Share

Bab 2

Ting!

Berbunyi lagi notifikasi di aplikasi chat milik keluarga Bang Rafi. 

[Udah tidur kayaknya si Rafi! Ga dibalas-balas!] 

[Sudahlah, besok subuh aku yang telpon dia. Keenakan si Putra, apa-apa serba ada dari keluarganya itu!]

[Iya nih, mana Rafi belum deal soal kemarin. Jadi gak sabar!]

Aku semakin penasaran, apa maksud dari Mba Tia bahwa Bang Rafi belum deal? Sampai-sampai semuanya seperti tak sabar?

Ya Tuhan, ada apa ini? Mengapa hati ku merasa ada yang aneh. Mengapa rasanya banyak hal yang Bang Rafi tutupi dari ku?

Aku letakkan kembali gawai milik Bang Rafi pada tempatnya. Ia masih tertidur sangat pulas. 

Sejenak ku pandangi wajah lelaki yang telah menjadi imam ku itu. Wajah tulusnya masih terpancar, bahkan rasa kasih dan cinta darinya masih ada di wajah yang sedang terlelap itu.

Aku mulai memejamkan mata ini. Mencoba untuk lebih tenang dari hal-hal yang kutemui barusan di gawai Bang Rafi.

Dalam hati dan pikiranku yang hendak mulai menjemput mimpi, tersirat rasa ingin segera pagi. Agar bisa mencari tahu tentang semua yang ada dibenak ini.

Keesokan pagi, setelah rutinitas ibadah subuh telah selesai, aku pamit pada Bang Rafi untuk mencari sarapan pagi diluar.

"Adek kedepan ya, Bang. Biasanya masih banyak pilihan sarapan disana. Kalau Putra terbangun, bantu ia berwudhu untuk solat subuh," 

"Iya Dek. Abang pesan lontong sayur aja, ya. Lagi pengen," ujar Bang Rafi dengan senyumnya yang khas itu.

Aku segera berjalan menuju kantin, agar tetap kebagian membeli sarapan. Alhamdulillah, ternyata masih kebagian dua porsi lontong sayur dan beberapa gorengan. 

Bergegas ku bayar belanjaan ku, karena pengunjung kantin Rumah Sakit ini sudah mulai berdatangan.

Ketika sampai depan ruangan rawat inap Putra, ada suara Bang Rafi yang sedang berbincang via telpon.

"Tapi, Mba... Rafi tetap harus meminta persetujuan dari Fiza. Mau bagaimanapun, Fiza itu istriku, Mba,"

"..."

"Ta–tapi, tapi Mba! Rafi gak bisa! Maaf ..."

"..."

"Kalau hanya sekedarnya saja, bukan rutin tiap bulan, Rafi rasa Fiza gak kan masalah,"

"..."

"Baiklah ... nanti Rafi coba,"

"..."

"Iya, iya ... kalau gak dimakan, Rafi kirim kesana. Assalamualaikum,"

Panggilan itu ditutup sepihak sepertinya oleh Bang Rafi. Pasti perkara chat di grup keluarga nya semalam. 

Aku mengetuk pintu yang dari tadi memang tidak begitu rapat tertutup.

Setelah mengucap salam, dan masuk kedalam ruangan ini, Bang Rafi tampak sedang memindahkan beberapa bingkisan dari atas meja kedalam bag paper.

"Kok, di taroh disitu, Bang? Biarin aja dulu disana, siapa tau nanti Putra pengen makannya nanti siang," kataku pura-pura tak tahu apa-apa.

"Mmm, gak papa Dek. Mau Abang bawa sedikit ya, ke kantor?  Buat cemilan siang nanti, hehe!" jawab Bang Rafi sedikit gugup.

Padahal yang kutahu, Bang Rafi itu tak suka coklat, permen susu, ataupun biscuit. Karena dia doyannya cemilan asin seperti keripik pisang, atau keripik singkong.

Ya Allah, apa yang sedang suamiku ini tutupi? 

"Oh, yasudah Bang. Itu coklatnya titip buat Sisil ya! Bilang dapat salam dari aku. Udah lama gak ketemu, nanti aku telpon Sisil kalo aku nitipin coklat buat dia," kataku sambil senyum lebar.

Walau dalam hati aku kecewa sama Bang Rafi. Jelas tadi dia menerima telpon dari kakaknya yang cuma sayang pada adiknya saja, tapi tidak dengan ku.

Wajah Bang Rafi makin terlihat bingung. Pasti masih berpikir keras bagaimana caranya agar coklat besar itu beralih ke keponakannya, bukan ke Sisil.

Sisil adalah teman sekaligus sahabatku. Ia pemilik perusahaan tempat Bang Rafi bekerja.

Sisil merasa berhutang Budi padaku. Karena saat merintis perusahaan itu, akulah orang yang mendampinginya mulai dari nol hingga besar seperti sekarang. 

Sisil sudah bagaikan saudara kandung bagiku, pun dengannya. Menganggap aku juga adalah saudara kandungnya. 

Saat itu aku memutuskan tidak lanjut bekerja disana. Tapi tetap sesekali memberikan masukan bahkan terkadang Sisil memintaku yang memonitoring dan evaluasi semua kegiatan perusahaan. Tetap aku bantu, karena perusahaan itu juga ada bagian ku. Sisil yang meletakkan namaku sebagai salah satu daftar pemegang investasi disana. 

Aku meminta Sisil menerima Bang Rafi saja sebagai pengganti ku. Awalnya Sisil menolak. Tapi karena aku lebih kasihan pada Bang Rafi yang kehilangan pekerjaannya saat itu. Dikarenakan sering datang terlambat ke kantornya, kerap disuruh kakak-kakaknya itu membantu apa saja yang mereka inginkan.

Aneh memang. Tapi begitulah yang ku ketahui. 

Semenjak menikah denganku, Bang Rafi jadi lebih memahami arti dirinya memperistri anak gadis orang. Kalau dulu, semua gaji yang ia miliki pasti akan habis hanya untuk keluarganya itu. Tapi kali ini, tidak.

Kehadiranku saat itu awalnya baik-baik saja dimata saudara Bang Rafi. Tapi lama kelamaan, sifat asli mereka ku ketahui dengan sendirinya.

Gaji Bang Rafi lumayan besar. Sisil memberikannya karena merasa harusnya aku yang menerima, bukan Bang Rafi. Walau sebenarnya sudah cukup bagiku nilai bagi hasil yang Sisil beri padaku tiap bulan. 

Jika dibandingkan dengan nilai pendapatan perusahaan itu, bagi hasil ini sangatlah kecil kata Sisil.

Makanya, saat ku tolak, Sisil marah besar. Akhirnya aku setuju. Tapi masuk ke rekening gaji Bang Rafi saja. Karena aku juga sudah menjelaskan semuanya pada Bang Rafi soal gaji besar ini. Tapi tidak soal uang bagi hasil investasi.

Sisil setuju, namun jika ingin ditinjau lagi, aku boleh mengajukannya untuk ke rekening pribadiku.

Aku percaya penuh sama Bang Rafi. Dan ia juga memahami. Bahkan ATM gaji Bang Rafi ia berikan padaku. Lalu memintaku terserah mau di transfer berapa ke rekening miliknya yang satu lagi.

💐💐💐

Benar saja, siang ini Sisil mengirim ucapan terimakasihnya ke gawaiku. Coklatnya sudah ia terima.

Aku lega sekali. Ternyata Bang Rafi masih mikir ulang untuk membohongi ataupun berlaku yang aneh-aneh dibelakang ku.

Tak lama, aku memeriksa status di aplikasi warna hijauku. Sedikit penasaran dengan status milik kakaknya Bang Rafi.

'Walaupun pengennya coklat yang besar itu, tapi gak papa dapet yang ini juga! Makasih adik manis ku yang baik!'

Itu artinya Bang Rafi membeli coklat lain untuk kakaknya itu. Aku hanya terkekeh dalam hati.

'Untung suami beristrikan diriku! Coba kayak dia, diatur semua duit ama istrinya!'

Wah, secara tak langsung, artinya Mba Tia tidak mendapat kepercayaan mengelola uang suaminya sendiri. Pantas saja statusnya begitu. 

Kembali, kakak Bang Rafi menuliskan status baru. Aku tak mau ambil pusing maksud dan tujuan Mba Tia itu ditujukan untuk siapa. 

'Eh, udah baca, gak ngerasa dia! Kesian adek gue!'

Aku hanya narik napas. Lalu berpikir, biarkan saja Fiza, biarkan! Jangan terpancing!

Sore hari, Bang Rafi kembali ke rumah sakit. Aku pamit pulang untuk melihat kondisi si kecil. Sekalian membawakannya makanan kesukaannya. 

Tentu juga beberapa makanan milik Putra dari Paman dan Bibi nya kemarin.

Ku sisakan sedikit di rumah sakit, buat cemilan malam saat menjaga Putra. Sisanya kubawa pulang.

Mending di berikan pada Bi Ratna dan ponakan dari pihak sepupuku yang memang rajin membantu dan menolong keluarga kami. 

"Nanti abis Magrib, Adek balik lagi ya Bang. Titip Putra ya? Dia suka nanyain bunda kalo terbangun,"

"Iya, Dek. Hati-hati ya!"

"Iya Bang. Oh iya, mau dibawain makan malam apa nanti?" 

"Apa aja Dek. Yang penting berkuah dan ada sambel nya ya," jawab Bang Rafi sambil tersenyum.

Setelah mencium tangan Bang Rafi, aku pamit pulang.

Setiba di rumah, Dinda lagi bermain sama Bi Ratna. Ketika melihatku, ia langsung berlari dan memelukku.

Bi Ratna bilang, Dinda tidak rewel. Hanya sering menanyakan abangnya kapan pulang. 

Syukurlah, jadi Bi Ratna  tidak terlalu repot jadinya.

Selepas sholat magrib, aku pamit pada Bi Ratna untuk kembali ke rumah sakit. Semoga besok Putra sudah bisa pulang. 

Jadi, Bi Ratna tidak perlu berlama-lama aku repotkan. 

💐💐💐

Setiba di rumah sakit, aku lupa membeli minuman. Segera mampir dulu ke minimarket samping rumah sakit ini.

Beberapa pack buah anggur dan buah naga potong, beberapa cup mie instan siap seduh, dua cup es kopi kekinian, dan beberapa bungkus snack keripik dan kentang kesukaan Bang Rafi.

Ketika hendak masuk ke kamar Putra, aku kembali mendengar suara orang didalam. Sepertinya Bang Rafi tidak sendiri didalam sana.

"Sudahlah Mba, itu memang gak banyak sudah dimakan juga, dibawa kantor juga tadi siang," suara Bang Rafi terdengar. Aku masih menguping.

"Ck! Bukannya langsung dipisah! Yaudah, sini tiga juta, Mba ada keperluan Minggu depan! Mumpung istrimu belum datang!" Suara itu milik Mba Tia.

"Mba ... Coba Mba minta sama yang lain dulu ya? Biaya rumah sakit ini besar. Rafi khawatir nanti uangnya malah kurang,"

"Kamu minta dong sama keluarganya Fiza, jangan mau keluar uang sendiri! Kan Putra ponakan mereka juga, sementara kamu itu bantu-bantu nya ya ponakan kamu sendiri!"

"Ehem. Assalamualaikum," 

Tanpa ragu, sengaja suara deheman tadi ku besarkan. 

"Fi–Fiza!"

Bang Rafi dan Mba Tia salah tingkah.

Bersambung ...

☘️☘️☘️☘️☘️☘️

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status