Share

Prince from Another World (Indonesia)
Prince from Another World (Indonesia)
Penulis: Tia Kim

Bab 1. Bukan Hidup yang Kuinginkan

Surga.

Begitulah kiranya kata yang bisa menggambarkan suasana di sini. Indahnya padang rumput yang hijau dan langit biru yang cerah, disertai dengan bunga-bunga bermekaran bak permadani berwarna-warni. Kuning, merah, dan ungu, semuanya berbaris rapi sesuai dengan warnanya masing-masing.

Di tengah potret indahnya tempat ini terlihat seorang pemuda berpakaian tradisional Korea (Hanbok) berdiri menghadap ke belakang, dengan dua tangannya diletakkan di belakang pinggangnya. Pakaian yang dikenakannya berupa kemeja panjang (Sokgui) berlengan lebar bewarna biru muda dilapisi dengan rompi (Jeogori) berwarna biru tua yang dihiasi dengan berbagai macam corak nan indah, dilengkapi dengan celana panjang (Baji) berwarna abu-abu. Jahitannya sangat rapi dan kainnya terlihat sangat halus dan mengkilap, seperti terbuat dari kain sutera.

Tubuhnya tegap dan tinggi dengan perawakan yang tidak terlalu besar. Terlihat rambutnya yang hitam panjang, sangat indah menjuntai sampai ke punggung, dengan sebagian rambutnya diikat ke atas. Di atas kepalanya terdapat sebuah hiasan kepala berukuran kecil yang terbuat dari emas, tampak seperti sebuah mahkota.

Dari penampakannya itu, apakah... ia adalah seorang pangeran dari sebuah kerajaan? Mengapa ia hanya berdiri diam dan tidak menunjukkan wajahnya? Ah... tapi dilihat dari belakang saja, sudah bisa ditebak bahwa ia pasti berparas tampan.

Angin pun berhembus lembut... Rambut pemuda itu bergerak mengikuti permainan angin. Dengan perlahan-lahan, ia pun mulai memalingkan kepalanya ke belakang dan terlihatlah wajahnya yang tersembunyi di balik rambutnya yang indah itu.

Seperti dugaan... ia sangatlah tampan! Kulitnya putih bersih, bibirnya berwarna merah jambu, bentuk hidungnya sempurna, dan garis wajahnya tidak terlalu tegas. Dan yang terpenting dari semuanya adalah matanya yang menawan dan memancarkan sinar kelembutan.

Ia pun tersenyum... dan senyumannya sungguh sangat mempesona. Siapapun yang melihatnya pasti akan menyetujui bahwa senyumannya itu terlihat sangat indah. Selaras dengan indahnya pemandangan yang mengelilinginya pagi itu.

Namun tiba-tiba terdengarlah suara yang sangat berisik, merusak suasana hening dan indah pagi itu. Suara itu terdengar seperti... Doraemon?

"Ayo bangun! Bangun! Sudah pagi! Ayo bangun! Bangun! Sudah pagi! Ayo bang-"

Yura meraih telepon selulernya yang diletakkannya di atas meja dekat tempat tidurnya dan bergegas mematikan alarm Doraemonnya. Ia membuka mata perlahan-lahan sambil mengernyitkan alis karena silaunya matahari pagi yang menembus jendela kamarnya di lantai dua. Masih terbaring, ia pun terdiam sejenak mengumpulkan kesadarannya. Lalu tiba-tiba ia teringat akan mimpi yang ia alami sebelum terbangun.

"Ah... kenapa harus terbangun saat mimpi sedang indah-indahnya?" keluhnya sambil menghela nafas. Ia pun bangkit dari tempat tidurnya dan membuka pintu, lalu turun dari kamarnya ke lantai bawah.

"Pagi. Cepat mandi lalu sarapan." Ibu Yura menyambutnya sambil menyiapkan sarapan.

Ibunya berusia 49 tahun, seorang wanita berperawakan sedang dengan rambut sebahu yang biasa ia ikat ke belakang. Tampak garis-garis keriput menghiasi wajahnya. Parasnya cantik namun kulitnya tidak terawat dengan baik, menandakan ia seseorang yang bekerja keras.

Yura pun berjalan menuju ke kamar mandi.

Selesai mandi, ia bersiap-siap di kamarnya. Ia mengenakan baju kaos lengan pendek berwarna putih dan celana jeans longgar berwarna biru tua. Ia berdiri di depan cermin dan mengikat rambut coklatnya yang sepunggung panjangnya ke belakang, menyisakan sebagian poni sampingnya menjuntai di wajahnya. Ia merias wajahnya dengan riasan yang sangat tipis. Karena ia bukanlah tipe pesolek dan gadis trendi, ia lebih suka berdandan kasual dan apa adanya.

Yura sebenarnya adalah seorang gadis yang bisa dikatakan cantik. Matanya berwarna coklat gelap dengan bulu mata yang panjang dan ukuran mata yang terbilang cukup besar. Hidungnya kecil dan mancung, bibirnya mungil dengan bentuk wajah yang oval, dan kulitnya putih cerah. Dengan tinggi badan 165 cm, ia memiliki proporsi tubuh yang ideal. Usianya 26 tahun. Wajahnya bisa dikatakan sesuai usianya, tidak terlihat  terlalu muda ataupun terlalu tua.

Yura pun turun ke lantai bawah menuju meja makan yang di atasnya sudah tersedia makanan untuk sarapan. Di sana sudah duduk ibu dan adik laki-lakinya yang mengenakan seragam sekolah. Ia memilih duduk di bangku depan adiknya.

Adiknya berusia 16 tahun, masih duduk di bangku SMA. Adiknya memiliki sifat yang tengil. Kulitnya agak kecoklatan karena terlalu sering bermain dii luar, dan rambutnya berpotongan cepak.

"Ah, Ibu... Sayur lagi. Mana dagingnya?" celetuk adiknya. Sifatnya memang seperti itu, tengil.

"Kau ini harusnya bersyukur masih bisa makan! Kau pikir daging itu murah?" Ibunya menepuk kepalanya dengan cukup keras.

"Yeonsu, makanlah apa yang ada. Sepertinya kau harus berhenti menonton video-video makanan di internet itu." Yura membela Ibunya. Yeonsu pun memasang wajah masam sambil terus makan.

Keluarga mereka bukanlah keluarga yang berkecukupan. Yura hanya tinggal bertiga dengan ibu dan adiknya. Ayahnya sudah lama meninggal. Sejak saat itu ibunya menjadi tulang punggung keluarga dengan bekerja berpindah-pindah tempat sampai akhirnya sekarang bekerja di sebuah kedai mie. Setelah lulus SMA, Yura pun membantu ibunya bekerja. Ia pernah bekerja sebagai pelayan restoran, menjual produk kesehatan di jalan, dan menjadi petugas kebersihan di kantor. Semua dilakukannya demi keluarga kecilnya itu.

Selesai sarapan, Yura mengenakan sepatu kets putihnya di dekat pintu keluar.

"Bu, aku berangkat!" Yura berpamitan. 

"Ya, hati-hati di jalan!" Ibunya menimpalinya.

Seperti hari-hari biasanya, ia berjalan kaki menuju halte bus dan menaiki bus menuju tempat kerjanya. Di dalam bus, ia hanya memandangi jalanan di luar sana sambil berpikir. Ia sudah mulai jenuh dengan kehidupannya sekarang. Sepertinya kehidupannya tidak mengalami kemajuan sama sekali meskipun ia telah bekerja keras. Ia jadi menyimpulkan bahwa kadang bekerja keras pun belum tentu mampu membuatnya mencapai kehidupan yang diinginkan.

Saat bus berhenti di halte selanjutnya, seorang lelaki muda menaiki bus. Pakaiannya rapi dengan kemeja dan celana panjang kain, rambutnya klimis disisir ke arah belakang. Ia memilih duduk di deretan bangku depan Yura.

Di belakang lelaki tadi, terdapat seorang wanita muda yang juga baru menaiki bus. Yura memperhatikan wanita itu. Ia mengenakan setelan kemeja yang sangat rapi dan rok selutut, dandanannya sangat cantik dan feminin, sesuai dengan busana yang ia kenakan.

Saat akan duduk di bangku depan sebelah kanan Yura, wanita itu tidak sengaja menjatuhkan telepon seluler yang dipegangnya. Lelaki yang duduk di depan Yura itu pun membantunya mengambil telepon seluler itu. Wanita itu mengucapkan terima kasih kepada si lelaki sambil kedua-duanya tersenyum.

Yura terus mengamati wanita itu secara diam-diam. Dilihatnya wanita itu diam-diam mencuri pandang kepada si lelaki tadi. Bergantian dilihatnya pria itu dari belakang. Meskipun tak terlihat ke mana arah pandangan matanya, lelaki itu jelas-jelas menoleh sedikit beberapa kali ke arah wanita tersebut.

Ah... drama apalagi yang aku lihat pagi ini? Norak sekali, batin Yura.

Sebagai seorang yang masih sendiri di usianya yang sekarang, ia menjadi tiba-tiba merasa muak melihat hal-hal romantis yang terjadi di sekelilingnya. Menurutnya hal itu sangatlah norak. Ia belum pernah merasakan cinta lawan jenis yang sesungguhnya. Karena itulah sifatnya juga menjadi agak keras.

Sesampainya di halte tujuan, ia pun turun dari bus dan berjalan ke tempat kerjanya. Ia berhenti di depan sebuah gedung dan melihat ke dalam gedung itu... Di depannya tampak sebuah minimarket dengan papan nama di atasnya bertuliskan GS27. Ya, di situlah tempatnya bekerja. Ia menghela napas kemudian berjalan masuk.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status