah! Ini momen yang begitu bermakna baginya. Penampilan tentu harus paripurna untuk bisa menyenggol tetangga, terutama Kesih. Belajarlah menjadi orang kaya dari sekarang. Begitu ucapnya di dalam hati.

Lilis pun terus melihat perputaran waktu. Ia tak sabar menunggu Keukeu datang. Kalimat demi kalimat sapaan telah ia susun untuk menyapa setiap warga yang nanti akan dilewati.

Duh! Emas masih di dasar sungai, belum di genggaman, tetapi ambisi untuk pamer sudah meledak-ledak.

“Mamah meni menor pisan kayak mau kondangan,” komentar Santi sambil menahan tawa.

Tong nyengseurikeun kolot, doraka (jangan menertawakan orang tua, durhaka)!” ucap Lilis membalas candaan Santi.

“Ampun, Mah! Hehe….”

Santi memeluk sang ibu. Ada rasa bahagia melihat ibunya berdandan walau begitu gemerlap bagai hendak menari Jaipong. Ya, melihat orang tua bersolek ceria memberikan kelegaan bagi Santi.

“Coba Mamah tiap hari cantik begini, pasti si Bapak teh bungah (senang) ngelihatnya,” puji Santi.

“Kalau pengen istri cantik tiap hari mah, suami harus mau ngemodalin. Bilangin sama bapak kamu tuh.” Lilis merespon pujian dari sang anak dengan sedikit sinis. “Makanya, Neng tuh harus pandai cari suami. Suami yang rutin ngasih modal buat menghias penampilan istrinya. Bukan yang bisanya cuma menuntut, tetapi pas dimintain uang malah cemberut.

Santi merasa salah kaprah. Pujian yang ia layangkan kepada sang ibu berubah jadi sebuah serangan yang membahas calon pasangannya kelak.

“Udah, ah! Neng mau ganti baju dulu, Mamah cantik.”

Lilis tambah tak sabar menunggu pukul 10.00, waktu yang dijanjikan Keukeu untuk menjemput. Ia pun bolak-balik dari dari dalam ke depan rumah, hingga ke kamar mandi dan dapur.

Tiiiid!!! Lilis berteriak girang mendengar bunyi klakson mobil. Ia tak perlu memastikan, karena sudah pasti itu Keukeu.

Dengan sumringah, Lilis menata kerudungnya sebentar agar sejajar. Kemudian, ia melipir ke kamar Santi sebentar.

“Neng, awas ya jangan main sama si Wildan! Mamah sekalian mau jemput si Dede di sekolah. Kalau si Bapak sama Robi pulang terus nanyain Mamah ke mana, bilang aja Mamah kondangan,” amanat Lilis. Ia takut dibohongi oleh Santi. Semacam ada trauma atas peristiwa kemarin ketika mendapati kabar Wildan dan Santi berpacaran di pinggir hutan.

“I…. iya, Mah.” Santi sedikit ragu untuk mengabulkan perkataan sang ibu.

Kebohongan dibayar dengan kebohongan. Santi berjanji ini yang terakhir dia berkata tidak jujur. Semoga saja tidak ada CCTV bernafas yang memergoki pertemuannya dengan Wildan nanti, harapnya.

Setelah sang ibu pergi, Santi mengabari Wildan. Wildan yang sudah siap sedari tadi pun langsung melaju untuk menjemput si penghias mimpi. Jika kelak mereka berjodoh, ini akan jadi kisah lucu (dan mungkin inspiratif) untuk didongengkan kepada anak-anak mereka. Sebuah cerita seru nan unik di balik perjuangan menggapai restu.

Santi paham jika di dunia ini tidak ada ibu yang akan menjerumuskan anaknya pada jurang kesengsaraan. Penolakan jalinan kasihnya dengan Wildan berakar dari kekhawatiran merengkuh masa depan berkecukupan. Namun, Santi akan berusaha menunjukkan kepadanya ibunya bahwa Wildan merupakan pria yang bertanggung jawab. Materi bisa dicari, tetapi kasih sayang dan cinta harus menjadi dasar membangun bahtera kehidupan berumah tangga. Percuma tidur berselimut permata apabila tak ada kehangatan rasa yang membelai badan.

Wildan mengendarai motor dengan kecepatan sedang menuju pelan. Ia ingin menikmati setiap jarak yang dilewati dengan romantisme ala muda-mudi dalam film bergenre romansa. Jika Santi sudah mengembara ke Jakarta, tentu kebersamaan ini akan sulit diulangi. Sekarang saja untuk membentuknya harus berkamuflase seperti bunglon – menyamarkan penampilan agar tak dikenali warga.

Maklum, hidup desa dengan pemukiman yang rapat, terkadang tetangga menjadi pewarta yang ulung. Berita apa pun bisa menyebar cepat ketika para ibu-ibu mencari bahan obrolan sembari memilih sayuran di warung.

“Neng, tangannya jangan megang pinggir jok terus atuh. Udah bisa kali megang ke perut Aa,” ujar Wildan setelah melewati batas desa.

“Apaan sih, A? Aa kok otaknya mesum gini?” Santi pun menolak dengan wajah masam.

“Siapa yang mesum, Neng?! Maksud Aa pegang perut Aa, bukan yang di bawahnya. Kan kalau udah keluar dari desa, Aa bukan lagi tukang ojeg. Tetapi, sang penakluk hati Neng,” goda Wildan menetralisasi suasana. Tak ada niat sedikit pun dalam benaknya untuk menikmati kesucian Santi sebelum akad nikah dikumandangkan.

“Ogah, ah!”

Wildan perhatikan wajah Santi dari spion. “Ya udah, terserah Neng aja. Terus Neng mau makan di mana?”

“Terserah!” ketus Santi.

“Kok terserah? Neng lagi pengen makan apa? Mie ayam, bakso, atau batagor?”

“Terserah!” ulang Santi.

Wildan memutar grip gas. Santi mengaitkan kedua tangannya di perut Wildan karena terkejut akan perubahan kecepatan yang mendadak.

“Ih, Aa teh suka ngagetin. Ya udah, kita makan mie ayam aja,” kesah Santi.

“Nah, gitu dong. Aa mah paham kalau perempuan bilang terserah itu artinya harus dipaksa memilih.” Wildan cengar-cengir.

“Neng mah nggak gitu. Tadi Neng sedikit kesel aja sama Aa. Em…. apa jangan-jangan Aa punya cewek lain ya?” Santi mencubit pinggir perut Wildan. “Awas ya A kalau nanti Aa selingkuhi Neng!”

Canda dan tawa menemani perjalanan perjalanan mereka. Sungguh indah ketika asmara merekah, membuai hati dua insan manusia.

Kemudian, Wildan menepikan motornya di warung mie ayam. Tempatnya sederhana, tetapi pemandangan yang disajikan cukup memanjakan mata. Hamparan pesawahan dan jajaran bukit menambah kesan asri nan romantis.

Mengetahui Santi akan hijrah ke Kota Metropolitan, Wildan dihinggapi kegundahan semalaman. Upaya untuk meraih restu ibunda Santi pasti akan jauh lebih sulit jika Santi berhasil menjadi artis. Ia lantas mengajak Santi bertemu untuk menanam setia, karena tak lama lagi pandang akan terbias selisih tempuh.

Dua mangkuk mie ayam dan dua gelas es kelapa muda dipesan oleh Wildan. Berbicara tentang masa depan harus dalam keadaan perut kenyang agar tak diintervensi rasa lapar.

“A, Neng minta maaf kalau perkataan si Mamah kemarin-kemarin teh bikin Aa sakit hati,” lantun Santi mengawali percakapan sembari menunggu pesanan datang.

“Iya, Neng. Justru Aa teh semakin terpacu untuk mencari berbagai peluang usaha agar bisa pantas buat Neng.”

Santi juga memiliki ketakutan yang besar. Bagaimana jika Wildan memutuskan tali cinta karena terhalang restu? Santi tak mampu membayangkan kehancuran yang akan diderita. Mungkin bukan perkara sulit bagi dia mencari pria lain. Namun, untuk membangun kenyamanan yang sama seperti bersama Wildan pastilah tidak mudah.

“Oh iya, Neng kok nggak pernah cerita ke Aa kalau mau jadi artis?” Wildan masuk pada inti pembahasan.

“Ini teh bukan kemauan Neng, A. Si Mamah yang pengen Neng ke Jakarta buat jadi foto model atau artis,” terang Santi mengembangkan senyum.

“Neng sendiri gimana?”

Santi menghela nafas. “Gara-gara Neng, si Mamah dan Bapak ribut terus tiap hari. Sejak Neng lulus sekolah, seakan tiada hari tanpa pertanyaan dari si Mamah tentang kapan Neng kerja. Nah, imbasnya, jadi ke si Bapak juga yang disindir oleh si Mamah.”

Punten (permisi) A, Teh, ini pesanannya,” ucap si penjual menginterupsi. Obrolan serius Santi dan Wildan pun terjeda sesaat.

“Kalau nanti Neng terkenal, apa Neng masih mau sama Aa?” Paras tampan Wildan disisipi guratan kegelisahan.

Santi menarik tangan kanan Wildan. “A, Neng teh nggak bisa mastiin besok nasib Neng bakal bagaimana atau jadi apa. Tapi, Neng bisa mastiin kalau di hati Neng hanya akan ada Aa salawasna (selalu).”

“Tapi kan di Jakarta teh banyak cowok-cowok yang lebih segalanya dari Aa.”

“Kalau Neng nyamannya sama Aa, kumaha (bagaimana)?” Santi memainkan mimik lucu di hadapan Wildan.

Naha jadi Neng yang ngegombal?” Wildan pun coba menyelipkan canda.

“Huuh….” Santi melepaskan tangan Wildan. “Atuh da Aa teh pertanyaannya bikin Neng deg-degan. Apa jangan-jangan kalau Neng ke Jakarta, Aa mau pindah ke lain hati?”

Giliran Wildan menumpangkan tangannya di atas tangan Santi. Lalu, ia mengangkat jari kelingking sang pujaan hati. “Kita ucapkan janji bareng-bareng yuk!”

Santi tampak bahagia. “Janji apa sih, A?”

“Ikuti aja Aa ngomong.”

Santi mengangguk.

“Sejauh apa pun kaki kami melangkah, cinta kami tak akan berubah atau pun berpaling ke lain hati,” ucap Wildan. Kemudian, diulangi oleh Santi.

Sejoli yang tampak begitu serasi saling melemparkan senyuman mesra. Cinta bergelora di sanubari mereka. Keteguhan hati diikrarkan untuk menempuh halal tiba di suatu masa.

Wildan ambil sedotan di gelas es kelapa mudanya. Ia lipat membentuk segitiga sedikit demi sedikit hingga melingkar. Setelah berbentuk seperti kuncup bunga, sedotan tersebut ia selipkan di jari manis Santi.

“Sekarang Aa belum bisa mengikatkan cincin yang berkilau. Namun, kilauan cinta Aa untuk Neng tak akan pernah redup.”

“Gombal,” balas Santi disertai ekspresi senang.

Masa muda tak akan pernah terulang. Masa lalu tak bisa dijamah lagi ketika sudah menginjak masa depan. Santi dan Wildan melangitkan asa agar Tuhan senantiasa menjaga kisah mereka.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status