Tatapan intimidasi dari Bima itu cukup membuat Maudy panik. Ia bahkan tidak ingin rencananya gagal secepat ini.
Dengan segera Maudy berusaha untuk memungut kertas itu lebih dulu. Ia seperti sedang berlomba dengan Bima yang terlihat akan mengambilnya juga."Bukan apa apa .. ini hanya surat dari salah satu brand langgananku," Maudy perlahan mulai meremas surat itu seperti sesuatu yang tak penting."Mereka memberiku voucher eksklusif," lanjutnya."Buang saja .. aku bisa membelikanmu apa pun. Kau mau apa? Chann*l, B*lgari, atau D*or? Katakan saja."Maudy menghempaskan napasnya lega. Ia tidak percaya jika Bima akan semudah itu percaya padanya."Oh bukan .. bukan begitu. Tapi ya .. ini tidak begitu penting juga. Omong-omong siapa wanita yang sangat kau kagumi itu?"Pertanyaan Maudy membuat Bima mendelik seketika. Sedari tadi laki-laki itu seperti sedang menahan diri untuk tidak bercerita lebih banyak. Namun wajah muramnya yang seperti matahari tenggelam itu lebih kentara dari apapun. Maudy tahu jika Bima ingin segera menceritakan hal itu kepada seseorang, namun ia seperti tidak mempercayai siapa pun."Dia .. wanita itu sangat sempurna. Sayangnya dia sama sekali tidak memilihku. Karena itu aku ..."Terlihat Bima menelentangkan tubuhnya pada ranjang berukuran lebar itu. Ia terlihat putus asa."Karena itu aku tidak punya tujuan lagi. Semua orang atau bahkan kau juga pasti berpikir jika aku terlihat bahagia dengan semua yang aku miliki. Tapi ...,"Maudy yang hanya mendengarkan saja sedari tadi akhirnya menyadari jika Bima sudah mabuk berat. Laki-laki itu terlihat setengah tertidur sambil bergumam tidak jelas.'Dasar payah! Kau bahkan tidak bisa minum lebih dari satu gelas kecil ini.'Sayang sekali pada akhirnya Maudy tidak bisa mengulik lebih banyak lagi informasi dari Bima.**Pagi harinya Maudy hendak kembali ke rumah sakit, namun ia teringat lagi akan informasi yang sangat ia inginkan belum juga didapat. Ia tahu jika kesempatan tidak datang dua kali.'Aku harus menahan diri lebih lama lagi,' batinnya.Secara diam-diam ia menghubungi salah satu perawat pribadi suaminya. Mengatakan jika ia belum bisa kembali lagi ke rumah sakit karena suatu urusan.Rumah mewah dengan hanya ada mereka berdua di dalamnya pagi itu terasa sangat membosankan. Tidak ada hal menarik yang bisa Maudy lakukan. Terlebih badannya terasa pegal-pegal karena harus tidur di sofa malam harinya.Semua bukti yang ia punya tak cukup untuk membuktikan jika Bima-lah yang membuat suaminya kecelakaan dan berakhir koma. Tak ada lagi yang sangat membenci suaminya selain Bima.Maudy terus berusaha untuk mendapatkan bukti yang kuat. Diam-diam ia masuk ke kamar Bima dan mengambil ponselnya. Sedangkan Bima masih tertidur pulas di atas ranjangnya.Maudy berusaha mencari bukti melalui ponsel Bima. Dengan sangat hati-hati ia melihat seluruh percakapan yang ada pada aplikasi perpesanannya.'Ketemu!' ucapnya dalam hati.Terlihat percakapan singkat antara Bima yang mengajak suaminya untuk bertemu."Hotel Rafles?"Maudy bertanya-tanya dan mengingat-ingat lagi mengenai tempat itu.Hatinya seperti tertampar sesuatu yang keras. Menyadari jika tempat itu adalah tempat dimana kecelakaan suaminya terjadi. Arga yang dikabarkan terjatuh dari lantai empat ruang VVIP hotel itu.'Astaga! Baj*ngan ini ternyata benar dalangnya!' rutuknya dalam hati.Tangannya gemetaran dan amarah sudah tidak bisa lagi dibendung. Maudy bahkan jijik saat melihat Bima yang masih tertidur itu.Emosi dan amarah yang memenuhi dirinya telah membuat Maudy mati rasa. Ia hampir kehilangan akal sehat.Diambilnya botol wine yang sudah kosong di atas nakas itu. Digenggamnya erat-erat leher botol yang hendak ia pukulkan ke wajah Bima."Kau sudah bangun?"Bima mendadak bangun dari tidurnya bersamaan dengan jatuhnya botol wine dari genggaman Maudy."Ada apa?" tanya Bima sambil memposisikan dirinya untuk duduk di pinggir ranjang."Maaf aku tidak sengaja menjatuhkan botol ini .. biar aku bersihkan dulu."Akal sehat Maudy kembali lagi. Ia segera membereskan pecahan botol itu dengan perasaan kalut. Ia bahkan tidak sadar jika pecahan botol yang digenggamnya dengan erat telah membuat tangannya terluka."Astaga kau berdarah!"Bima dengan sigap membantu Maudy membereskan pecahan botol itu."Kau ini kenapa? Wajahmu sangat muram pagi ini, apa aku berbuat salah padamu tadi malam saat mabuk?"Maudy menggeleng, ia tetap diam saja saat Bima berusaha mengobati lukanya.'Bukan cuma tadi malam .. setiap detik pun kau sudah berbuat salah padaku .. pada Arga, suamiku yang malang itu.'**Sudah lebih dari sehari Maudy terpaksa menghabiskan waktu bersama Bima. Dengan berbagai alasan Bima menahan Maudy agar tetap berada di sampingnya.Tentu saja hal ini merupakan kesempatan yang baik untuk Maudy bisa mendapatkan informasi yang penting.Setelah ia mengetahui kebenaran dari kecelakaan suaminya, ia juga harus mendapatkan bukti yang kuat."Sudah selesai mencuci piringnya?" Bima tiba-tiba berjalan dari arah belakang dan langsung memeluk Maudy yang sedang mencuci piring-piring kotor."Hampir selesai.""Hm .. padahal aku bisa menyewa asisten dan kau tidak perlu melakukannya.""Tidak apa-apa karena hari ini aku harus beranjak dan kembali dengan urusanku."Tiba-tiba saja Bima membalikan tubuh Maudy menghadap ke arahnya dengan kasar."Bukannya urusanmu hanya denganku?" ucap Bima dengan penuh penekanan dan tatapan yang tajam."Kau sudah punya kekasih, sedangkan aku hanya ..."CUP.Bima langsung mengecup bibir mungil Maudy dan memeluknya kembali."Bukankah aku masih belum menyetujui proyek yang perusahaanmu tawarkan? Urusanmu denganku tentu saja masih ada. Kau masih membutuhkanku Maudy .. dan aku pun membutuhkanmu untuk menemaniku. Jangan pikirkan Selly, dia sudah setuju jika aku mendua denganmu."Perasaan Maudy mendadak campur aduk, namun lebih banyak emosi berupa amarah yang membebani hatinya.'Dua pasangan ini memang sama-sama sakit gila.' batinnya.Karena tak mau terus-terusan berada dekat dengan Bima, Maudy harus menggunakan rencananya yang lain."Aku harus kembali ke Indonesia sore nanti, jadi .. ayo kita bicarakan lagi proyek yang aku tawarkan dan bukankah aku sudah terlalu banyak mengikuti maumu, Tuan Bima?"Setelah mendengar perkataan itu Bima langsung terdiam. Laki-laki itu hanya mengangguk dan mengantarkan Maudy ke hotelnya."Sampai bertemu dua hari lagi."Bima mengusap-usap rambut fuchsia milik Maudy. Tak lupa ia juga mencium kening Maudy.**Di depan ruangan tempat suaminya dirawat Maudy mencoba untuk menimbang-nimbang rencananya lagi. Ia lantas menghubungi Bredy, asisten suaminya."Halo Bred? Bagaimana keadaan perusahaan? Apakah ada data terbaru atau adakah sesuatu yang mencurigakan?""Tidak ada sesuatu yang mencurigakan Nyonya .. investor juga perlahan berdatangan.""Kerja bagus Bred, aku percaya padamu. Satu lagi .. tolong siapkan pengacara yang terbaik. Kasus suamiku tidak boleh ditutup dengan kasus bunuh diri. Aku yakin suamiku tidak melakukan hal itu.""Baik Nyonya jangan khawatir, saya juga tidak percay jika Tuan Arga melakukannya. Omong-omong bagaimana keadaan Tuan di sana Nyonya?""Suamiku perlahan dapat menggerakan jari-jarinya, tentu saja aku akan tetap menjaganya sampai dia sadar."Selagi Maudy sedang berbicara melalui telepon dengan Bredy, tiba-tiba saja seseorang datang menepuk bahunya."Tunggu sebentar Bred, aku ..." ucap Maudy belum selesai saat ia menyadari seseorang telah berdiri di sampingnya."Sedang ngobrol dengan siapa? Kenapa kamu ada di sini Maudy?"Maudy mematung seketika. Ia mendadak percaya jika Bima adalah seorang stalker handal. Bagaimana bisa ia selalu berada di tempat yang sama dengan Maudy?"Aku baru saja menjenguk temanku, lalu .. kenapa kamu ada di sini?" tanyanya sambil berjalan meninggalkan area depan ruangan suaminya. Maudy tidak boleh sampai ketahuan. Rencananya bisa hancur seketika jika laki-laki yang dibencinya ini tahu."Aku juga mengunjungi temanku, lalu ..."Belum selesai perkataan Bima, Maudy sudah berlalu dengan agak tergesa-gesa."Hey .. mau kemana? Tunggu aku!"Susah payah Maudy tetap mencoba untuk keluar dari are rumah sakit ini. Hal sekecil apa pun tidak boleh sampai ketahuan."Maaf aku sedang buru-buru untuk pulang.""Kau mau pulang ke Jakarta kan? Bagaimana kalau kamu pulang bersamaku?"Maudy melengos setengah kesal. Ia hampir tidak bisa menghindari Bima di manapun dirinya berada."Kau mau kabur lagi? Apa aku harus berbuat sesuatu untuk menghentikanmu? Akhir-akhir ini kamu terlihat mencurigakan."DEG.M
"Maaf Nyonya .. tapi ini berkaitan dengan posisi saya di hotel ini, jadi saya ....""Tolong saya Tuan Ankara.. saya bisa menjamin keamanan Anda. Saya mohon..."Tak ada cara lain yang bisa Maudy lakukan selain memohon kepada si manajer. Ia tahu jika dahulunya Tuan Ankara telah menjalin hubungan yang baik dengan suaminya."Baiklah ..."Suara Tuan Ankara seperti oase bagi Maudy. Kedua tangan mungilnya menggenggam tangan Tuan Ankara dan mengucapkan terima kasih.Ia sangat bersyukur bahwa Tuan Ankara merupakan rekan baik suaminya. Namun Maudy lebih bersyukur jika kasus kecelakaan suaminya terungkap dan Bima dijebloskan masuk ke penjara. Itu saja.Sehabis menemui manajer Hotel Raffles, Maudy memutuskan untuk melihat lokasi kejadian kecelakaan suaminya, Arga. Sebuah ruangan VVIP yang biasanta hanya disewakan untuk acara-acara penting pejabat.Terlihat dari pintunya yang mewah bergaya klasik dan warna-warna kontras emas yang digunakan telah menambah kemegahan ruangan itu.Satu langkah kakinya
BRUK.Bima yang sempoyongan langsung terjatuh. Maudy dapat mencium dari baunya jika Bima sangat mabuk dan hampir tidak sadarkan diri.'Merepotkan saja!'Dengan susah payah ia berusaha mengangkat badan Bima ke atas sofa ruang tamunya. Entah apa yang ada dipikirannya, Maudy hanya ingin melihat Bima hancur namun ia juga tidak ingin Bima datang kepadanya seperti ini."Sialan! Semuanya sialan! Awas kau Arga! Aku akan mencarimu dan membuatmu tidak akan pernah bangun lagi! Selamanya!" teriak Bima secara tiba-tiba.Maudy sudah mengepalkan tangannya, bersiap untuk menghabisi laki-laki brengs*k ini. Namun lagi-lagi akal sehatnya kembali. Ia tidak boleh bertindak gegabah.Maudy merapatkan posisinya di sebelah Bima. Menggenggam tangannya untuk memperlihatkan jika ia peduli. Walaupun dalam hatinya tentu saja berbanding seratus delapan puluh derajat."Arga? Siapa dia?"Bima bergumam tak jelas mengatakan apa. Dia justru menarik badan Maudy agar berada di pelukannya."Dia manusia brengs*k! Bukan .. di
"Jika kau memang lajang .. menikahlah denganku Maudy!"Kedua tangan Bima mencengkeram erat bahu Maudy, menggoncangkannya agar Maudy menuruti apa yang ia mau.Maudy langsung tersadar jika ia tidak boleh lengah. Permintaan gila dari Bima itu harus ditolaknya dengan banyak alasan yang logis.Bagaimana pun juga ia harus tetap mendapat kepercayaan dari Bima agar semua sisi buruk Bima dapat ia korek lebih dalam."Aku akan menepis berita fitnah itu dan mengembalikan kejayaan perusahaanku .. juga nama baikku," Bima terus menatap Maudy dengan tatapan dalam.Maudy terus memberontak dan berusaha melepaskan diri. Semua perkataan sampah yang Bima ucapkan sudah seperti tuas bom yang siap membuatnya meledak kapan saja."Aku sudah menyerah untuk mendekatimu dan mendapatkan kontrak untuk perusahaanku. Lagipula .. sudah tidak tersisa berita baik untukmu."Maudy mendorong Bima jauh darinya. Dalam suasana genting itu terlihat Bima yang seperti sedang menahan amarah dan kekesalan yang mendalam."Jadi ini
Karen dan Bredy saling bertatapan, menunggu seseorang dengan canggung. Asisten pribadi dari masing-masing Maudy dan Arga itu sama sekali tidak tahu-menahu jika Maudy telah mengatur pertemuan untuk mereka bertiga."Sudah lama sekali kita tidak bertemu," ucap Bredy canggung."Ya .. sudah lama sekali."Karen hanya menjawab sesuai porsinya. Hubungan kedua asisten pribadi ini memang kurang begitu baik. Keduanya dulunya adalah sepasang kekasih yang tidak bisa bersama lagi.Melepas segala rasa canggung yang ada, Maudy datang tepat pada waktunya. Tak lupa untuk menyembunyikan penyamarannya pada Bredy, ia selalu menggunakan wig hitam yang mirip dengan model rambut aslinya."Kalian berdua sudah lama?"Karen dan Bredy kompak menggeleng dan berebut untuk menjawab pertanyaan sang Nyonya."Tidak .. maksud saya belum lama Nyonya."Maudy menatap keduanya. Ia teringat kembali dengan cerita dari suaminya mengenai Karen dan Bredy."Tidak usah canggung begitu .. hari ini kita akan membicarakan kemajuan p
"Kenapa kamu segila ini? Aku sudah tidak ada urusan lagi denganmu, lagipula perusahaanmu mengalami loss yang sangat banyak. Kurasa aku tidak membutuhkanmu lagi," ketus Maudy.Tak lupa tangannya sibuk mendorong badan laki-laki yang dibencinya itu agar keluar dari apartemennya.Bima tersenyum simpul. Sambil membalikkan badannya menuju pintu, ia mengucapkan kalimat dengan sangat yakin, "kamu tidak akan bisa lepas dariku Maudy! Aku akan anggap ini sebagai istirahat bagimu tapi .. aku akan terus berusaha untuk mendapatkanmu. Suatu saat kau akan jadi istriku!"BRAK.Pintu dibanting cukup keras, menyisakan perasaan tak karuan pada benak Maudy. Ia berpikir jika dirinya mungkin saja terlalu ceroboh dan terburu-buru.Akibatnya mau tidak mau Maudy harus membuat rencana baru untuk menghancurkan Bima.Dalam keputusasaan itu dirinya berdoa agar suaminya cepat sadar dari koma-nya.Sambil terduduk di lantai yang dingin dan memeluk lututnya sendiri, Maudy mengingat lagi awal mula dirinya ingin sekali
Sebelum meninggalkan apartemennya, Maudy mengamati dirinya lagi di depan cermin.Ada perasaan campur aduk saat melihat penampilannya sekarang yang terlihat sangat menyedihkan. Rambut berwarna fuchsia dan filler bibir yang menempel pada wajahnya sekarang sangatlah terlihat bodoh."Aku akan kembali menjadi Maudy yang dulu."Sambil bergegas keluar ia kembali menghubungi Bredy, memintanya agar menjemputnya beberapa jam lagi karena Maudy akan pergi ke salon langganannya terlebih dahulu.**"Rambut Anda sangat indah Nona .. apakah Anda yakin ingin mengubahnya menjadi hitam?" tanya salah satu karyawan di salon paling terkenal itu."Ya aku yakin, tolong hilangkan semua warna fuchsia pada rambutku yang memusingkan mata ini."Si karyawan sedikit tergelak. Maudy masih senyum-senyum sendiri saat suster yang ia sewa untuk menjaga suaminya tiba-tiba menghubunginya melalui panggilan video. Terlihat sosok Arga, suaminya yang sedang terduduk sambil sedikit kebingungan.Tanpa sadar Maudy meneteskan air
"Kau harus pulih dulu sayang .. baru nanti kita pikirkan mengenai hal itu ya?"Arga mengangguk mengerti walaupun kenyataannya ia belum memahami betul apa yang sedang Maudy dan Bredy tertawakan.Tak berapa lama, Bredy bangkit dari duduknya berniat untuk meninggalkan dua orang itu agar dirinya tidak mengganggu, "saya permisi untuk pergi ke luar sebentar Nyonya."Maudy mengangguk dan sejujurnya ia lebih merasa bahagia jika berdua saja dengan suami yang sudah sangat dirindukannya itu."Jangan memaksakan diri untuk berpikir keras .. kau harus istirahat dulu sampai pulih .. apa kau mau makan sesuatu sayang?"Tanpa Maudy duga, Arga membelai rambutnya dan mengecup keningnya pelan."Aku merindukanmu Maudy," ucap Arga.Setengah terharu namun lebih banyak gemas dengan suaminya yang bertingkah seperti anak kecil itu membuat Maudy tersenyum senang."Aku juga merindukanmu."CUP.Sebuah kecupan manis di bibir Arga berhasil Maudy lakukan. Ia sudah sangat merindukan saat pertama kali Arga mengecupnya