Share

3. Hilangnya Hal Paling Berharga

Usai sidang putusan perceraian, Lila kembali ke rumah. Dia yang sudah lelah fisik dan mental nyatanya belum bisa beristirahat mana kala disambut beberapa pelayan di rumahnya yang telah berbaris rapi di ruang tamu.

“Kalian … mau ke mana?” tanya Lila, sebab dia melihat ada jejeran koper tidak jauh dari para pelayan berdiri.

Mereka saling lempar pandangan, menyuruh salah satu untuk menjadi juru bicara.

Tidak lama berselang, sopir kepercayaan Ayah Lila maju selangkah, lalu berkata, “Maaf sebelumnya, Non.” Pria tua dengan kumis tebal itu memandang rekan-rekannya. “Kami semua sepakat mau mengundurkan diri,” lanjutnya kemudian.

“Apa?” Tentu saja Lila terkejut. Sebab, sebelum hari ini, dia tidak menemukan satu tanda pun terkait masalah yang membuat mereka tidak betah. “Tapi, kenapa, Pak?”

Pria itu terlihat sedikit ragu, tetapi kemudian tetap melanjutkan … “Kami sudah tidak merasa nyaman bekerja di sini. Apalagi, setelah skandal tentang Nona tersebar,” akunya tanpa berani melihat Lila.

Di tempatnya, wanita itu kehilangan kata-kata. Memang, kasus perceraian dirinya dan Erik yang tidak biasa itu sempat viral di media sosial.

Meski tidak menyebutkan informasi detail, tetapi ada beberapa petunjuk yang langsung mengarah pada Lila, anak dari salah satu konglomerat ternama di Ibu Kota.

“Tapi, skandal itu bahkan tidak benar, Pak.” Mereka semua terdiam sembari menundukkan pandangan. Lila berdecak, mengacak rambutnya karena frustrasi. “Tapi, kalau itu memang sudah keputusan kalian, apa boleh buat. Tunggu sebentar.”

Baru berjalan beberapa langkah, suara sopir ayahnya kembali terdengar.

“Maaf, Non. Tapi kami tidak meminta pesangon. Bagi kami, keluar dari sini sudah cukup.”

Terus terang, Lila merasa tersinggung mendengar kalimat itu. Dengan menahan decakan, sambil mencoba menjaga ekspresinya … dia menoleh.

“Saya tidak mau punya hutang, Pak.” Lila berujar tegas. “Mungkin kalian tahu kalau kami sudah tidak sekaya dulu, tapi saya masih sanggup membayar gaji kalian bulan ini.”

Setelah itu, Lila beranjak menuju kamarnya. Dia membuka brankas yang berisikan uang tunai, dan merapikannya sesuai dengan jumlah pelayan yang akan mengundurkan diri.

Kemudian, wanita itu kembali ke hadapan para pelayan dan memberikan gaji juga pesangon terakhir. Namun, di saat semua pelayan menerima sodoran amplop tersebut dan langsung pergi dari rumah, ada satu pelayan yang menolak. Pelayan itu bahkan berdiri paling ujung, dengan menjaga jarak dari yang lainnya.

“Ada apa, Bi Weni? Bibi tidak mau menerima ini?” tanya Lila.

Weni menggeleng. Tatapan pelayan paruh baya yang sedari bayi mengurusnya itu terlihat sendu. “Tidak, Non. Saya akan tetap di sini. Non Lila tidak perlu gaji saya. Saya ikhlas bantu Non ngurus Bapak. Saya juga yakin, Non tidak bersalah.”

Ada ekspresi senang kala mengetahui salah satu orang terdekatnya tidak meninggalkannya. Satu tetes air mata lantas turun dari mata Lila.

“Terima kasih, Bi.” Dengan rasa haru, Lila memeluk tubuh Weni.

Seolah tanpa jeda, dering ponsel Lila kemudian terdengar nyaring di antara suasana sepi dan sendu.

Melihat nama penelepon yang merupakan rumah sakit tempat ayahnya dirawat, ekspresi Lila kini berubah menjadi tegang.

“Iya, ada apa?” Beberapa detik kemudian, gadis itu menjerit hebat dengan tubuh yang meluruh. “AYAHHH!!”

Kabar duka kembali Lila terima. Setelah perceraian, ditinggal orang kepercayaan, kini satu-satunya orang yang dia punya pun kini meninggalkannya seorang diri.

Dunianya hancur. Semangat hidupnya praktis layu. Beruntung, Weni terus menerus di sisinya.

Pemakaman ayahnya diadakan keesokan hari, dalam keadaan sepi pelayat, tetapi banyak sorot lampu kamera yang hanya meliput berita duka, tanpa memberikan rasa empati mereka pada Lila.

Namun, kesialan gadis itu masih berlanjut. Ketika jenazah ayahnya baru saja dikebumikan dan dia kembali ke rumah … Erik dan Sandra menghadangnya di pintu masuk.

“Rumah ini sudah jadi milikku. Pergilah dari rumah ini!” usir Erik dengan mengarahkan telunjuknya ke arah Lila.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status