‘Bima Anggara is calling ….’
Sepanjang perjalanan, dering ponsel selalu menemaninya. Maudy sedikit kesal saat si brengsek itu berkali-kali mencoba menghubunginya. Ia berpikir untuk menghindari Bima dengan menonaktifkan ponselnya. Namun jarinya terhenti saat melihat pesan masuk dari Bima yang cukup mengagetkan. 'Kenapa tidak menjawab teleponku? Kau mau kabur ke mana?'Hal itu membuat Maudy kaget dan tidak habis pikir. Ia setengah panik sambil terus memperhatikan sekitar, barangkali ada mata-mata yang mengikutinya sejak tadi. "Karen .. apakah aku ketahuan? Kenapa si brengsek ini mengirimiku pesan seperti ini?"Si asisten akhirnya memberikan Maudy scarf untuk menutupi kepalanya. "Mungkin harus seperti ini dulu Nyonya, penampilan Nyonya sedikit terlalu mencolok." Karen berpikiran, rambut fuschia milik Maudy-lah yang membuat majikannya itu mudah sekali dikenali."Apa aku harus membalas pesannya?" tanya Maudy kepada Karen yang masih fokus mengemudikan mobil. "Saya rasa Nyonya Maudy harus meneleponnya dan mengatakan sesuatu, seperti tidak bisa menemuinya dalam waktu dekat ini." Maudy mengangguk pertanda mengerti. Ia segera menelepon Bima dan memberinya banyak alasan agar laki-laki brengsek itu tidak mencurigainya. "Halo, kenapa baru meneleponku? Ke mana saja kau? Kau tak mencoba kabur, kan? Aku akan mencarimu ke mana pun jika kau kabur dariku!" Belum apa-apa, dirinya sudah dihujani banyak pertanyaan, membuat Maudy sedikit bingung harus menjelaskan dari mana. "Kenapa kau tidak pernah bilang kalau kau memiliki tunangan yang gila?" Maudy perlahan membuka pintu mobil setelah Karen memberinya kode bahwa mereka telah sampai di bandara. Hanya terdengar suara tawa dari seberang telepon, membuat Maudy tak habis pikir. "Aku akan jelaskan lebih lengkapnya mengenai hubunganku dengannya. Jadi, di mana aku bisa menjemputmu?" "Tidak usah." "Kenapa kau mendadak begitu? Apa kau tak mau aku menyetujui proyek yang kau tawarkan? Bukankah itu tujuanmu mendekatiku?" "Aku tak tertarik! Kau urus dulu masalahmu dengannya, baru kau bisa menemuiku lagi, TUAN BIMA!" Kata-kata penuh penekanan yang terlontar dari mulutnya itu menjadi akhir dari panggilan teleponnya kepada Bima. Setidaknya, Bima akan menganggap jika dirinya memang benar-benar marah dan sedang tidak ingin diganggu. "Sudah selesai, Nyonya? Semua tiket sudah diurus dan keberangkatan kurang lebih lima belas menit lagi," sahut Karen yang baru saja datang setelah mengurus administrasi penerbangan Maudy. "Terima kasih Karen, tolong katakan semua informasi penting kepadaku melalui telepon ya." "Baik Nyonya."** Langit pagi itu masih terlihat menawan walaupun awan hitam telah mencoret pada kanvas lukisan itu. Tak terkecuali Maudy yang wajahnya berseri-seri karena terlalu senang ingin bertemu dengan suaminya. Kini ia berada di depan kamar suaminya dirawat. Terdapat perasaan gugup namun lebih banyak antusias. Terdapat banyak perasaan bersalah sekaligus menyesal karena secara tidak langsung ia telah menduakan Arga dan yang lebih parah ia mendekati musuh bebuyutannya, Bima. Maudy sadar suatu saat pasti akan terjadi hal-hal yang jauh lebih buruk jika sampai suaminya mengetahuinya. Terlebih laki-laki itu adalah Bima. 'Arga pasti akan sangat membenciku jika mengetahui hal gila yang telah aku lakukan sekarang.'Ia kemudian langsung tersadar dari lamunannya saat seorang perawat mengizinkannya untuk masuk. Melihat wajah suaminya yang tirus dan badannya yang semula tegap gagah menjadi layu membuat tenggorokan Maudy mendadak seperti tercekik. Dadanya seketika sesak dan air mata sudah tak bisa lagi dibendung. "Maafkan aku sayang. Apa yang selama ini aku lakukan di saat kondisimu tidak berdaya begini?"Perlahan tangannya menggenggam tangan dingin sang suami, menciuminya, dan berharap keajaiban akan terjadi saat itu juga. "Kuharap kamu segera bangun, Arga. Aku merindukanmu. Aku tak bisa berjuang sendiri lebih lama. Apa kau bisa mendengarku? Kau dengar kan, sayang?" Hampir satu jam ia menangis dan meminta maaf kepada Arga yang terbaring lemah. Maudy tak mau merasa sedih berkepanjangan. Ia hendak pergi ke luar ruangan dan mencari udara segar. Namun seperti ada yang mengganjal ia pun memutuskan untuk tetap menemani Arga di ruangan itu sambil sesekali membereskan barang-barang pribadi Arga. "Kamu suka sekali membaca novel milik penulis ini, kan? Cepat sadar ya, biar kamu bisa menceritakan semua kisahnya padaku," ucap Maudy sambil meletakan sebuah novel di atas ranjang dan membiarkan suaminya itu menyentuhnya. Arga sangat suka membaca dan cerita yang ia sukai adalah mengenai detektif. Hanya itulah yang Maudy ingat dari perkataan asisten pribadi suaminya, Bredy. Ia masih berharap suaminya mendengar dan merasakan kehadirannya dan kemudian tersadar. Hanya keajaiban itu yang Maudy tunggu sejak lama. Namun alih-alih mendapatkan keajaiban yang sifatnya baik dan membahagiakan, Maudy justru menemukan sebuah surat yang terdapat di dalam novel itu. Selama ini ia mengira sesuatu yang tampak menggembung di antara halaman buku itu hanyalah sebuah pembatas. "Apa ini?" tanyanya keheranan sambil membolak-balikan amplop berwarna peach itu. Sedangkan jiwa penasarannya sudah sangat menggebu-gebu ingin segera membuka isi dari sesuatu yang tampak misterius baginya itu. "Untuk Arga, aku mencintaimu ...,"Jantung Maudy terasa berhenti sejenak saat membaca kalimat pertama dari surat itu. Ia hampir tak bisa melanjutkannya, namun lagi-lagi rasa ingin tahunya melebihi apa pun. "Freya?"Maudy semakin gundah saat tidak pernah sekali pun ia mengenal nama tersebut, terlebih lagi … nama itu tidak pernah disebut oleh suaminya."Siapa dia? Kau bahkan tak pernah bercerita padaku sejak pertama kali kita mengenal satu sama lain," ucap Maudy sambil melihat ke arah Arga yang tak berdaya itu. Sekumpulan kalimat dan frasa indah itu secara tidak langsung sudah membuat perasaan Maudy tak karuan. Sebenarnya siapa perempuan bernama yang berani mencintai suaminya selain dirinya? Sebenarnya kenapa suaminya tidak pernah menceritakan hal ini padahal keduanya telah berjanji untuk mengungkap semua rahasia mereka. Maudy terduduk lemas di lantai. Kertas kecil beserta amplop berwarna peach itu telah masuk ke kantong bajunya sebelum memutuskan keluar dari kamar rawat sang suami.‘Apa yang kau sembunyikan dariku, Arga?’Untuk meredakan suasana hatinya yang mendadak hancur karena pikiran-pikiran buruk tentang sang suami, Maudy memilih melarikan dirinya ke sebuah kafe.Kenangan-kenangan manis bersama Arga terbayang, membuat dada Maudy sesak. Ia tak siap jika kebahagiaannya bersama Arga harus hancur karena temuannya tadi. Duduk termenung, menangis, seorang diri dan dengan warna rambut yang begitu mencolok … keberadaan Maudy mengundang atensi dari band pengiring di kafe tersebut.Wanita itu gelagapan ketika diminta untuk naik ke panggung dan bernyanyi oleh sang vokalis. Ms. Fuschia, begitu ia dipanggil. Mengesampingkan perasaannya yang sedang tak keruan, Maudy akhirnya melangkahkan kaki memenuhi ajakan untuk bernyanyi. Suaranya yang bisa dibilang merdu mendapat apresiasi dari para pengunjung.Tepuk tangan dan tatapan kagum dari para pengunjung mengantarkan Maudy saat wanita itu kembali ke bangku yang tadi ia tinggali. Namun, sebelum sampai di mejanya, tiba-tiba langkahnya terhenti. Ia mematung tak percaya dengan apa yang sedang dilihatnya sekarang.Suara berat yang juga memujinya itu seakan menjadi mimpi buruk bagi Maudy. Membuat jantungnya terasa berhenti."Nyanyian yang bagus Maudy!""Bi .. Bima?" Seketika ia menyesal setengah mati karena kebodohannya dengan terlalu menonjolkan diri. Laki-laki itu mengangguk santai, mengedik ke arah Maudy yang begitu shock melihatnya di Singapura. "Bagaimana kau bisa ada di sini, hm?"Maudy memikirkan banyak cara untuk menjawab pertanyaan Bima. Ia pun berpura-pura tidak terjadi hal apa pun selain hanya ingin pergi berlibur."Aku hanya ingin berlibur .. itu saja," pungkasnya singkat sambil berjalan keluar kafe diikuti oleh Bima."Lalu kenapa kau bisa berada di sini? Kau bukan sengaja mengikutiku kan, Tuan Bima?" Mata Maudy berusaha memberikan penekanan agar Bima tidak mencurigainya.Sayang sekali yang di hadapinya adalah Bima, manusia yang hampir tak memiliki perasaan itu."Kau terlalu percaya diri, Maudy.” Laki-laki itu terkekeh pelan sebelum melanjutkan kalimatnya.” Aku hanya mengikuti naluriku, dan voila … aku menemukanmu."Tanpa sadar keduanya telah berjalan menjauh dari keramaian. Maudy yang sadar ia telah terpancing ma
Tatapan intimidasi dari Bima itu cukup membuat Maudy panik. Ia bahkan tidak ingin rencananya gagal secepat ini.Dengan segera Maudy berusaha untuk memungut kertas itu lebih dulu. Ia seperti sedang berlomba dengan Bima yang terlihat akan mengambilnya juga."Bukan apa apa .. ini hanya surat dari salah satu brand langgananku," Maudy perlahan mulai meremas surat itu seperti sesuatu yang tak penting."Mereka memberiku voucher eksklusif," lanjutnya."Buang saja .. aku bisa membelikanmu apa pun. Kau mau apa? Chann*l, B*lgari, atau D*or? Katakan saja."Maudy menghempaskan napasnya lega. Ia tidak percaya jika Bima akan semudah itu percaya padanya."Oh bukan .. bukan begitu. Tapi ya .. ini tidak begitu penting juga. Omong-omong siapa wanita yang sangat kau kagumi itu?"Pertanyaan Maudy membuat Bima mendelik seketika. Sedari tadi laki-laki itu seperti sedang menahan diri untuk tidak bercerita lebih banyak. Namun wajah muramnya yang seperti matahari tenggelam itu lebih kentara dari apapun. Maudy
Maudy mematung seketika. Ia mendadak percaya jika Bima adalah seorang stalker handal. Bagaimana bisa ia selalu berada di tempat yang sama dengan Maudy?"Aku baru saja menjenguk temanku, lalu .. kenapa kamu ada di sini?" tanyanya sambil berjalan meninggalkan area depan ruangan suaminya. Maudy tidak boleh sampai ketahuan. Rencananya bisa hancur seketika jika laki-laki yang dibencinya ini tahu."Aku juga mengunjungi temanku, lalu ..."Belum selesai perkataan Bima, Maudy sudah berlalu dengan agak tergesa-gesa."Hey .. mau kemana? Tunggu aku!"Susah payah Maudy tetap mencoba untuk keluar dari are rumah sakit ini. Hal sekecil apa pun tidak boleh sampai ketahuan."Maaf aku sedang buru-buru untuk pulang.""Kau mau pulang ke Jakarta kan? Bagaimana kalau kamu pulang bersamaku?"Maudy melengos setengah kesal. Ia hampir tidak bisa menghindari Bima di manapun dirinya berada."Kau mau kabur lagi? Apa aku harus berbuat sesuatu untuk menghentikanmu? Akhir-akhir ini kamu terlihat mencurigakan."DEG.M
"Maaf Nyonya .. tapi ini berkaitan dengan posisi saya di hotel ini, jadi saya ....""Tolong saya Tuan Ankara.. saya bisa menjamin keamanan Anda. Saya mohon..."Tak ada cara lain yang bisa Maudy lakukan selain memohon kepada si manajer. Ia tahu jika dahulunya Tuan Ankara telah menjalin hubungan yang baik dengan suaminya."Baiklah ..."Suara Tuan Ankara seperti oase bagi Maudy. Kedua tangan mungilnya menggenggam tangan Tuan Ankara dan mengucapkan terima kasih.Ia sangat bersyukur bahwa Tuan Ankara merupakan rekan baik suaminya. Namun Maudy lebih bersyukur jika kasus kecelakaan suaminya terungkap dan Bima dijebloskan masuk ke penjara. Itu saja.Sehabis menemui manajer Hotel Raffles, Maudy memutuskan untuk melihat lokasi kejadian kecelakaan suaminya, Arga. Sebuah ruangan VVIP yang biasanta hanya disewakan untuk acara-acara penting pejabat.Terlihat dari pintunya yang mewah bergaya klasik dan warna-warna kontras emas yang digunakan telah menambah kemegahan ruangan itu.Satu langkah kakinya
BRUK.Bima yang sempoyongan langsung terjatuh. Maudy dapat mencium dari baunya jika Bima sangat mabuk dan hampir tidak sadarkan diri.'Merepotkan saja!'Dengan susah payah ia berusaha mengangkat badan Bima ke atas sofa ruang tamunya. Entah apa yang ada dipikirannya, Maudy hanya ingin melihat Bima hancur namun ia juga tidak ingin Bima datang kepadanya seperti ini."Sialan! Semuanya sialan! Awas kau Arga! Aku akan mencarimu dan membuatmu tidak akan pernah bangun lagi! Selamanya!" teriak Bima secara tiba-tiba.Maudy sudah mengepalkan tangannya, bersiap untuk menghabisi laki-laki brengs*k ini. Namun lagi-lagi akal sehatnya kembali. Ia tidak boleh bertindak gegabah.Maudy merapatkan posisinya di sebelah Bima. Menggenggam tangannya untuk memperlihatkan jika ia peduli. Walaupun dalam hatinya tentu saja berbanding seratus delapan puluh derajat."Arga? Siapa dia?"Bima bergumam tak jelas mengatakan apa. Dia justru menarik badan Maudy agar berada di pelukannya."Dia manusia brengs*k! Bukan .. di
"Jika kau memang lajang .. menikahlah denganku Maudy!"Kedua tangan Bima mencengkeram erat bahu Maudy, menggoncangkannya agar Maudy menuruti apa yang ia mau.Maudy langsung tersadar jika ia tidak boleh lengah. Permintaan gila dari Bima itu harus ditolaknya dengan banyak alasan yang logis.Bagaimana pun juga ia harus tetap mendapat kepercayaan dari Bima agar semua sisi buruk Bima dapat ia korek lebih dalam."Aku akan menepis berita fitnah itu dan mengembalikan kejayaan perusahaanku .. juga nama baikku," Bima terus menatap Maudy dengan tatapan dalam.Maudy terus memberontak dan berusaha melepaskan diri. Semua perkataan sampah yang Bima ucapkan sudah seperti tuas bom yang siap membuatnya meledak kapan saja."Aku sudah menyerah untuk mendekatimu dan mendapatkan kontrak untuk perusahaanku. Lagipula .. sudah tidak tersisa berita baik untukmu."Maudy mendorong Bima jauh darinya. Dalam suasana genting itu terlihat Bima yang seperti sedang menahan amarah dan kekesalan yang mendalam."Jadi ini
Karen dan Bredy saling bertatapan, menunggu seseorang dengan canggung. Asisten pribadi dari masing-masing Maudy dan Arga itu sama sekali tidak tahu-menahu jika Maudy telah mengatur pertemuan untuk mereka bertiga."Sudah lama sekali kita tidak bertemu," ucap Bredy canggung."Ya .. sudah lama sekali."Karen hanya menjawab sesuai porsinya. Hubungan kedua asisten pribadi ini memang kurang begitu baik. Keduanya dulunya adalah sepasang kekasih yang tidak bisa bersama lagi.Melepas segala rasa canggung yang ada, Maudy datang tepat pada waktunya. Tak lupa untuk menyembunyikan penyamarannya pada Bredy, ia selalu menggunakan wig hitam yang mirip dengan model rambut aslinya."Kalian berdua sudah lama?"Karen dan Bredy kompak menggeleng dan berebut untuk menjawab pertanyaan sang Nyonya."Tidak .. maksud saya belum lama Nyonya."Maudy menatap keduanya. Ia teringat kembali dengan cerita dari suaminya mengenai Karen dan Bredy."Tidak usah canggung begitu .. hari ini kita akan membicarakan kemajuan p
"Kenapa kamu segila ini? Aku sudah tidak ada urusan lagi denganmu, lagipula perusahaanmu mengalami loss yang sangat banyak. Kurasa aku tidak membutuhkanmu lagi," ketus Maudy.Tak lupa tangannya sibuk mendorong badan laki-laki yang dibencinya itu agar keluar dari apartemennya.Bima tersenyum simpul. Sambil membalikkan badannya menuju pintu, ia mengucapkan kalimat dengan sangat yakin, "kamu tidak akan bisa lepas dariku Maudy! Aku akan anggap ini sebagai istirahat bagimu tapi .. aku akan terus berusaha untuk mendapatkanmu. Suatu saat kau akan jadi istriku!"BRAK.Pintu dibanting cukup keras, menyisakan perasaan tak karuan pada benak Maudy. Ia berpikir jika dirinya mungkin saja terlalu ceroboh dan terburu-buru.Akibatnya mau tidak mau Maudy harus membuat rencana baru untuk menghancurkan Bima.Dalam keputusasaan itu dirinya berdoa agar suaminya cepat sadar dari koma-nya.Sambil terduduk di lantai yang dingin dan memeluk lututnya sendiri, Maudy mengingat lagi awal mula dirinya ingin sekali