Share

4. Situasi Yang Tidak Disangka

Acara resepsi pernikahan itu tampak ramai malam ini. Segala sisi gedung dipenuhi banyak tamu undangan berpenampilan glamor dengan dresscode warna emas. Pukul 8 tepat Evelyn beserta keluarga pada akhirnya menapakkan kaki ke tempat resepsi pernikahan Arjuna.

Sebenarnya mereka sudah sampai di Jakarta sejak menjelang siang tadi. Namun, karena merasa lelah akibat penerbangan dari Surabaya selama 1 jam lebih di atas awan, mereka memilih untuk sekedar melepas penat di rumah mempelai pria, terlebih mereka membawa seorang balita.

"Ma, Luna mau pipis!" tarikan tangan Si kecil Luna pada tangan Arini yang menggandengnya, membuat wanita baya itu menghentikan langkah kaki kemudian menaruh afeksi padanya. Evelyn dan Sang ayah yang berjalan di belakang mereka turut berhenti.

"Kebelet, ya? Baiklah." Sedikit membagi senyum untuk Luna, Arini mengalihkan tatapan pada Evelyn dan suaminya. "Eve, Mama dan Luna ke toilet dulu. Kamu temui Juna dulu bersama Papa, nanti kami menyusul."

"Iya, Ma." Sebuah anggukan dari Evelyn mengantarkan sosok Arini dan Luna melangkah menuju lorong yang menghubungkan toilet wanita yang berada di sisi kiri.

"Kau siap untuk bertemu pengantinnya sekarang?" tanya Burhan Adhitama pada Sang putri setelah istri dan cucunya menghilang dari pandangan.

"Tentu saja siap, Pa."

"Gandeng lengan Papa kalau begitu." Pria baya itu mengulurkan lengannya lengkap dengan senyum jahil. Hal itu berhasil menciptakan kernyit di dahi Evelyn.

"Kenapa?"

"Kau lihat, dari sekian banyaknya perempuan yang datang, hanya dirimu yang tidak punya gandengan. Kasihan sekali putri Papa yang satu ini," gurau Burhan sambil terkekeh ringan.

"Tidak apa-apa. Sekarang ada Papa yang menggandeng Eve, kan?" Evelyn ikut tertawa. Sekali-kali menertawai nasib sendiri tidak ada salahnya, bukan? Justru hal itu mampu mengurangi kadar stres yang dirinya rasakan. Di detik selanjutnya ia mulai menggamit lengan ayahnya kemudian mulai melangkah bersama menuju kedua mempelai pengantin di ujung sana.

"Burhan, kau kah itu?"

Namun, sebelum langkah terayun, seseorang menyebut nama ayahnya, membuat ayah dan anak itu menengok serempak ke asal suara.

"... Sultan?" Burhan menyebut nama si pelaku dengan sedikit kernyitan di dahi, menandakan bahwa ia sedikit ragu, takut salah mengingat nama dari seraut wajah itu.

"Benar." Tetapi, nyatanya sosok itu mengangguk dengan senyuman lebar. Tebakan Burhan memang tepat sasaran. "Wah, sudah lama sekali kita tidak bertemu, ya?"

"Iya, sudah puluhan tahun sepertinya?"

"Dan selama itu pula wajahmu hampir tidak ada bedanya. Kau benar-benar awet muda. Haha." kelakar Sultan, memancing Burhan untuk turut tertawa. Sedangkan Evelyn hanya menyimak saja sambil sesekali tersenyum canggung, tidak tahu harus merespons seperti apa.

"Kau ini bisa saja. Kau pun sama."

Setelah tawa Sultan mereda, pria baya yang tampak seumuran Burhan itu menyesap cocktail yang ia bawa di tangan kanan seraya menunjuk presensi Evelyn lewat lirikan mata. "Dia putrimu?"

"Tentu. Perkenalkan, namanya Evelyn."

"Salam kenal, Paman." Evelyn memberikan senyuman manis nan ramah tanda perkenalan.

"Salam kenal juga, Nak. Kau cantik sekali." Sultan memuji. Ia memperhatikan wajah jelita Evelyn dengan seksama, lengkap dengan senyum teduh yang menghiasi bibirnya. "Melihatmu Paman jadi teringat dengan anak Paman, sepertinya kalian seumuran. Omong-omong dia juga ada di sini." Tatapan pria itu kembali beralih pada Burhan setelahnya. "Hey, Burhan ... bagaimana jika kita perkenalkan anak kita, siapa tahu saja kita bisa berakhir berbesan. Haha."

"Itu mudah diatur."

Senyum Evelyn berubah kaku kala mendengar percakapan selanjutnya dari sang ayah dengan pria baya di depannya. Topik yang mereka bicarakan merupakan topik yang cukup sensitif baginya, dan wanita itu merasa kurang nyaman.

"Pa, bolehkah Eve menemui Kak Juna dulu? Papa dan Paman bisa mengobrol lebih lama, Eve bisa sendirian," pamit Evelyn, beralasan. Pada akhirnya ia memilih opsi untuk menghindar.

"Tentu."

***

"Kau sangat beruntung bisa menjadi suaminya. Kau tahu, Nina dulu adalah seorang primadona ketika kami masih berkuliah bersama."

"Wah, benarkah?" Si mempelai pria berujar tak percaya untuk merespons ucapan pria di depannya—yang Evelyn tebak adalah temannya. Sedangkan Sang mempelai wanita tampak mengerucutkan bibirnya.

"Jangan dengarkan omongannya, Sayang. Aksa memang senang berbual."

Evelyn yang sudah berada tak jauh dari mereka bertiga menjadi sedikit ragu untuk menyapa kedua mempelai pengantin. Ia hanya berdiri kaku. Arjuna Adhitama terlihat begitu asyik berbincang bersama teman lelakinya.

"Eve? Wah, akhirnya kau datang juga. Kakak sudah menunggumu sejak tadi." Namun, tak lama berselang nyatanya Arjuna menyadari kehadirannya. Pria yang merupakan kakak sepupunya itu tersenyum begitu tampan.

"Hai, Kak. Selamat menempuh hidup baru, ya ...." Evelyn balas menyapa seraya tersenyum manis dan mengulurkan tangan kanan. Meski sedikit canggung karena merasa mengganggu obrolan mereka, akhirnya ia memilih untuk bergabung.

"Terima kasih." Arjuna menjabat tangannya. Sepasang matanya tampak memindai sekitar saat menyadari ada entitas yang kurang dari Evelyn. "Ah, Si cantik Luna mana? Kenapa tidak ada bersamamu?"

"Dia sedang ke Toilet bersama Mama, kebelet pipis katanya."

"Astaga, kakak sangat merindukannya." Arjuna berkata serius, tampak dalam pacaran matanya. Dirinya memang cukup dekat dengan Luna. Jika berkunjung ke Surabaya, ia pasti membawakan berbagai macam oleh-oleh untuk gadis kecil bermata biru itu.

Yang semua orang tahu, balita bernama lengkap Luna Arkania Adhitama adalah anak bungsu dari pasangan Arini dan Burhan Adhitama, tak terkecuali Arjuna yang merupakan anak dari Kakak Burhan. Beruntung gadis kecil itu sebagian besar mewarisi genetik Evelyn. Jadi, sudah pasti ia akan mirip dengan kakek dan neneknya.

Soal mata biru yang Luna miliki, mereka beralasan bahwa balita itu mengalami sindrom Waardenburg, yakni kelainan genetik langka yang menyebabkan mata berwarna biru dan kemerahan. Meskipun pada kenyataannya, mata biru itu diwariskan dari ayah biologisnya.

"Ekhem!" dan dehaman kencang itu berhasil membuat Arjuna tersentak. Ah, ia sampai tidak sadar jika dirinya terlalu asyik berbincang dengan Sang adik sepupu.

"Astaga! Aku sampai lupa. Eve, perkenalkan ... dia Aksa Wijaya, teman sekaligus rekan kerja Kakak. Dan Aksa, dia Evelyn, adik sepupuku yang waktu itu kuceritakan padamu." Arjuna berujar memperkenalkan dua orang di depannya. Sedangkan Sang istri hanya tersenyum dan menyimak.

"Selamat malam, Eve. Ternyata aslinya kau lebih cantik dari pada di foto," ucap pria bernama Aksa, sedikit menggoda. Pria tinggi berkulit putih dengan rambut terpomade rapi itu menebar senyum tampan pada Evelyn.

"Salam kenal." Evelyn hanya merespons seadanya meskipun sejujurnya ia sedikit terkejut bahwa pria di depannya ini merupakan seseorang yang akan diperkenalkan padanya, seperti apa kata ibunya.

"Dasar, baru bertemu sudah modus saja!" dengkusan kasar itu berasal dari Arjuna. Ia berakhir terkekeh renyah.

"Ssttt ... lebih baik kau diam saja." Dan ucapan Aksa berhasil membungkan mulut kakak sepupu Evelyn. Pria itu kemudian memusatkan atensi seluruhnya pada si wanita. "Ah, Eve sudah bekerja atau masih berkuliah? Kau kelihatan masih begitu muda." Ia mulai berbasa-basi.

"Dia memang masih muda, usianya saja baru 23, selisih 1 tahun denganmu. Dia rencananya mau melanjutkan kuliahnya di kota ini." Arjuna menjelaskan tanpa diminta, lalu memberikan tatapan menggoda pada temannya itu. "Kenapa? Kau langsung tertarik pada adikku saat pertama kali bertemu, hm?"

Aksa yang digoda begitu menjadi salah tingkah juga. Ia kedapatan menggaruk tengkuknya dengan kikuk, tanpa tahu harus menjawab seperti apa. Sedangkan Evelyn justru sebaliknya. Wanita itu selalu merasa kurang nyaman jika membahas masalah perkenalan dengan pria. Ia masih belum siap untuk menjalin hubungan, bahkan kalau bisa ia ingin sendiri saja untuk selamanya.

Mengalihkan pikiran, Evelyn memilih untuk mengedarkan pandangan ke sisi kiri tubuhnya. Namun, tanpa sengaja ia justru melihat sosok tak asing. Seketika itu pula napasnya terasa tercekat, seakan oksigen begitu sukar memasuki paru-parunya. apalagi saat ia menyadari bahwa sosok itu tidak datang sendirian, ada seorang wanita cantik yang menggandeng lengannya.

"Damian?" bisikan lirih itu teralun tanpa sadar. Sungguh, ia sukar untuk mempercayai penglihatannya. Situasi ini sama sekali tak pernah ia sangka akan terjadi. Kenapa mereka harus dipertemukan hari ini?

Banyak hal yang Evelyn risaukan jikalau orang tuanya sampai melihat sosok Damian—yang merupakan ayah biologis dari Luna. Ataupun justru Damian sendiri lah yang melihat Luna. Akankah semua pengorbanan yang ia dan kedua orang tuanya perjuangkan selama ini berakhir menjadi hancur dan sia-sia?

***

Tbc...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status