Share

9. Ajakan Makan Malam

"Sabar, Lila. Kamu udah biasa diusir sama Pak David," gumam gadis itu sembari mengelus dada.

Lila berjalan pergi sembari membetulkan posisi tasnya yang melorot. Dia meninggalkan apartemen sang majikan dingin bersama ibunya.

"David, apa kabar, putraku?" Helena memeluk putra tunggalnya dengan hangat.

"Baik, Mah," jawab sang putra datar.

Helena tersenyum lembut. "Kamu masih tak berubah."

"Ada apa Mamah ke sini?" tanya David saat sang ibu sudah melepaskan pelukan. Pria itu mengajaknya duduk di ruang tamu.

"Kok kamu tanyanya begitu, sih? Mamah kangen sama kamu," jawab Helena masih tersenyum.

Sunyi sejenak sebelum David beranjak dari duduknya. "Mamah mau minum apa?" tanya pria itu.

Wanita paruh baya itu menahan lengan putranya. Dia menggeleng pelan sebagai jawaban atas tawaran David.

"Nggak usah repot-repot, David. Mamah cuma mau berkunjung sebentar."

David memilih duduk kembali di samping sang ibu. Wanita itu pun mengeluarkan ponselnya dan sejenak menggeser-geser layar pipih tersebut.

"Ada yang mau Mamah bicarakan padamu," tuturnya lembut.

David memilih diam menyimak. Pria itu mencoba menebak apa yang akan ibunya minta darinya. Helena pun kembali menoleh menatap putranya dan meletakkan ponselnya di atas meja kaca yang tampak mengkilap berkat kerja keras Lila.

"Nanti malam datanglah makan malam. Papah juga mau bertemu denganmu," ucapnya dengan senyuman tipis.

"Mamah mohon, David. Sesekali pulanglah ke rumah. Toh besok juga hari libur. Sudah lama kan kamu tidak pulang? Mamah rindu kamu pulang ke rumah mengunjungi kami dan menghabiskan waktu bersama kami," papar Helena penuh harap.

Terdengar helaan napas pelan dari sang putra. David menautkan jari-jari tangannya. "Maaf, Mah. Tapi selama ini aku sibuk bekerja. Jadi tidak ada waktu," jawabnya dengan ekspresi datar.

"Tapi untuk nanti malam bisa, kan?" tanya Helena lagi. Wanita itu masih mencoba membujuk putra semata wayangnya.

"Hahhh. Baiklah. Akan aku usahakan."

"Terima kasih. Mamah harap kamu datang," ucap Helena lagi. David merasa ada sesuatu yang tengah direncanakan oleh sang ibu.

"Oh iya." Tangan ramping Helena kembali meraih ponselnya. Wanita itu lagi-lagi menggeser layar.

"Mamah mau memperkenalkan kamu sama anak temen Mamah," papar Helena.

David sudah menduganya. Sang ibu pasti akan membahas tentang pernikahannya.

"Lihatlah! Cantik, bukan?" Wanita itu menunjukkan layar ponselnya ke arah sang putra.

David menatap sekilas foto seorang gadis yang ditunjukkan dengan malas. Sungguh baginya pembicaraan seperti ini tak akan ada habisnya.

"Ya," jawab pria itu singkat tak berminat.

Helena menghela napas. "David, lihat dulu dengan benar. Ini anak temen Mamah. Namanya Tiara. Dia anak lulusan S2 di Amerika. Dia juga seorang model. Kamu pasti suka. Cantik loh ini. Dia juga berbakat di dunia modeling," papar wanita paruh baya tersebut tampak bangga.

Kali ini David yang bergantian menghela napas. "Mah, bukankah kita sudah sering membicarakan hal ini? Aku belum mau menikah, Mah. Perusahaanku juga masih perlu pengembangan," tolaknya secara halus.

Helena menatap wajah putranya. David itu sempurna akan kerampanannya. Rambutnya hitam legam dan dia memiliki iris mata sedikit kecokelatan. Hidungnya mancung dan rahangnya tegas. Apa lagi bahunya lebar dan kokoh. Ditambah kecerdasan pria berusia tiga puluh tahun itu yang tak dapat diremehkan lagi.

"David, dengerin Mamah." Helena merubah posisi ditubuhnya menghadap sang putra.

"Usia kamu sudah tiga puluh tahun, David. Usia yang sudah cukup matang untuk berumah tangga," papar Helena. Wajahnya berubah sendu saat sang putra lagi-lagi menolak untuk membahas pernikahan.

"Usia Mamah sama Papah juga sudah tak muda lagi. Jadi, Mamah harap kamu mau menikah. Coba kenalan dulu dengan Tiara. Dia anak yang baik dan berpendidikan." Helena mencoba membujuk.

David menatap wajah penuh harap dari ibu kandungnya.

"Coba saja kenalan dulu, ya? Mamah yakin kalian cocok, kok. Kamu tampan dan Tiara ini cantik. Ya, David?" bujuk Helena lagi. Namun di telinga David bujukan tersebut terdengar seperti desakan.

Suasana sore itu membuat David merasa tak nyaman. Dia tak suka pembahasan tentang pernikahan.

"Mamah tahu kamu masih belum bisa melupakan mantanmu itu. Tapi mantanmu itu bukan orang yang baik. Buktinya saja dia pergi tanpa kabar," papar Helena.

David masih terdiam. Dia memang kecewa dengan mantan pacarnya yang pergi tanpa kabar. Kisah cintanya pun putus di tengah jalan begitu saja oleh satu pihak.

"David." Helena mengusap lembut tangan putranya. "Mamah cuma mau yang terbaik untuk putra Mamah satu-satunya." Lagi-lagi wanita itu membujuk.

Terdengar helaan napas pelan dan panjang. Tak mudah bagi David untuk langsung menolak dengan tegas permintaan sang ibu. Namun rasa kecewanya belum bisa terobati hingga saat ini.

"Aku tidak bisa menjawabnya, Mah. Pernikahan bukanlah sesuatu yang bisa diputuskan seenaknya." David mencoba memberi pengertian.

"Mamah ngerti. Cuma ...."

"Usiaku yang sudah kepala tiga? Itu hal yang wajar, Mah."

"Tapi Mamah ingin segera menimang cucu, David." Helena terdengar menuntut lagi.

David memejamkan kedua matanya sejenak. "Mamah mengajakku untuk makan malam, kan?" tanya pria itu sembari kembali menatap wajah sang ibu.

"Iya ...."

"Kalau begitu aku akan pulang malam ini," ucap David kemudian.

Helena tampak senang mendengar persetujuan sang putra. "Baiklah. Mamah akan mempersiapkan makan malam untuk kita!" serunya.

"Hm."

"Baguslah kalau kamu mau. Malam ini pokoknya harus datang!"

"Iya, Mah."

Senyuman Helena begitu lebar seolah wanita itu batu saja memenangkan lotre. "Kalau begitu Mamah mau pergi sekarang. Mamah harus mempersiapkan makan malam ini. Pokoknya nanti malam harus pulang, ya!" Helena begitu bersemangat.

"Iya."

Helena bergegas pergi meninggalkan apartemen putranya. David sendiri mengantarkan sang ibu sampai ke depan. Menyetujui permintaan Helena berarti dia harus siap dengan konsekuensinya.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status