Share

6. Berdua Saja di Rumah Bima

Tatapan intimidasi dari Bima itu cukup membuat Maudy panik. Ia bahkan tidak ingin rencananya gagal secepat ini.

Dengan segera Maudy berusaha untuk memungut kertas itu lebih dulu. Ia seperti sedang berlomba dengan Bima yang terlihat akan mengambilnya juga.

"Bukan apa apa .. ini hanya surat dari salah satu brand langgananku," Maudy perlahan mulai meremas surat itu seperti sesuatu yang tak penting.

"Mereka memberiku voucher eksklusif," lanjutnya.

"Buang saja .. aku bisa membelikanmu apa pun. Kau mau apa? Chann*l, B*lgari, atau D*or? Katakan saja."

Maudy menghempaskan napasnya lega. Ia tidak percaya jika Bima akan semudah itu percaya padanya.

"Oh bukan .. bukan begitu. Tapi ya .. ini tidak begitu penting juga. Omong-omong siapa wanita yang sangat kau kagumi itu?"

Pertanyaan Maudy membuat Bima mendelik seketika. Sedari tadi laki-laki itu seperti sedang menahan diri untuk tidak bercerita lebih banyak. Namun wajah muramnya yang seperti matahari tenggelam itu lebih kentara dari apapun. Maudy tahu jika Bima ingin segera menceritakan hal itu kepada seseorang, namun ia seperti tidak mempercayai siapa pun.

"Dia .. wanita itu sangat sempurna. Sayangnya dia sama sekali tidak memilihku. Karena itu aku ..."

Terlihat Bima menelentangkan tubuhnya pada ranjang berukuran lebar itu. Ia terlihat putus asa.

"Karena itu aku tidak punya tujuan lagi. Semua orang atau bahkan kau juga pasti berpikir jika aku terlihat bahagia dengan semua yang aku miliki. Tapi ...,"

Maudy yang hanya mendengarkan saja sedari tadi akhirnya menyadari jika Bima sudah mabuk berat. Laki-laki itu terlihat setengah tertidur sambil bergumam tidak jelas.

'Dasar payah! Kau bahkan tidak bisa minum lebih dari satu gelas kecil ini.'

Sayang sekali pada akhirnya Maudy tidak bisa mengulik lebih banyak lagi informasi dari Bima.

**

Pagi harinya Maudy hendak kembali ke rumah sakit, namun ia teringat lagi akan informasi yang sangat ia inginkan belum juga didapat. Ia tahu jika kesempatan tidak datang dua kali.

'Aku harus menahan diri lebih lama lagi,' batinnya.

Secara diam-diam ia menghubungi salah satu perawat pribadi suaminya. Mengatakan jika ia belum bisa kembali lagi ke rumah sakit karena suatu urusan.

Rumah mewah dengan hanya ada mereka berdua di dalamnya pagi itu terasa sangat membosankan. Tidak ada hal menarik yang bisa Maudy lakukan. Terlebih badannya terasa pegal-pegal karena harus tidur di sofa malam harinya.

Semua bukti yang ia punya tak cukup untuk membuktikan jika Bima-lah yang membuat suaminya kecelakaan dan berakhir koma. Tak ada lagi yang sangat membenci suaminya selain Bima.

Maudy terus berusaha untuk mendapatkan bukti yang kuat. Diam-diam ia masuk ke kamar Bima dan mengambil ponselnya. Sedangkan Bima masih tertidur pulas di atas ranjangnya.

Maudy berusaha mencari bukti melalui ponsel Bima. Dengan sangat hati-hati ia melihat seluruh percakapan yang ada pada aplikasi perpesanannya.

'Ketemu!' ucapnya dalam hati.

Terlihat percakapan singkat antara Bima yang mengajak suaminya untuk bertemu.

"Hotel Rafles?"

Maudy bertanya-tanya dan mengingat-ingat lagi mengenai tempat itu.

Hatinya seperti tertampar sesuatu yang keras. Menyadari jika tempat itu adalah tempat dimana kecelakaan suaminya terjadi. Arga yang dikabarkan terjatuh dari lantai empat ruang VVIP hotel itu.

'Astaga! Baj*ngan ini ternyata benar dalangnya!' rutuknya dalam hati.

Tangannya gemetaran dan amarah sudah tidak bisa lagi dibendung. Maudy bahkan jijik saat melihat Bima yang masih tertidur itu.

Emosi dan amarah yang memenuhi dirinya telah membuat Maudy mati rasa. Ia hampir kehilangan akal sehat.

Diambilnya botol wine yang sudah kosong di atas nakas itu. Digenggamnya erat-erat leher botol yang hendak ia pukulkan ke wajah Bima.

"Kau sudah bangun?"

Bima mendadak bangun dari tidurnya bersamaan dengan jatuhnya botol wine dari genggaman Maudy.

"Ada apa?" tanya Bima sambil memposisikan dirinya untuk duduk di pinggir ranjang.

"Maaf aku tidak sengaja menjatuhkan botol ini .. biar aku bersihkan dulu."

Akal sehat Maudy kembali lagi. Ia segera membereskan pecahan botol itu dengan perasaan kalut. Ia bahkan tidak sadar jika pecahan botol yang digenggamnya dengan erat telah membuat tangannya terluka.

"Astaga kau berdarah!"

Bima dengan sigap membantu Maudy membereskan pecahan botol itu.

"Kau ini kenapa? Wajahmu sangat muram pagi ini, apa aku berbuat salah padamu tadi malam saat mabuk?"

Maudy menggeleng, ia tetap diam saja saat Bima berusaha mengobati lukanya.

'Bukan cuma tadi malam .. setiap detik pun kau sudah berbuat salah padaku .. pada Arga, suamiku yang malang itu.'

**

Sudah lebih dari sehari Maudy terpaksa menghabiskan waktu bersama Bima. Dengan berbagai alasan Bima menahan Maudy agar tetap berada di sampingnya.

Tentu saja hal ini merupakan kesempatan yang baik untuk Maudy bisa mendapatkan informasi yang penting.

Setelah ia mengetahui kebenaran dari kecelakaan suaminya, ia juga harus mendapatkan bukti yang kuat.

"Sudah selesai mencuci piringnya?" Bima tiba-tiba berjalan dari arah belakang dan langsung memeluk Maudy yang sedang mencuci piring-piring kotor.

"Hampir selesai."

"Hm .. padahal aku bisa menyewa asisten dan kau tidak perlu melakukannya."

"Tidak apa-apa karena hari ini aku harus beranjak dan kembali dengan urusanku."

Tiba-tiba saja Bima membalikan tubuh Maudy menghadap ke arahnya dengan kasar.

"Bukannya urusanmu hanya denganku?" ucap Bima dengan penuh penekanan dan tatapan yang tajam.

"Kau sudah punya kekasih, sedangkan aku hanya ..."

CUP.

Bima langsung mengecup bibir mungil Maudy dan memeluknya kembali.

"Bukankah aku masih belum menyetujui proyek yang perusahaanmu tawarkan? Urusanmu denganku tentu saja masih ada. Kau masih membutuhkanku Maudy .. dan aku pun membutuhkanmu untuk menemaniku. Jangan pikirkan Selly, dia sudah setuju jika aku mendua denganmu."

Perasaan Maudy mendadak campur aduk, namun lebih banyak emosi berupa amarah yang membebani hatinya.

'Dua pasangan ini memang sama-sama sakit gila.' batinnya.

Karena tak mau terus-terusan berada dekat dengan Bima, Maudy harus menggunakan rencananya yang lain.

"Aku harus kembali ke Indonesia sore nanti, jadi .. ayo kita bicarakan lagi proyek yang aku tawarkan dan bukankah aku sudah terlalu banyak mengikuti maumu, Tuan Bima?"

Setelah mendengar perkataan itu Bima langsung terdiam. Laki-laki itu hanya mengangguk dan mengantarkan Maudy ke hotelnya.

"Sampai bertemu dua hari lagi."

Bima mengusap-usap rambut fuchsia milik Maudy. Tak lupa ia juga mencium kening Maudy.

**

Di depan ruangan tempat suaminya dirawat Maudy mencoba untuk menimbang-nimbang rencananya lagi. Ia lantas menghubungi Bredy, asisten suaminya.

"Halo Bred? Bagaimana keadaan perusahaan? Apakah ada data terbaru atau adakah sesuatu yang mencurigakan?"

"Tidak ada sesuatu yang mencurigakan Nyonya .. investor juga perlahan berdatangan."

"Kerja bagus Bred, aku percaya padamu. Satu lagi .. tolong siapkan pengacara yang terbaik. Kasus suamiku tidak boleh ditutup dengan kasus bunuh diri. Aku yakin suamiku tidak melakukan hal itu."

"Baik Nyonya jangan khawatir, saya juga tidak percay jika Tuan Arga melakukannya. Omong-omong bagaimana keadaan Tuan di sana Nyonya?"

"Suamiku perlahan dapat menggerakan jari-jarinya, tentu saja aku akan tetap menjaganya sampai dia sadar."

Selagi Maudy sedang berbicara melalui telepon dengan Bredy, tiba-tiba saja seseorang datang menepuk bahunya.

"Tunggu sebentar Bred, aku ..." ucap Maudy belum selesai saat ia menyadari seseorang telah berdiri di sampingnya.

"Sedang ngobrol dengan siapa? Kenapa kamu ada di sini Maudy?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status