Share

7. Kebohongan yang Mulai Terungkap

Maudy mematung seketika. Ia mendadak percaya jika Bima adalah seorang stalker handal. Bagaimana bisa ia selalu berada di tempat yang sama dengan Maudy?

"Aku baru saja menjenguk temanku, lalu .. kenapa kamu ada di sini?" tanyanya sambil berjalan meninggalkan area depan ruangan suaminya. Maudy tidak boleh sampai ketahuan. Rencananya bisa hancur seketika jika laki-laki yang dibencinya ini tahu.

"Aku juga mengunjungi temanku, lalu ..."

Belum selesai perkataan Bima, Maudy sudah berlalu dengan agak tergesa-gesa.

"Hey .. mau kemana? Tunggu aku!"

Susah payah Maudy tetap mencoba untuk keluar dari are rumah sakit ini. Hal sekecil apa pun tidak boleh sampai ketahuan.

"Maaf aku sedang buru-buru untuk pulang."

"Kau mau pulang ke Jakarta kan? Bagaimana kalau kamu pulang bersamaku?"

Maudy melengos setengah kesal. Ia hampir tidak bisa menghindari Bima di manapun dirinya berada.

"Kau mau kabur lagi? Apa aku harus berbuat sesuatu untuk menghentikanmu? Akhir-akhir ini kamu terlihat mencurigakan."

DEG.

Maudy menghentikan langkahnya, kemudian mundur lagi beberapa langkah untuk menyamakan jaraknya dengan Bima.

"Aku hanya lelah, itu saja. Aku juga merasa jika akhir-akhir ini Tuan Bima jadi lebih sering mengekangku. Berikan aku kebebasan .. maksudku ...."

"Ikut saja denganku! Semuanya akan baik-baik saja."

Tak ada pilihan lain bagi Maudy selain mengikuti kemauan si brengs*ek itu. Walaupun ketidaksengajaannya yang bisa berada di tempat yang sama dengan Maudy adalah hal yang mustahil. Tapi tetap saja tak ada pilihan lain yang bisa Maudy lakukan.

"Oke, aku ikut denganmu."

**

Maskapai khusus kaum-kaum elite itu mulai mengudara. Meninggalkan negara itu kembali ke rumah asalnya.

"Aku biasanya memang naik maskapai ini, sangat nyaman .. terlebih sekarang ada kamu di sampingku seperti ini."

Tanpa aba-aba Bima langsung menyenderkan kepalanya ke bahu Maudy. Ia bahkan mulai menggenggam tangan Maudy dan menciuminya.

'Dasar bedebah gila!' rutuk Maudy dalam hati.

"Sebenarnya siapa yang kamu pilih?" Maudy mencoba memecah suasana. Ia tidak ingin terus ditempeli oleh Bima.

"Maksudmu?"

Mendengar pertanyaan yang dijawab dengan pertanyaan lain membuat Maudy makin malas.

Ia melihat ke sekitar, hanya ada bodyguard dan asisten pribadi Bima.

"Aku atau Selly?"

Pertanyaan dari Maudy langsung membuat Bima tertawa seperti orang gila. Laki-laki yang biasanya terlihat berwibawa itu mendadak terlihat seperti orang gila baru.

"Hahaha .. kalau bisa pilih dua kenapa harus pilih salah satunya? Apa kau keberatan? Kalau keberatan .. itu artinya kau harus menunggu sampai Selly mengundurkan diri untuk mendapatkanku."

Maudy melengos lagi. Pemandangan di luar jendela pesawat jauh lebih enak dilihat ketimbang menghadapi laki-laki gila ini.

"Atau .. ayo kita menikah! Minggu depan? atau bulan depan? Kita tinggal atur tanggalnya saja."

Mendengar perkataan Bima membuat Maudy mengerutkan dahi. Ia ingin mengeluarkan segala rutukannya tapi sebisa mungkin tetap harus ia tahan.

"Gampang sekali kau mengajak seseorang untuk menikah. Apa menikah se-sepele itu? Apa pernikahan itu hanya permainan saja bagimu?"

Tanpa menjawab pertanyaannya, tiba-tiba Bima membawanya ke salah satu toilet.

BRAK.

Pintu toilet di dalam pesawat ditutup dengan kencang.

"Apa yang kau lakukan?" Maudy mulai panik. Bima mulai berulah lagi.

"Ayo kita lakukan sekarang!"

Maudy mendorong badan tegap Bima dan memaksa untuk keluar tapi kenyataannya tidak semudah itu.

"Menikah atau tidak menikah itu semua adalah permainan. Jadi .. ayo buat permainan yang menyenangkan, Maudy!"

"Aku tidak mau melakukannya di sini!" kata Maudy yang mulai berontak.

"Lakukan saja! Cepat buka bajumu!"

"Tidak Bima! Aku tidak ..."

Mulut Bima langsung membungkam bibir mungil Maudy. Menyisakan napas yang tersengal-sengal diantara keduanya.

"Kau gila ya!" bentak Maudy pada akhirnya saat Bima mulai membuka atasan yang dikenakannya.

Terlihat Bima hanya diam dan terlihat kaget dengan bentakan Maudy barusan. Namun Maudy tidak peduli. Ia langsung merapikan kembali pakaiannya dan keluar dari toilet.

Setelahnya, selama sisa perjalanan keduanya hampir tidak berbicara apa pun.

**

Satu minggu yang paling melelahkan dalam hidup Maudy akhirnya berlalu. Ia menunjukan rasa kesalnya kepada Bima dan memintanya agar tidak dulu menghubunginya.

Di dalam kamar apartemennya setelah pulang dari Singapura, Maudy mulai mencatat bukti-bukti dan fakta yang ia terima.

Selain itu ia juga berhasil menemukan fakta baru mengenai kelemahan Bima, yaitu diabaikan oleh orang didekatnya. Sekarang Maudy perlahan bisa mengontrol Bima lebih mudah dari yang ia pikirkan.

Tak lama ia mulai mencatat satu per satu dengan teliti. Tanpa terkecuali data list mengenai tempat-tempat dan orang yang harus ia temui untuk memperkuat bukti.

"Hotel Rafless ya? Oke .. aku akan ke sana hari ini juga."

Tanpa membuang waktu lebih banyak, Maudy menyiapkan dirinya untul pergi kw hotel itu. Sambil membawa bukti transaksi salah satu ruangan yang ia ambil dari ponsel Bima, Maudy mulai menutupi penyamarannya lagi.

Ia menggunakan wig dengan warna yang tidak mencolok dan tentu saja kaca mata andalannya.

Setelahnya ia juga harus bertemu dengan pengacara yang sudah Bredy siapkan untuknya.

"Perlahan tapi pasti kamu akan segera hancur Bima!" rutuknya.

Sambil berjalan meninggalkan kamar apartemennya Maudy terus memikirkan cara alternatif lainnya untuk membalas dendam suaminya.

**

Siang itu dirinya telah berdiri di dalam lobby sebuah hotel paling terkenal di kota itu. Matanya mengerjap-ngerjap saat perasaan aneh yang familiar mengusik dirinya hampir enam bulan lalu. Saat ia pertama kali masuk ke hotel ini untuk mengusut kasus kecelakaan suaminya.

"Boleh saya bertemu dengan Tuan Ankara?"

Si receptionist tampak sedikit kebingungan hingga melihat dan mengamati wajah Maudy berkali-kali.

"Maaf dengan siapa dan ada keperluan apa ya Nyonya?"

"Saya mendapat undangan dari Tuan Ankara." Maudy menunjukan undangan di ponselnya yang memang ia terima dari manajer hotel itu di malam hari sebelumnya.

Kesepakatan yang terjadi diantara keduanya tidak boleh sampai diketahui orang lain.

Tak lama kemudian, Tuan Ankara manajer Hotel Rafless itu muncul dari salah satu ruangan. Memberi kode pada Maudy untuk mengikutinya.

"Apa kabarmu Nyonya Maudy?"

"Saya baik, bagaimana dengan Anda?"

"Ah saya juga baik, sebelumnya saya ingin mengucapkan permintaan maaf saya atas kejadian yang menimpa suami Nyonya, Tuan Arga."

Maudy tidak menjawab dan hanya menundukan wajahnya, teringat kembali kejadian malang yang menimpa suaminya itu.

Sesampainya di sebuah ruangan, Tuan Ankara mempersilakan Maudy untuk duduk.

"Tuan .. Anda pasti sudah mengetahui maksud kedatangan saya kali ini."

Dilihatnya si manajer yang mulai gelisah namun tetap berusaha terlihat tenang.

"Suami saya bukan orang yang akan melakukan itu .. Anda pasti paham maksud saya."

"Ya .. saya juga meyakini hal itu Nyonya. Saya pernah bekerja dengan suami Nyonya lebih dari satu dekade dan suami Nyonya memang seorang yang sangat baik dan positif."

"Jadi .. ini pasti kekeliruan atau .. ada faktor kesengajaan yang ditutupi rapat-rapat."

Perkataan Maudy yang terkesan memojokan itu membuat Tuan Ankara angkat bicara.

Sejak awal, hanya Tuan Ankara-lah yang selalu membantu Maudy dalam memecahkan kasus suaminya. Walaupun Maudy tahu jika ada hal yang disembunyikan oleh pihak hotel.

"Nyonya .. jadi begini .. beberapa waktu lalu saya menemukan salinan rekaman CCTV pada lorong-lorong koridor yang diinformasikan tidak berfungsi. Jadi ..."

"Tolong berikan saya semua file itu .. saya akan membayar Anda untuk ini berapa pun yang Anda minta. Tolong saya Tuan Ankara!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status