Share

4. Di Kafe Malam Itu

‘Bima Anggara is calling ….’

Sepanjang perjalanan, dering ponsel selalu menemaninya. Maudy sedikit kesal saat si brengsek itu berkali-kali mencoba menghubunginya.

Ia berpikir untuk menghindari Bima dengan menonaktifkan ponselnya. Namun jarinya terhenti saat melihat pesan masuk dari Bima yang cukup mengagetkan.

'Kenapa tidak menjawab teleponku? Kau mau kabur ke mana?'

Hal itu membuat Maudy kaget dan tidak habis pikir. Ia setengah panik sambil terus memperhatikan sekitar, barangkali ada mata-mata yang mengikutinya sejak tadi.

"Karen .. apakah aku ketahuan? Kenapa si brengsek ini mengirimiku pesan seperti ini?"

Si asisten akhirnya memberikan Maudy scarf untuk menutupi kepalanya. "Mungkin harus seperti ini dulu Nyonya, penampilan Nyonya sedikit terlalu mencolok." Karen berpikiran, rambut fuschia milik Maudy-lah yang membuat majikannya itu mudah sekali dikenali.

"Apa aku harus membalas pesannya?" tanya Maudy kepada Karen yang masih fokus mengemudikan mobil.

"Saya rasa Nyonya Maudy harus meneleponnya dan mengatakan sesuatu, seperti tidak bisa menemuinya dalam waktu dekat ini."

Maudy mengangguk pertanda mengerti. Ia segera menelepon Bima dan memberinya banyak alasan agar laki-laki brengsek itu tidak mencurigainya.

"Halo, kenapa baru meneleponku? Ke mana saja kau? Kau tak mencoba kabur, kan? Aku akan mencarimu ke mana pun jika kau kabur dariku!"

Belum apa-apa, dirinya sudah dihujani banyak pertanyaan, membuat Maudy sedikit bingung harus menjelaskan dari mana.

"Kenapa kau tidak pernah bilang kalau kau memiliki tunangan yang gila?"

Maudy perlahan membuka pintu mobil setelah Karen memberinya kode bahwa mereka telah sampai di bandara.

Hanya terdengar suara tawa dari seberang telepon, membuat Maudy tak habis pikir.

"Aku akan jelaskan lebih lengkapnya mengenai hubunganku dengannya. Jadi, di mana aku bisa menjemputmu?"

"Tidak usah."

"Kenapa kau mendadak begitu? Apa kau tak mau aku menyetujui proyek yang kau tawarkan? Bukankah itu tujuanmu mendekatiku?"

"Aku tak tertarik! Kau urus dulu masalahmu dengannya, baru kau bisa menemuiku lagi, TUAN BIMA!"

Kata-kata penuh penekanan yang terlontar dari mulutnya itu menjadi akhir dari panggilan teleponnya kepada Bima. Setidaknya, Bima akan menganggap jika dirinya memang benar-benar marah dan sedang tidak ingin diganggu.

"Sudah selesai, Nyonya? Semua tiket sudah diurus dan keberangkatan kurang lebih lima belas menit lagi," sahut Karen yang baru saja datang setelah mengurus administrasi penerbangan Maudy.

"Terima kasih Karen, tolong katakan semua informasi penting kepadaku melalui telepon ya."

"Baik Nyonya."

**

Langit pagi itu masih terlihat menawan walaupun awan hitam telah mencoret pada kanvas lukisan itu. Tak terkecuali Maudy yang wajahnya berseri-seri karena terlalu senang ingin bertemu dengan suaminya.

Kini ia berada di depan kamar suaminya dirawat. Terdapat perasaan gugup namun lebih banyak antusias. Terdapat banyak perasaan bersalah sekaligus menyesal karena secara tidak langsung ia telah menduakan Arga dan yang lebih parah ia mendekati musuh bebuyutannya, Bima.

Maudy sadar suatu saat pasti akan terjadi hal-hal yang jauh lebih buruk jika sampai suaminya mengetahuinya. Terlebih laki-laki itu adalah Bima.

'Arga pasti akan sangat membenciku jika mengetahui hal gila yang telah aku lakukan sekarang.'

Ia kemudian langsung tersadar dari lamunannya saat seorang perawat mengizinkannya untuk masuk.

Melihat wajah suaminya yang tirus dan badannya yang semula tegap gagah menjadi layu membuat tenggorokan Maudy mendadak seperti tercekik. Dadanya seketika sesak dan air mata sudah tak bisa lagi dibendung.

"Maafkan aku sayang. Apa yang selama ini aku lakukan di saat kondisimu tidak berdaya begini?"

Perlahan tangannya menggenggam tangan dingin sang suami, menciuminya, dan berharap keajaiban akan terjadi saat itu juga.

"Kuharap kamu segera bangun, Arga. Aku merindukanmu. Aku tak bisa berjuang sendiri lebih lama. Apa kau bisa mendengarku? Kau dengar kan, sayang?"

Hampir satu jam ia menangis dan meminta maaf kepada Arga yang terbaring lemah. Maudy tak mau merasa sedih berkepanjangan. Ia hendak pergi ke luar ruangan dan mencari udara segar. Namun seperti ada yang mengganjal ia pun memutuskan untuk tetap menemani Arga di ruangan itu sambil sesekali membereskan barang-barang pribadi Arga.

"Kamu suka sekali membaca novel milik penulis ini, kan? Cepat sadar ya, biar kamu bisa menceritakan semua kisahnya padaku," ucap Maudy sambil meletakan sebuah novel di atas ranjang dan membiarkan suaminya itu menyentuhnya.

Arga sangat suka membaca dan cerita yang ia sukai adalah mengenai detektif. Hanya itulah yang Maudy ingat dari perkataan asisten pribadi suaminya, Bredy.

Ia masih berharap suaminya mendengar dan merasakan kehadirannya dan kemudian tersadar. Hanya keajaiban itu yang Maudy tunggu sejak lama.

Namun alih-alih mendapatkan keajaiban yang sifatnya baik dan membahagiakan, Maudy justru menemukan sebuah surat yang terdapat di dalam novel itu. Selama ini ia mengira sesuatu yang tampak menggembung di antara halaman buku itu hanyalah sebuah pembatas.

"Apa ini?" tanyanya keheranan sambil membolak-balikan amplop berwarna peach itu. Sedangkan jiwa penasarannya sudah sangat menggebu-gebu ingin segera membuka isi dari sesuatu yang tampak misterius baginya itu. "Untuk Arga, aku mencintaimu ...,"

Jantung Maudy terasa berhenti sejenak saat membaca kalimat pertama dari surat itu. Ia hampir tak bisa melanjutkannya, namun lagi-lagi rasa ingin tahunya melebihi apa pun.

"Freya?"

Maudy semakin gundah saat tidak pernah sekali pun ia mengenal nama tersebut, terlebih lagi … nama itu tidak pernah disebut oleh suaminya.

"Siapa dia? Kau bahkan tak pernah bercerita padaku sejak pertama kali kita mengenal satu sama lain," ucap Maudy sambil melihat ke arah Arga yang tak berdaya itu.

Sekumpulan kalimat dan frasa indah itu secara tidak langsung sudah membuat perasaan Maudy tak karuan.

Sebenarnya siapa perempuan bernama yang berani mencintai suaminya selain dirinya? Sebenarnya kenapa suaminya tidak pernah menceritakan hal ini padahal keduanya telah berjanji untuk mengungkap semua rahasia mereka.

Maudy terduduk lemas di lantai. Kertas kecil beserta amplop berwarna peach itu telah masuk ke kantong bajunya sebelum memutuskan keluar dari kamar rawat sang suami.

‘Apa yang kau sembunyikan dariku, Arga?’

Untuk meredakan suasana hatinya yang mendadak hancur karena pikiran-pikiran buruk tentang sang suami, Maudy memilih melarikan dirinya ke sebuah kafe.

Kenangan-kenangan manis bersama Arga terbayang, membuat dada Maudy sesak. Ia tak siap jika kebahagiaannya bersama Arga harus hancur karena temuannya tadi. Duduk termenung, menangis, seorang diri dan dengan warna rambut yang begitu mencolok … keberadaan Maudy mengundang atensi dari band pengiring di kafe tersebut.

Wanita itu gelagapan ketika diminta untuk naik ke panggung dan bernyanyi oleh sang vokalis. Ms. Fuschia, begitu ia dipanggil. Mengesampingkan perasaannya yang sedang tak keruan, Maudy akhirnya melangkahkan kaki memenuhi ajakan untuk bernyanyi. Suaranya yang bisa dibilang merdu mendapat apresiasi dari para pengunjung.

Tepuk tangan dan tatapan kagum dari para pengunjung mengantarkan Maudy saat wanita itu kembali ke bangku yang tadi ia tinggali. Namun, sebelum sampai di mejanya, tiba-tiba langkahnya terhenti. Ia mematung tak percaya dengan apa yang sedang dilihatnya sekarang.

Suara berat yang juga memujinya itu seakan menjadi mimpi buruk bagi Maudy. Membuat jantungnya terasa berhenti.

"Nyanyian yang bagus Maudy!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status