Share

RAHIM GADIS SEWAAN
RAHIM GADIS SEWAAN
Author: Menulis Aksara

1. Petir Di Siang Hari

“Akh! Lepas! Sakit, tolong lepas!” bentak Zevanya mencoba melepas cengkraman dileher dari pria paruh baya yang makin terasa erat.

“Makin kamu berontak, makin erat cengkramanku ini!” terasa hembusan napas penuh nafsu dari pria tua Bangka itu.

“A-Ayah, Ibu, akh, tolong!” tangannya terulur mencoba meraih kaki Ayah dan Ibunya yang saat ini pun terkungkung oleh anak buah dari pria tua bangka yang sedang mencekiknya saat ini.

“Kalau kamu tidak sanggup membayar hutangmu, anak gadismu ini akan kunikahi!” ancam pria tua lintah darat dengan bringas.

Zevanya gadis cantik bermata coklat tua itu menangis dengan menahan sakit. Rupanya Ayahnya terlilit hutang. Memang Hudson-AyahZevanya ini merupakan pejudi yang tak kenal kapok. Berbagai hutang sana-sini sudah tertumpuk bak gunung. Tapi tak disangka sampai ada orang yang menagih dengan cara seperti ini. Juga mengancam dengan cara harus menjadi istrinya jika hutang tidak terbayarkan.

“Minggir, tolong lepaskan anakku! Aku akan bayar tapi jangan kau sakiti anakku,” kata Hudson memelas.

Tak ada yang menghiraukan permohonan Hudson. Tiba-tiba terdengar suara benturan keras.

DUGH!!

Hudson jatuh tersungkur akibat terdorong salah satu anak buah pria tua tak punya hati itu. Ia tergeletak dilantai sembari meringis kesakitan dan memegang dadanya. Tak butuh waktu lama, Hudson pingsan.

Gerombolan pria tua dan anak buahnya pergi setelah melihat kondisi Hudson yang sudah tergeletak. Zevanya langsung merogoh sakunya dan menekan nomor panggilan darurat.

Zevanya  menyeka buliran air yang mengalir deras dikulit halusnya. Tak henti-henti memukul dada yang terasa sesak. Tak disangka hal buruk benar-benar seakan menjadi kutukan yang datang secepat kilat. Dia berlari mendorong brankar dari UGD  menuju sampai depan pintu ruang operasi.

Badan lemas, kaki bergetar sampai jatuh dipelukan Lidya-ibu Zevanya. Dari tangisan dengan suara keras sampai melemah kedua wanita itu masih tak kunjung melepas pelukan. Menunggu di depan ruang operasi dengan tatapan nanar. Mata sembab dan merah. Berharap hal buruk tak terjadi.

Beberapa jam berlalu seketika pintu ruang operasi terbuka. Zevanya dan Lidya tersadar dari lamunan dan langsung berdiri dengan tertatih menghampiri Dokter.

“Operasi berhasil, tinggal menunggu pasien sadar.”

“Terima kasih banyak Dokter, terima kasih,” tutur Lidya.

Zevanya dan Lidya saling bertukar pandang dan saling memelukku dengan erat. Rasa  lega terlihat dari raut wajah kedua wanita itu ketika mendengar ucapan Dokter. Setelah itu salah satu perawat menghampiri.

“Pasien akan segera dipindah ke ruang inap. Mohon melengkapi berkas administrasi terlebih dahulu.”

“Baik, terima kasih Suster,” sahut gadis bermata coklat tua yang sudah terlihat agak tenang.

Zevanya membagi tugas dengan Lidya. Dia mengurus administrasi rawat inap sedangkan Lidya menemani Hudson.

“Ini biaya yang harus dilunasi,” petugas menyodorkan kertas dengan rincian pembayaran.

Netra Zevanya terperangah melihat nominal yang tertera di kertas, 200 juta . Karena tak akan sanggup membayar dengan nominal sebesar itu.

“Maaf, apa saya boleh menyicil?” tanyanya lirih.

“Maaf nona, tidak bisa.”

“Bolehkah saya meminta waktu?” memelas meminta keringanan.

“Nona hanya punya waktu maksimal 2 hari.”

Zevanya melangkah dengan gontai. Satu pukulan lagi menghantam dada. Benar-benar rasanya ingin bunuh diri saja. Tak sanggup, ia putuskan pulang.

Setibanya di rumah gadis itu mencari benda berharga yang bisa dijual untuk mengumpulkan pundi-pundi uang untuk membayar biaya rumah sakit Hudson.

“200 juta, dari mana aku mendapat uang sebanyak itu,” lirih Zevanya meringkuk di lantai. Dia tak menyangka diusianya yang ke-23 tahun ini mengalami hal pahit. Memiliki ayah pejudi yang berhutang pada banyak orang dan sekarang harus berada dalam perawatan pasca operasi jantung. Ibunya hanya penjual roti keliling dan dia bisa kuliah dengan beasiswa.

Tak tahu harus bagaimana. Melihat sekeliling rumah tak ada yang bisa dijual. Satu persatu barang sudah habis dijual Hudson untuk membayar hutang judinya.

Zevanya memutuskan untuk lekas pergi mencari kerja serabutan meski tak mungkin mendapat 200 juta dalam waktu singkat.

Waktu terus berlalu, matahari sudah tak ada dalam peredaran langit. Keluar masuk toko untuk mencari pekerjaan. Tak ada satu pun yang menerima dengan alasan tak membuka lowongan pekerjaan.

***

Pintu kokoh terdobrak hingga menimbulkan suara keras.

“Mama apa-apan, sih!?”

“Kamu benar-benar buta atau bodoh Alejandro Ricardo!” bentak Bianca.

Tak menghiraukan pria tampan dengan penuh kharisma itu kembali membaca berkas yang ada ditanganku. Seketika Bianca melempar amplop coklat ke meja kerjanya.

“Lihat dan buka mata kamu!”

Alejandro langsung menuruti perintah wanita yang melahirkannya itu. Ia mendapati foto-foto mesra. Bukan fotonya yang terpampang melainkan istri yang dinikahinya 3 tahun lalu dan seorang pria asing.

“Mungkin saja ini rekan kerjanya, Ma. Tessa memang sedang ada proyek di Itali selama 2 minggu kedepan,” jelasnya sambil mengalihkan pandangan.

“Kamu masih bisa santai? Dengar, mama tidak mau reputasi mama tercoreng lagi karna rumor dari istrimu yang memilih berkerja seperti jalang itu. Sudah berkali-kali mama dipermalukan di depan istri-istri rekan bisnis Papamu. Kalian sudah menikah selama 3 tahun, sudah sepantasnya memiliki keturunan. Mama dan Papa butuh penerus dari kamu Alejandro!”

Lagi-lagi hal ini yang Alejandro dengar. Pria tampan itu mulai muak dengan pembahasan yang sama dan tak kunjung usai.

“Tessa hanya model, bukan jalang. Dan tolong, aku bosan mendengar keluhan Mama tentang hal yang sama,” Alejandro melempar foto-foto itu dan melangkah mendekati kaca sudut ruang yang menyuguhkan pemandangan kota.

Bianca  membuntuti putra kesayangannya, “Pokoknya, minggu depan kamu dan Tessa harus program ke Dokter yang mama tunjuk. Kalau tidak, kamu harus ceraikan jalang itu. Kali ini Mama tidak main-main!” Wanita paruh baya itu pergi meninggalkan ancaman yang sukses membuat terperangah. Mendengar apa yang diucapkan itu, rahang Alejandro mulai mengeras.

Tak lama selepas kepergian Bianca, Alejandro merogoh saku mengambil benda pipih. Menekan tombol panggil pada nama yang tertera dilayar.

“Tessa, kontrakmu berapa lama lagi?” tanyanya tanpa basa-basi.

Honey, ada apa? Tidak biasanya kamu membahas ini,” sahut wanita disebrang sana.

“Jawab cepat!” seru pria gagah itu.

“Masih 1 tahun lagi, Honey. Asal kamu tahu, aku baru saja menandatangani kontrak dengan James. Dia menawariku untuk film terbarunya.”

“Sial! Kenapa kamu memutuskan tanpa memberitahuku! Batalkan! Besok kamu harus pulang dan kita harus rencanakan untuk memiliki anak.” bentaknya, tangannya mulai mengendurkan dasi yang melekat dilehernya.

“Honey, aku sudah tanda tangan kontrak. Apa kataku? Anak? Kita sudah sepakat untuk menundanya setelah kontrakku habis,” rengek Tessa manja.

Tak tahan dengan alasan Tessa dan berani-beraninya istrinya memutuskan menandatangani kontrak tanpa berdiskusi dengannya. Kepalan tangan Alejandro sudah mulai mengeras.

“Atau kita bisa pakai Ibu pengganti, semacam menyewa Rahim kalau kamu benar-benar menginginkan anak. Aku tidak bisa memutuskan kontrak secara sepihak, Ale.”

Alejandro memutuskan panggilan telepon. Tak habis pikir dengan ide gila yang baru saja kudengar dari istriku sendiri untuk menggunakan Rahim sewaan. Selama 3 tahun aku telah mengalah pada Tessa. Sebenarnya tanpa Bianca suruh, Alejandro pun juga menginginkan keturunan.

“Sialan!” dilemparnya foto yang ada di meja kerja.

Alejandro mengambil gagang telepon dan segera menyambungkan pada Lian asistennya, “Segera siapkan ruangan untukku seperti biasa dan kali ini siapkan juga wanitanya.”

Comments (4)
goodnovel comment avatar
Menulis Aksara
lanjutin dong kak, masih banyak huru-hara yang belum dibaca hihi
goodnovel comment avatar
Tarra
udh ada huru hara aja
goodnovel comment avatar
Menulis Aksara
pantengin terus kak ...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status