Share

6. Tidak berubah

"Apa tidak sebaiknya kalau kalian menginap lebih lama di sini? Luna terlihat nyenyak sekali. Kasihan kalau harus dibangunkan." Adalah Arjuna, seseorang yang berbicara ketika melihat Burhan dan Arini muncul dengan menggeret sebuah koper dari kamar yang mereka tempati di rumah itu. Penampilan sepasang suami-istri itu sudah tampak rapi meskipun jam di dinding sudah menunjukkan pukul 9 malam.

"Kami masih memiliki pekerjaan di Surabaya yang tidak bisa ditinggal lama, Nak. Lagi pula Luna juga harus tetap bersekolah di sana." Burhan yang menjawabnya. Pria baya itu mendudukkan diri di kursi empuk yang tersisa, disusul Sang istri yang duduk di sisinya.

Sebenarnya Burhan merasa tidak tega saat menatap Luna yang tertidur berbantalkan paha Evelyn, raut lelah tampak jelas menghiasi gurat wajah gadis kecilnya. Kemarin malam Luna memang begitu bersemangat mengikuti setiap rangkaian pesta pernikahan Arjuna dan Karenina, bahkan balita itu baru bisa tidur setelah tengah malam.

Sedangkan Evelyn hanya diam mengunci mulutnya dengan tangan tak henti membelai lembut rambut halus Luna. Meski tanpa kata, ia terlihat begitu berat saat harus hidup terpisah dari si balita. Sesuai rencana yang dirinya dan orang tuanya susun sejak jauh hari, wanita itu akan tinggal di Jakarta bersama Arjuna dan istrinya untuk melanjutkan pendidikan. Ia berencana akan mengambil kelas karyawan. Selain untuk mencari ilmu, ia pun ingin bekerja di sana.

Yah, meskipun sejujurnya ia kini merasa ragu untuk tetap tinggal. Tepatnya setelah ia kembali bertemu dengan Damian malam itu, beruntung orang tuanya dan Luna datang setelah pria itu menjauh dan berbaur dengan tamu lainnya.

Jika ia tinggal di kota yang sama dengan Damian, otomatis mereka mungkin akan kembali bertemu. Akibatnya, banyak kekhawatiran yang saat ini bertumpuk dalam kepalanya; terutama jika pria itu tahu tentang eksistensi Luna, kemudian menghancurkan apa yang ia dan kedua orang tuanya sudah korbankan selama ini untuk menutupi asal usul gadis kecilnya.

"Kami titip Evelyn saja di sini. Jika terjadi sesuatu, segera kabari kami. Tolong awasi dia, jangan sampai dia macam-macam saat kembali tinggal di ibu kota." Arini membuka suara, sekedar menambahkan apa yang diucapkan suaminya. Tentu kalimat terakhirnya hanya sekedar bercanda, namun hal tersebut berhasil membuat sang putri menekuk muka.

"Eve bukan anak kecil lagi, Ma!"

Karenina yang saat ini tampak duduk bersandar manja di dada sang suami hanya tertawa renyah menanggapinya. Sedangkan Arjuna mengangguk-anggukkan kepala.

"Mama dan Papa hanya khawatir, Nak. Baru kali ini kau akan berpisah jauh dari kami." Suara berat Burhan kembali terdengar, begitu tulus menunjukkan rasa cemasnya sebagai seorang ayah terhadap sang putri tunggal. Sesuatu yang membuat air muka Evelyn berubah pilu, merasa terharu.

"Kami akan menjaga Evelyn dengan baik. Paman dan Bibi tenang saja. Iya kan, Sayang?" Karenina mendongak, sekedar meminta validasi. Dan setelah anggukan kepala sang suami kembali ia dapati, ia mengalihkan tatapan pada Evelyn. "Kau juga tidak perlu sungkan padaku, Eve. Anggap aku kakakmu juga, ya?"

"Baik, Kak. Terima kasih." Evelyn tentu menjawabnya dengan senyuman manis terpatri.

"Ya sudah. Sepertinya kami harus pamit sekarang. Hari sudah larut, kalian tidak perlu mengantar ke Stasiun."

"Tapi Luna masih tidur." Ada nada tak rela dari mulut Evelyn ketika mengatakannya.

"Papa akan menggendongnya pelan-pelan."

"Tapi—" tak mampu melanjutkan kata, Evelyn hanya mengembuskan napas resah dari mulutnya saat Sang ayah berhasil memindahkan Luna, menggendongnya di lengan. "Aku akan sangat merindukannya."

"Kita bisa melakukan video call nanti. Jaga dirimu, Nak." Sebagai salam perpisahan, Arini sempatkan untuk mengusak rambut putrinya.

"Hati-hati di jalan. Segera kabari aku kalau sudah sampai."

***

Setelah kepergian kedua orang tuanya beserta Luna, suasana rumah menjadi lebih sunyi. Merasa malam sudah semakin larut, Evelyn mengayunkan langkah kakinya memasuki kamar yang sudah Arjuna sediakan untuknya untuk segera menjemput mimpi.

Namun, saat ia mencoba mengecek ponselnya, ternyata ada satu pesan yang belum terbaca menghiasi layar.

[Hai, Eve ... ini aku. Aku mendapatkan nomor teleponmu dari Juna. Bolehkah aku menyimpan kontakmu? - Damian]

Wanita itu terkejut bukan main setelah membaca sebaris pesan itu, sampai-sampai ia menyimpan ponselnya di permukaan dada dengan mata sedikit membola. Ia menarik napas dalam-dalam untuk mengontrol laju jantungnya agar berdetak normal kembali.

Setelah merasa lebih baik, ia mencoba membalas pesan dari pria itu.

[Boleh.]

Meskipun ia mengizinkan, tetapi dirinya berjanji untuk tidak terlalu sering berhubungan. Lagipula, jika ia tidak mengizinkan Damian menyimpan kontak teleponnya, bukankah justru akan mencurigakan?

Dan yang tidak ia duga, teleponnya berdering di detik selanjutnya. Ternyata Damian langsung menelepon setelah membaca balasan pesan darinya. Meski ragu, Evelyn menekan ikon gagang telepon hijau lalu menempelkan ponselnya di daun telinga.

"Sudah larut malam kenapa belum tidur, hm?" dan sebuah suara maskulin segera menyambut pendengaran wanita itu.

"Aku sedang akan tidur." Evelyn menjawabnya singkat.

"Apakah aku mengganggumu? Bagaimana kabarmu?" lagi. Suara berat nan familiar itu kembali terdengar.

"Aku baik-baik saja. Bukankah kau sudah bertanya begitu ketika di resepsi pernikahan Kak Juna?"

Dan derai tawa renyah hinggap di indera rungu Evelyn. "Haha. Iyakah? Aku hanya sangat merindukanmu, Eve. Lama sekali kita tidak bertemu."

Wanita itu memejamkan mata. Entah kenapa mendengar pengakuan rindu dari pria di seberang telepon sana membuat dadanya nyeri sekaligus merasa kesal. Ia kembali teringat wanita cantik yang Damian bawa di pesta pernikahan Arjuna. Untuk apa pria itu merindukan wanita lain padahal ia sudah memiliki tunangan?

"Apakah tunanganmu tidak akan marah saat tahu kalau kau meneleponku malam-malam dan bilang begini padaku?"

"Kiara tidak akan marah. Dia begitu mempercayaiku, begitu pula sebaliknya." Nyatanya Damian menjawab pertanyaan sarkas Evelyn dengan begitu santainya, seakan tanpa dosa.

"Sudah berapa lama?" hela napas berat terembus dari celah bibir tipis Evelyn setelah bertanya.

"Maksudmu?"

"Kau bertunangan dengan Kiara sudah berapa lama?" wanita itu memperjelas pertanyaannya.

"Hmm ... mungkin baru setengah tahun lalu? Aku memang sedikit pelupa. Yang pasti sudah cukup lama kami bersama, bahkan semenjak aku dan dia masih di Jerman."

"Aku turut bahagia mendengarnya." Berbanding lurus dengan ucapannya, dada wanita itu terasa semakin perih. Pria yang ia cintai nyatanya telah berbahagia dengan wanita lain. Sedangkan dirinya? Ah, ia masih saja sibuk menangisi masa lalunya.

"Kau sendiri bagaimana? Apakah masih bersama ... Devano?"

Senyum miris menghiasi wajah jelita wanita itu kala mendengar pertanyaan Damian. Devano, pria itu sudah tidak ada lagi di hidup dan hatinya sejak lama. Bahkan ia sendiri yang memutuskan hubungannya sesaat setelah sadar akan perasaannya terhadap pria yang saat ini sedang berbicara dengannya.

"Aku dan dia sudah lama berpisah, tepat setelah hari di mana kau menghilang."

Ada keheningan setelah sepenggal kalimat yang Evelyn ucapkan. Setelah terdengar desah napas cukup panjang, barulah pria itu kembali bersuara.

"Maafkan aku. Aku akan menjelaskan semuanya, alasan kenapa aku pergi meninggalkan Indonesia dengan tiba-tiba." Agaknya Damian merasa begitu bersalah ketika mengingat peristiwa itu.

Evelyn menekan dadanya cukup kencang dengan mata memejam pedih kala memori kelam itu kembali terekam dalam ingatannya, memori di malam pria itu pergi meninggalkan Indonesia tanpa pesan, memori yang menjadi awal kehancuran hidupnya saat ia mengungkapkan kehamilannya pada kedua orang tua.

"Jadi, bagaimana kalau kita bertemu besok? Ada banyak hal yang ingin kubicarakan denganmu." Damian kembali membuka suara, mungkin karena Evelyn yang hanya terdiam tak membalas ucapannya.

"Tapi aku—"

Belum sempat Evelyn meneruskan kata, Damian memotongnya. "Eits, aku tidak menerima penolakan. Bagikan lokasimu, besok saat jam makan siang aku akan menjemputmu."

'Kau sama sekali tidak berubah. Masih saja pemaksa,' batin si wanita.

Ah, bahkan Evelyn masih mengingat dengan jelas kebiasaan pria itu.

"Karena sudah semakin malam, sebaiknya kau tidur. Sampai jumpa, Eve."

Panggilan telah diakhiri sepihak, tetapi Evelyn masih saja menempelkan ponselnya di telinga. Ia pun tidak mengerti, dirinya sudah tersakiti sebegitu parahnya, namun ia tetap tidak mampu membenci.

***

Tbc...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status