Share

3. Hope

Sepotong baju yang terlipat rapi sekali lagi masuk ke dalam koper pink milik Luna. Itu adalah baju-baju yang akan si gadis kecil kenakan selama mereka di Jakarta. Memang tidak banyak, sebab mereka memang berencana untuk segera kembali ke Surabaya setelah acara pesta pernikahan telah selesai.

Terkecuali Evelyn.

Ya, wanita itu memang akan tinggal di ibu kota dalam waktu yang cukup lama. Ia ingin melanjutkan kuliah di kampus impiannya di sana, tentu saja sekaligus untuk mencari pengalaman kerja.

Selama tinggal di Surabaya ia merasa begitu terkekang, kedua orang tuanya terlalu over protektif padanya, selalu saja melarangnya untuk lebih mengenal dunia luar. Dan kini Evelyn ingin keluar dari zona nyamannya selama ini. Biar bagaimanapun, ia ingin bekerja dan bisa hidup mandiri.

"Nah, sudah siap. Sekarang Luna bisa beristirahat sebentar sebelum mandi. Masih merasa dingin, bukan?" Evelyn berucap seraya menarik risleting koper Luna, sedangkan atensinya telah tercurah penuh pada wajah menggemaskan si balita. Gadis kecil itu berdiri di depannya, di atas kasur empuk.

"Uhum." Anggukan diberikan, gadis kecil itu kemudian menunjuk boneka kucing di sudut ranjangnya. "Kak, Luna mau bawa Kitty. Boleh?"

"Tentu saja boleh, Sayang."

Atas jawaban Evelyn, sudut-sudut bibir Luna melengkung ke atas. Ia meraih boneka kesayangannya dan memeluknya erat sebelum kembali memberikan tanya. "Kita mau jalan-jalan ke mana sih, Kak? Kenapa harus berangkat pagi-pagi sekali?"

"Ke Jakarta, Sayang. Kita akan naik pesawat." Evelyn menjawabnya sembari menurunkan koper balita itu ke lantai, lengkap dengan senyum manis.

"Woah ... jadi, kita akan terbang ya, Kak? Apakah tinggi sekali?"

Kepala berhelaian panjang nan lurus itu mengangguk sekilas, lalu menatap lekat si balita. "Apa kamu takut?"

"Tidak! Luna justru senang! Luna tidak sabar akan terbang!" dan teriakan gadis kecil itu berakhir ketika dirinya melompat-lompat di atas kasur.

"Astaga, jangan melompat-lompat, Nak!" tentu sebagai orang dewasa, ia menaruh kecemasan ketika tubuh si balita memantul ke atas dan ke bawah. Namun, ketika melihat wajah cantik nan menggemaskan itu berbinar bahagia, Evelyn hanya mampu berdiri terdiam sambil memperhatikan dengan senyum mengembang. Ia turut merasakan euforia yang sama atas keceriaan Luna. Kebahagiaan darah dagingnya itu merupakan bagian dari bahagianya juga.

Setelahnya, Evelyn bergerak membuka laci almari milik Luna, mengecek sekali lagi kalau-kalau ada barang penting yang tertinggal. Namun, ketika laci di bagian paling bawah ia buka, ia tertegun kala kedua matanya menemukan sebuah seragam sekolahnya dulu. Dengan tangan gemetar, ia meraihnya, membelainya dengan perasaan yang bercampur aduk.

Dan secara otomatis ingatannya mundur ke belakang, di masa ia menimba ilmu di Jakarta bersama Damian, sebelum kedua orang tuanya mengajak pindah ke Surabaya demi menyembunyikan kehamilannya.

Di Surabaya, kedua orang tuanya tidak memperbolehkan dirinya untuk meneruskan pendidikannya secara formal. Meski begitu, ia tetap mendapatkan ilmu dengan metode homeschooling. Kehamilannya teramat dirahasiakan, tidak ada satu pun yang tahu jika dirinya hamil di luar ikatan pernikahan, bahkan hingga melahirkan Luna, termasuk keluarga Arjuna.

Ah, Evelyn tidak menyangka bahwa ia akan kembali menginjakkan kakinya ke Jakarta. Akibatnya, kenangan-kenangan indahnya bersama si pria bermata biru itu kembali berputar di dalam kepalanya.

Ya, Evelyn tidak mampu menampik bahwa ia merindukannya. Namun, ia pun tidak berharap bahwa mereka akan kembali berjumpa. Lagi pula Damian pun sudah pindah ke luar negara, bukan?

'Bagaimana kabarmu, Damian?'

'Apakah kau benar-benar sudah melupakanku?'

Evelyn hanya membatin lirih sebelum kembali meletakkan seragam itu ke tempat semula.

***

Desiran halus dari alat penyejuk ruangan berpadu dengan suara lembut nan merdu seseorang di ujung telepon sana. Di dalam ruang kerjanya, Damian tiada henti tersenyum bahagia mendengar segala celotehan wanita yang sedang bertelepon dengannya. Itulah satu-satunya hal yang sedikit banyak membuat hari pria itu sedikit berwarna.

"You're so funny. Bagaimana bisa kau begitu menggemaskan begini, hm? Kau membuatku ingin segera menemuimu lagi." Pria itu terkekeh renyah atas ucapan wanita di seberang ponsel yang tertempel di telinga.

Namun, ketika suara ketukan di pintu berhasil tertangkap indera rungu, raut wajah Damian berubah seketika. Senyuman itu musnah, berganti mimik wajah datar yang biasa ia tampilkan. Apalagi ketika siluet yang tampak pada kaca buram itu menampilkan dengan samar siapa seseorang yang datang.

"Kita lanjutkan nanti, ya? Ada yang datang," bisiknya sebelum menekan ikon gagang telepon warna merah untuk mengakhiri percakapan. Ia meletakkan ponsel pintarnya di atas meja sembarangan sebelum berujar. "Masuk."

Dan ketika pintunya terbuka, sosok Benedict adalah seseorang yang berada di baliknya, tepat sesuai dugaan pria itu. Pria baya dengan pakaian rapi khas pria eksekutif itu memasuki ruangan Damian dengan langkah tegas menuju ke arahnya.

"Apa Papa mengganggumu?" tanyanya.

"Tentu saja tidak. Ada apa?" Damian balas bertanya tanpa basa-basi.

"Papa mau kau menggantikan Papa untuk hadir pada acara pernikahan salah satu klien kita. Nanti malam, jam 8. Bisa?" Benedict menjeda ucapannya seraya meletakkan sebuah undangan di atas meja, pun untuk menangkap respons dari mimik muka Damian. "Papa lupa jika sudah ada jadwal janji temu dengan para petinggi perusahaan otomotif yang sudah menghubungi perusahaan kita sejak minggu lalu."

Damian meraih undangan bersampul emas yang tampak begitu mewah itu, memeriksa tanggal pernikahan yang tertera di sana dengan sekilas pandang. Selanjutnya ia membuka ponsel untuk mengecek jadwal yang biasa ia tulis di dalam aplikasi catatan. Tak lama ia menganggukkan kepala.

"Bisa. Kebetulan jadwal meeting terakhirku hari ini akan selesai pukul 7 malam."

"Good." Benedict tersenyum puas. Ia menyelipkan kedua tangannya di saku celana tanpa memutus tatapan mata, bersiap memberikan wejangannya. "Kau boleh mengajak satu orang temanmu untuk menghadiri acara itu. Bersikaplah yang baik, jangan sampai klien kita yang satu itu membatalkan proyek iklan yang akan mereka serahkan pada kita dalam waktu dekat ini. Karena jika sampai hal itu terjadi, maka perusahaan kita akan rugi besar. Papa menaruh masa depan perusahaan kita di pundakmu, Damian." Dan ucapan itu diakhiri tatapan lurus penuh tuntutan.

Damian hanya tersenyum sinis mendengarnya, menyimpan kedua lengan di dada. "Baik, aku mengerti. Kau tak perlu khawatir."

"Kau boleh melanjutkan pekerjaanmu kalau begitu. Selamat bekerja." Benedict tak merasa tersinggung sama sekali atas sikap Damian, ia sudah terlalu terbiasa. Ia segera membalikkan tubuh kemudian melenggang meninggalkan putranya.

"Terima kasih."

Setelah sosok Sang ayah lenyap di balik pintunya, Damian kembali meneliti surat undangan di kedua tangan. Dari desainnya ia sudah mampu menyimpulkan bahwa calon mempelai pengantin yang akan segera menikah itu merupakan orang-orang yang berasal dari kalangan atas.

Tetapi, keningnya mengernyit ketika membaca nama belakang calon mempelai pria yang tercetak di sana.

"Adhitama? Mungkinkah?"

Secara otomatis ingatan Damian melayang pada masa lalu. Di kepalanya tergambar dengan begitu jelas seraut wajah jelita yang memiliki senyum manis seorang perempuan yang tak pernah lagi ia temui selama lebih dari lima tahun terakhir ini. Dadanya berdebar saat satu harapan mulai muncul, menguasai pikiran.

'Apakah ... kita akan bertemu lagi, Eve?'

***

Tbc...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status