"Bi .. Bima?" Seketika ia menyesal setengah mati karena kebodohannya dengan terlalu menonjolkan diri.
Laki-laki itu mengangguk santai, mengedik ke arah Maudy yang begitu shock melihatnya di Singapura. "Bagaimana kau bisa ada di sini, hm?" Maudy memikirkan banyak cara untuk menjawab pertanyaan Bima. Ia pun berpura-pura tidak terjadi hal apa pun selain hanya ingin pergi berlibur. "Aku hanya ingin berlibur .. itu saja," pungkasnya singkat sambil berjalan keluar kafe diikuti oleh Bima."Lalu kenapa kau bisa berada di sini? Kau bukan sengaja mengikutiku kan, Tuan Bima?" Mata Maudy berusaha memberikan penekanan agar Bima tidak mencurigainya. Sayang sekali yang di hadapinya adalah Bima, manusia yang hampir tak memiliki perasaan itu. "Kau terlalu percaya diri, Maudy.” Laki-laki itu terkekeh pelan sebelum melanjutkan kalimatnya.” Aku hanya mengikuti naluriku, dan voila … aku menemukanmu." Tanpa sadar keduanya telah berjalan menjauh dari keramaian. Maudy yang sadar ia telah terpancing masuk dalam perangkap Bima lantas buru-buru berpamitan. "Kalau begitu ... senang bertemu denganmu, Bima. Aku masih harus bertemu temanku. Semoga liburanmu menyenangkan."Kenyataannya tidak semudah membalikan telapak tangan. Bima menghentikan Maudy dan mengunci pergerakannya dengan memeluknya. "Bukankah kau terlalu terburu-buru?" bisik Bima tepat di telinga Maudy. "Siapa orang yang ingin kau temui itu? Seberapa penting dia buatmu?" lanjutnya. Pertanyaan Bima seketika membuat Maudy mati kutu. Ia tidak tahu lagi harus menjawab apa. Sedikit saja salah menjawab, tamatlah riwayatnya. Untuk itu, hanya satu jawaban yang sekarang ia pikirkan … membuat laki-laki itu mendapatkan apa yang ia mau terlebih dahulu."Apa kau ingin menghabiskan waktu denganku?"Bima mengangguk tanda setuju. “Kau memang gadis pintar, Maudy.”**Rumah bergaya modern classic itu langsung membuat Maudy terpesona, mengingatkannya pada rumah impian ia dan sang suami."Ini rumah keduaku. Bukan, tapi ketiga. Oh, atau keempat barangkali," ucap Bima sambil terkekeh. 'Kau cuma mau pamer saja kan, dasar cecunguk brengsek satu ini,' batin Maudy. Namun yang terucap dari mulutnya hanyalah kebohongan untuk berpura-pura mengagumi semua yang dibicarakannya. "Rumah yang unik dan megah .. suatu saat aku juga ingin tinggal di rumah yang seperti ini." "Nanti setelah kita menikah .. ini juga akan jadi rumahmu, jadi jangan khawatir Maudy!" Mendengar perkataan Bima barusan membuat Maudy hampir tersedak. Ia hampir saja akan berkata kasar dan merutuk sebelum akal sehatnya kembali lagi menguasai dirinya. Bagaimanapun juga, malam ini ia harus membuat Bima menceritakan banyak hal kepada Maudy agar segala informasi yang dibutuhkan dalam rencananya dapat berjalan lancar. Sambil melihat Bima menyiapkan segelas cinnamon tea hangat, Maudy merasa jika di balik sifat brengsek dan kejamnya, ternyata Bima terlalu mudah untuk membuka diri pada orang baru seperti Maudy. "Kau sudah lama bekerja untuk Sunday Media? Aku tahu jabatanmu sangat penting untuk perusahaanmu. Itu kenapa kau datang padaku begini kan?" Dengan berpura-pura untuk malu-malu, Maudy hanya mengangguk merespons pertanyaan Bima. Ia ingin menggali informasi pribadi dari Bima. "Kau .. pasti sudah bosan dengan taktik pasaran ini, kan? Sejujurnya aku memang mendekatimu untuk alasan bisnis tapi, secara pribadi aku juga seorang penggemar CEO Bimara Group sejak dulu." Tak percaya dengan apa yang Maudy katakan, Bima langsung salah tingkah. Ia merasa sudah dipuji habis-habisan kali ini. "Aku tidak menyangka jika kau mengagumiku, tapi tentu saja tidak semudah itu untuk mendapatkan perhatianku, bukan?" Maudy tersenyum kikuk. Jauh di dalam hatinya ia ingin sekali meninju dan memaki-maki laki-laki brengsek yang ada di depannya ini. "Ya, aku memang mengagumimu sejak masih kuliah. Dulu aku punya teman dekat yang juga mengagumimu. Jadi kurasa aku akan punya saingan yang berat, tapi ternyata dia tidak mendapatkan hasil sebaik aku." Bima terlihat diam dan seperti sedang memikirkan sesuatu. Maudy terus memancingnya untuk bercerita lebih banyak lagi mengenai masalah pribadinya. "Aku juga pernah menyukai perempuan yang sama dengan teman dekatku."Maudy berusaha untuk menyembunyikan senyuman di wajahnya. Ia tahu ini akan berhasil."Wah .. perempuan itu pasti sangat beruntung ya? Aku jadi iri, siapa perempuan itu?" Tanpa disangka reaksi Bima mendadak berubah. Ia seperti menahan amarah yang dalam saat Maudy berusaha untuk menanyakannya. Maudy berpikir setelah ini ia akan mendapat masalah besar. "Ma- maaf .. jika ini menyinggungmu, aku tak bermaksud ..." "Dia sudah mati! Ada yang membunuh perempuan yang sangat aku cintai itu. Dan ... dia adalah teman dekatku sendiri." Jantung Maudy terasa tertumbuk. Ia hampir terlonjak kaget sebelum akhirnya ia menguasai dirinya lagi. Maudy teringat kembali jika suaminya dan Bima pernah menjalin hubungan pertemanan yang sangat dekat sewaktu kuliah. Ia juga tahu jika Bima selalu berusaha menjatuhkan suaminya untuk alasan yang rasanya tidak masuk akal. 'Apakah ini alasannya? Lalu siapa perempuan itu sebenarnya?' batin Maudy. Melihat perubahan Bima yang begitu berbeda, Maudy perlahan mendekat. Ia berusaha menghibur Bima yang terlihat masih terpukul kala mengingat kenangan tentang ‘wanita’-nya itu.“Maafkan aku, aku berjanji aku tidak akan menanyakan hal itu lagi.”Namun keberuntungan tidak serta merta bersama Maudy. Sebuah amplop berwarna peach yang ia dapat dari novel suaminya itu terjatuh dari kantong bajunya. Sial, Bima juga memergoki kertas tersebut. Laki-laki itu mengerutkan dahi dalam, dan menatap Maudy dengan tatapan mengintimidasi."Kertas apa ini?"Tatapan intimidasi dari Bima itu cukup membuat Maudy panik. Ia bahkan tidak ingin rencananya gagal secepat ini.Dengan segera Maudy berusaha untuk memungut kertas itu lebih dulu. Ia seperti sedang berlomba dengan Bima yang terlihat akan mengambilnya juga."Bukan apa apa .. ini hanya surat dari salah satu brand langgananku," Maudy perlahan mulai meremas surat itu seperti sesuatu yang tak penting."Mereka memberiku voucher eksklusif," lanjutnya."Buang saja .. aku bisa membelikanmu apa pun. Kau mau apa? Chann*l, B*lgari, atau D*or? Katakan saja."Maudy menghempaskan napasnya lega. Ia tidak percaya jika Bima akan semudah itu percaya padanya."Oh bukan .. bukan begitu. Tapi ya .. ini tidak begitu penting juga. Omong-omong siapa wanita yang sangat kau kagumi itu?"Pertanyaan Maudy membuat Bima mendelik seketika. Sedari tadi laki-laki itu seperti sedang menahan diri untuk tidak bercerita lebih banyak. Namun wajah muramnya yang seperti matahari tenggelam itu lebih kentara dari apapun. Maudy
Maudy mematung seketika. Ia mendadak percaya jika Bima adalah seorang stalker handal. Bagaimana bisa ia selalu berada di tempat yang sama dengan Maudy?"Aku baru saja menjenguk temanku, lalu .. kenapa kamu ada di sini?" tanyanya sambil berjalan meninggalkan area depan ruangan suaminya. Maudy tidak boleh sampai ketahuan. Rencananya bisa hancur seketika jika laki-laki yang dibencinya ini tahu."Aku juga mengunjungi temanku, lalu ..."Belum selesai perkataan Bima, Maudy sudah berlalu dengan agak tergesa-gesa."Hey .. mau kemana? Tunggu aku!"Susah payah Maudy tetap mencoba untuk keluar dari are rumah sakit ini. Hal sekecil apa pun tidak boleh sampai ketahuan."Maaf aku sedang buru-buru untuk pulang.""Kau mau pulang ke Jakarta kan? Bagaimana kalau kamu pulang bersamaku?"Maudy melengos setengah kesal. Ia hampir tidak bisa menghindari Bima di manapun dirinya berada."Kau mau kabur lagi? Apa aku harus berbuat sesuatu untuk menghentikanmu? Akhir-akhir ini kamu terlihat mencurigakan."DEG.M
"Maaf Nyonya .. tapi ini berkaitan dengan posisi saya di hotel ini, jadi saya ....""Tolong saya Tuan Ankara.. saya bisa menjamin keamanan Anda. Saya mohon..."Tak ada cara lain yang bisa Maudy lakukan selain memohon kepada si manajer. Ia tahu jika dahulunya Tuan Ankara telah menjalin hubungan yang baik dengan suaminya."Baiklah ..."Suara Tuan Ankara seperti oase bagi Maudy. Kedua tangan mungilnya menggenggam tangan Tuan Ankara dan mengucapkan terima kasih.Ia sangat bersyukur bahwa Tuan Ankara merupakan rekan baik suaminya. Namun Maudy lebih bersyukur jika kasus kecelakaan suaminya terungkap dan Bima dijebloskan masuk ke penjara. Itu saja.Sehabis menemui manajer Hotel Raffles, Maudy memutuskan untuk melihat lokasi kejadian kecelakaan suaminya, Arga. Sebuah ruangan VVIP yang biasanta hanya disewakan untuk acara-acara penting pejabat.Terlihat dari pintunya yang mewah bergaya klasik dan warna-warna kontras emas yang digunakan telah menambah kemegahan ruangan itu.Satu langkah kakinya
BRUK.Bima yang sempoyongan langsung terjatuh. Maudy dapat mencium dari baunya jika Bima sangat mabuk dan hampir tidak sadarkan diri.'Merepotkan saja!'Dengan susah payah ia berusaha mengangkat badan Bima ke atas sofa ruang tamunya. Entah apa yang ada dipikirannya, Maudy hanya ingin melihat Bima hancur namun ia juga tidak ingin Bima datang kepadanya seperti ini."Sialan! Semuanya sialan! Awas kau Arga! Aku akan mencarimu dan membuatmu tidak akan pernah bangun lagi! Selamanya!" teriak Bima secara tiba-tiba.Maudy sudah mengepalkan tangannya, bersiap untuk menghabisi laki-laki brengs*k ini. Namun lagi-lagi akal sehatnya kembali. Ia tidak boleh bertindak gegabah.Maudy merapatkan posisinya di sebelah Bima. Menggenggam tangannya untuk memperlihatkan jika ia peduli. Walaupun dalam hatinya tentu saja berbanding seratus delapan puluh derajat."Arga? Siapa dia?"Bima bergumam tak jelas mengatakan apa. Dia justru menarik badan Maudy agar berada di pelukannya."Dia manusia brengs*k! Bukan .. di
"Jika kau memang lajang .. menikahlah denganku Maudy!"Kedua tangan Bima mencengkeram erat bahu Maudy, menggoncangkannya agar Maudy menuruti apa yang ia mau.Maudy langsung tersadar jika ia tidak boleh lengah. Permintaan gila dari Bima itu harus ditolaknya dengan banyak alasan yang logis.Bagaimana pun juga ia harus tetap mendapat kepercayaan dari Bima agar semua sisi buruk Bima dapat ia korek lebih dalam."Aku akan menepis berita fitnah itu dan mengembalikan kejayaan perusahaanku .. juga nama baikku," Bima terus menatap Maudy dengan tatapan dalam.Maudy terus memberontak dan berusaha melepaskan diri. Semua perkataan sampah yang Bima ucapkan sudah seperti tuas bom yang siap membuatnya meledak kapan saja."Aku sudah menyerah untuk mendekatimu dan mendapatkan kontrak untuk perusahaanku. Lagipula .. sudah tidak tersisa berita baik untukmu."Maudy mendorong Bima jauh darinya. Dalam suasana genting itu terlihat Bima yang seperti sedang menahan amarah dan kekesalan yang mendalam."Jadi ini
Karen dan Bredy saling bertatapan, menunggu seseorang dengan canggung. Asisten pribadi dari masing-masing Maudy dan Arga itu sama sekali tidak tahu-menahu jika Maudy telah mengatur pertemuan untuk mereka bertiga."Sudah lama sekali kita tidak bertemu," ucap Bredy canggung."Ya .. sudah lama sekali."Karen hanya menjawab sesuai porsinya. Hubungan kedua asisten pribadi ini memang kurang begitu baik. Keduanya dulunya adalah sepasang kekasih yang tidak bisa bersama lagi.Melepas segala rasa canggung yang ada, Maudy datang tepat pada waktunya. Tak lupa untuk menyembunyikan penyamarannya pada Bredy, ia selalu menggunakan wig hitam yang mirip dengan model rambut aslinya."Kalian berdua sudah lama?"Karen dan Bredy kompak menggeleng dan berebut untuk menjawab pertanyaan sang Nyonya."Tidak .. maksud saya belum lama Nyonya."Maudy menatap keduanya. Ia teringat kembali dengan cerita dari suaminya mengenai Karen dan Bredy."Tidak usah canggung begitu .. hari ini kita akan membicarakan kemajuan p
"Kenapa kamu segila ini? Aku sudah tidak ada urusan lagi denganmu, lagipula perusahaanmu mengalami loss yang sangat banyak. Kurasa aku tidak membutuhkanmu lagi," ketus Maudy.Tak lupa tangannya sibuk mendorong badan laki-laki yang dibencinya itu agar keluar dari apartemennya.Bima tersenyum simpul. Sambil membalikkan badannya menuju pintu, ia mengucapkan kalimat dengan sangat yakin, "kamu tidak akan bisa lepas dariku Maudy! Aku akan anggap ini sebagai istirahat bagimu tapi .. aku akan terus berusaha untuk mendapatkanmu. Suatu saat kau akan jadi istriku!"BRAK.Pintu dibanting cukup keras, menyisakan perasaan tak karuan pada benak Maudy. Ia berpikir jika dirinya mungkin saja terlalu ceroboh dan terburu-buru.Akibatnya mau tidak mau Maudy harus membuat rencana baru untuk menghancurkan Bima.Dalam keputusasaan itu dirinya berdoa agar suaminya cepat sadar dari koma-nya.Sambil terduduk di lantai yang dingin dan memeluk lututnya sendiri, Maudy mengingat lagi awal mula dirinya ingin sekali
Sebelum meninggalkan apartemennya, Maudy mengamati dirinya lagi di depan cermin.Ada perasaan campur aduk saat melihat penampilannya sekarang yang terlihat sangat menyedihkan. Rambut berwarna fuchsia dan filler bibir yang menempel pada wajahnya sekarang sangatlah terlihat bodoh."Aku akan kembali menjadi Maudy yang dulu."Sambil bergegas keluar ia kembali menghubungi Bredy, memintanya agar menjemputnya beberapa jam lagi karena Maudy akan pergi ke salon langganannya terlebih dahulu.**"Rambut Anda sangat indah Nona .. apakah Anda yakin ingin mengubahnya menjadi hitam?" tanya salah satu karyawan di salon paling terkenal itu."Ya aku yakin, tolong hilangkan semua warna fuchsia pada rambutku yang memusingkan mata ini."Si karyawan sedikit tergelak. Maudy masih senyum-senyum sendiri saat suster yang ia sewa untuk menjaga suaminya tiba-tiba menghubunginya melalui panggilan video. Terlihat sosok Arga, suaminya yang sedang terduduk sambil sedikit kebingungan.Tanpa sadar Maudy meneteskan air