Share

4. Kehidupan Baru

"Maaf kalau rumah saya kecil, Non."

Bi Weni mempersilakan Lila memasuki rumahnya yang asri. Selepas pengusiran oleh Erik yang dengan teganya tidak membiarkan Lila membawa apa pun, termasuk mobil juga baju-bajunya … Weni mengajaknya tinggal di rumah wanita itu.

Lila yang dahulu memiliki kemudahan dalam segala hal, kini telah kehilangan semua hanya karena pria licik dan kebodohannya yang terlalu percaya.

“Tidak, Bi. Justru aku berterima kasih karena Bibi mau menampungku,” sahut Lila tersenyum tipis. “Dan tolong, jangan panggil aku Nona lagi, Bi. Aku bukan lagi majikan Bibi.”

Rasa tidak enak hati Lila bertumbuh pesat. Panggilan Nona dari Weni membuatnya tidak nyaman.

“Baiklah, kalau begitu. Semoga Nak Lila bisa betah di rumah Bibi, ya,” sahut wanita tua itu ramah.

Lila mengangguk, haru. Dia bersyukur masih ada Weni yang begitu setia meski kini dia tidak memiliki apa-apa.

Mulanya, Lila bersikeras menolak penawaran Weni untuk tinggal di rumah wanita itu. Dia takut, jika keluarga Weni terbebani. Terlebih jika mereka tahu skandal dan berita viral itu.

Namun, Weni terus memaksa dengan dalih balas budi atas kebaikan Ayah Lila. Tidak enak menolak, juga tidak punya pilihan lain untuk pergi … akhirnya Lila pun bersedia mengikuti Weni pindah ke pinggiran Ibu Kota.

“Lila janji, Lila akan cari pekerjaan secepatnya, Bi!” ujar Lila dengan semangat di binar matanya.

**

Tiga bulan sudah Lila tinggal di rumah Weni, kegiatan wanita yang semula memiliki jabatan mentereng di kantor itu berganti. Sudah tidak terhitung berapa kantor dan CV yang dia sebar untuk melamar kerja.

Namun, tidak satu pun panggilan dia dapatkan, termasuk hari ini.

“Bagaimana hasilnya, Lil?” 

Weni, sang suami dan putrinya menyambut kepulangan Lila dengan antusias. Berbanding terbalik dengan ekspresi lesu Lila dan gelengan kepala gadis itu.

“Belum berhasil,” katanya dengan nada lelah.

Tidak tega melihat wajah Lila yang murung, Weni lantas menghampiri dan mengajak gadis itu untuk duduk.

“Tidak apa-apa, Nak. Mungkin bukan rezekimu, Lila.” Wanita tua itu mengusap-usap bahu Lila. Dia menatap sang suami dengan tatapan ragu. “Sebenarnya, tadi ada yang tawarin Ibu kerjaan, Pak. Tapi, Ibu tolak karena jaraknya cukup jauh.”

Mata Lila melebar. Seketika, dia antusias kembali. “Di mana, Bu? Apa boleh, aku yang bekerja di sana?” tanyanya penuh harap.

“....” Weni tidak langsung menjawab. Dia kembali bertukar pandang dengan sang suami. Ada raut keraguan di matanya.

“Bu?” panggil Lila lagi, penasaran.

Weni melihat tatapan penuh harap dari anak angkatnya itu. "Tapi pekerjaan ini tidak cocok buat kamu, Lil."

Lila seketika memberengut. "Kenapa tidak cocok, Bu? Apa karena aku tidak punya keahlian lain?” tanyanya lagi.

"Bukan begitu, Lil. Tapi ini pekerjaan sebagai pembantu," jawab Weni. “Ibu tidak tega menawarkannya ke kamu.”

Sesaat, Lila terhenyak. Sungguh pekerjaan yang jauh dari kebisaannya. 

Di kehidupannya yang baru ini, Lila memang bisa dikatakan tidak memiliki keahlian yang bisa dia jual. Dia tidak pandai menjahit atau menyulam seperti gadis-gadis pada umumnya.

Melakukan pekerjaan rumah pun masih perlu koreksi dan panduan dari Weni. Selama ini, dia tidak pernah sekalipun mencuci piring, mencuci baju dan menjemurnya.

Namun, meski tahu diri kemampuannya masih pas-pasan, Lila yang memiliki semangat untuk mendapatkan penghasilan itu lantas tersenyum ke arah Weni.

“Tidak apa-apa, Bu. Aku mau. Tolong beri tahu aku di mana tempatnya.”

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status