Share

2. Teringat tentangmu

"Mama serius, besok kita semua akan pergi berlibur?" setelah menutup pintu kamar Luna, Evelyn bertanya pada sang ibunda. Di benaknya penuh tanda tanya, sebab Arini belum pernah membicarakan perihal liburan sebelumnya.

"Kau lupa? Besok hari pernikahan Juna, Sayang. Sepupumu yang di Jakarta itu." Arini menelengkan kepala, menjawab seraya melangkah beriringan bersama putrinya menuju kamarnya di lorong paling ujung. Kamar di rumah mereka memang saling bersebelahan dan berurutan.

"Oh, astaga!" Evelyn menepuk jidatnya saat mengingat tentang hal yang ibunya katakan, namun senyumannya mengurva lebar. "Jadi, Kak Juna benar akan menikah besok?!"

"Begitulah. Kau tampak sering melamun akhir-akhir ini. Memikirkan apa, hm?" Arini berdiri di depan pintu kamarnya. Urung membuka pintu, ia justru tampak bersedekap menatap sang putri.

Evelyn tersentak mendengar pertanyaan Arini. Ternyata ibunya begitu peka terhadapnya, tetapi untuk jujur pun terlalu sukar bagi wanita itu.

"... tidak ada." Pada akhirnya hanya itu yang mampu Evelyn katakan.

"Jangan bohong! Jangan bilang kalau kau masih saja berharap jika pria itu akan datang menemuimu?" ada raut curiga di dalam pandangan tajam Arini.

"...."

Sedangkan Evelyn hanya mampu terdiam, sebab tebakan Arini memang benar adanya. Cahaya di mata wanita itu meredup lalu ia menundukkan kepala. Dibandingkan harus melihat wajah kecewa sang ibu, ia memilih untuk menatap lantai keramik di bawah kakinya.

Bukan tanpa alasan Evelyn kembali mengingat Damian akhir-akhir ini. Putri mereka semakin besar sekarang. Dan semakin hari wajah Luna semakin mirip saja dengan ayahnya. Mata Luna yang berwarna biru membuat Evelyn seakan menatap mata Damian setiap kali menatapnya. Yah, meskipun delapan puluh persen sang putri memiliki gen dominan dirinya.

"Berhentilah mengharapkan sesuatu yang mustahil, Nak. Pria itu bukan seorang yang baik untukmu. Jika dia orang baik, dia tidak akan lari dari tanggung jawab." Tatapan Arini melunak, ia meraih dagu Evelyn sehingga mereka saling bertemu mata. Sebagai seorang ibu, tentu dirinya tidak tega melihat putri tercintanya bersedih begitu.

"Karena dia tidak tahu jika Eve hamil, Ma." Suara lembut itu teralun lirih. Meski begitu, Arini masih mampu mendengarnya.

"Apakah selama lebih dari 5 tahun ini dia pernah membalas pesanmu? Atau ... mencoba menghubungimu? Tidak pernah, bukan?" Arini memindai kedua mata sang putri, seakan sedang menelanjangi pemikirannya. Sebagai seorang ibu tentu ia mencoba mengerti tentang apa yang putrinya rasakan. Ia terlalu menyayanginya meskipun jawaban Evelyn masih saja penuh pembelaan terhadap pria tak bertanggungjawab itu.

"Bahkan nomornya sudah tidak aktif lagi sejak malam itu." Ada perih yang Evelyn rasa setelah berucap begitu. Ia kembali menundukkan muka. Atas ucapan sang ibunda, membuat ia berpikir bahwa pria itu mungkin saja sudah melupakannya.

"Kau sudah melangkah sejauh ini, jangan sampai semua yang sudah Mama dan Papa korbankan untukmu dan Luna menjadi sia-sia. Kau masih muda, cobalah buka hatimu untuk pria lain selain dia. Percuma memikirkan seseorang yang bahkan kau sendiri tidak yakin jika dia pun memikirkanmu. Pernahkah kau berpikir jika ternyata sekarang dia sedang berbahagia bersama wanita lain? Kau juga berhak bahagia, Sayang. Lupakan dia."

Melupakan, ya?

Ah, Evelyn jadi kembali teringat malam itu. Malam yang menjadi malam paling kelam untuknya. Sambil bermandi hujan, ia menyaksikan sendiri bagaimana sang ayah mengendarai motor menuju rumah Damian, untuk meminta pertanggungjawaban. Tongkat baseball sudah ada di tangannya, berniat untuk menghajar pemuda itu.

Namun, nasib baik seakan enggan berpihak pada keluarga Evelyn. Ketika sang ayah kembali, lagi-lagi hanya rasa kecewa yang mampu pria baya itu bawa pulang; Damian bersama keluarganya sudah tidak berada di rumahnya, mereka semua sudah pergi ke luar negara. Entah negara mana yang menjadi tujuannya, Evelyn tidak mengetahuinya.

"... iya, Ma." Evelyn menjawabnya dengan begitu lemah. Ia memilih untuk kembali menuruti kata ibunya, karena dirinya pun mulai lelah mengharapkan sesuatu yang terasa begitu mustahil terjadi. Ia pun paham bahwa apa yang sang ibunda katakan memang hal yang terbaik untuknya, pula untuk putrinya. Ia berhak bahagia, seperti apa kata sang ibu.

"Sekarang tidurlah. Besok adalah hari yang panjang untuk kita. Juna bilang, dia ingin memperkenalkan dirimu pada salah satu rekannya."

Evelyn mendongak secara spontan. Ucapan ibunya membuat dirinya membangun berbagai spekulasi di kepala. Apakah dirinya hendak dijodohkan?

***

"Kau tidak ingin pulang? Ini sudah lebih dari tengah malam, Damian."

Yang ditanya tampak meletakkan gelas ke atas meja, isinya tinggal separuh. Tentu yang Damian minum bukanlah minuman untuk meredakan dahaga, itu adalah minuman beralkohol yang ia harap mampu membuat dirinya merasa tenang. Suara musik yang mengentak terasa berdenging di telinga, namun pria itu cukup menikmatinya.

"Aku sedang malas." Hanya satu kalimat pendek yang menjawab pertanyaan. Satu embus napas berat terdengar, kemudian Damian menjatuhkan punggungnya pada sandaran kursi.

"Bertengkar lagi?" Bintang, pria yang duduk bersama Damian kembali menanyai. Pria yang bekerja satu kantor dengannya itu mulai membakar ujung rokok yang terselip di sela bibir. Mereka memang cukup akrab, sehingga sedikit banyak Bintang mengetahui permasalahan di keluarga Damian.

"Tidak. Hanya sedikit merasa kesal dengan ibuku. Wanita dengan segala kerumitannya. Entah apa sebenarnya maunya? Aku jadi begini pun atas permintaannya."

Topik yang Damian ucap nyatanya cukup menarik rasa penasaran Bintang. Pria itu menegakkan posisi duduknya, membuang bara api di ujung rokoknya pada asbak di atas meja. "Apa yang terjadi?"

"Wanita itu membicarakan hal omong kosong tentangku. Bukankah hal yang kita petik sekarang adalah buah dari hasil yang kita tanam di masa lalu? Lalu, wanita itu dengan entengnya mengatakan bahwa dia merindukan diriku yang dahulu." Kekehan sumbang teralun sebelum Damian kembali menyesap minuman memabukkan miliknya. Tanpa dijelaskan pun sudah sangat tampak bahwa pria berdarah Jerman itu tidak memiliki hubungan yang cukup baik dengan sang ibu.

"Yah, aku memang tidak begitu mengerti bagaimana persisnya permasalahanmu dengan kedua orang tuamu. Namun, sebagai teman baik, aku hanya mengingatkan, bagaimanapun mereka, mereka berdua tetaplah orang tuamu, berkat mereka berdualah kau ada di dunia ini, Damian. Jangan terlalu menaruh benci, atau kau akan menyesal di masa yang akan datang."

"Bahkan jika boleh memilih, aku tidak akan ragu memilih untuk tidak dilahirkan dari orang tua seperti mereka." Atas nasihat Bintang, Damian justru berdecih. Ia makin merasa kesal, meskipun ia sadar bahwa ucapan Bintang memang ada benarnya. "Sudahlah, lebih baik kau minum lagi. Aku sudah muak membahas masalah itu. Jangan semakin membuatku pusing kepala!"

"Hahh ... baiklah. Kau akan mengerti bagaimana rasanya jika nanti sudah menjadi orang tua." Bintang memilih mengalah. Ia kembali menghisap tembakau di sela bibir, kemudian mengembuskan asapnya ke udara.

"I'm not sure. Bahkan aku sudah berencana untuk tidak memiliki keturunan. Selamanya." Salah satu sudut bibir Damian terangkat sebelum ia meraih sebatang nikotin di dalam kotaknya kemudian menyelipkannya di sela bibir. Pria itu menyalakan pemantik, bersiap membakar ujung rokoknya.

Damian hanya belum tahu tentang status dirinya yang sebenarnya.

***

Tbc...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status