Share

Bab 7

"Cukup Mba!" bentak Bang Rafi.

"Kenapa? Benar kan ucapan Mba? Kalian berbohong padaku! Kau lebih peduli pada dia ketimbang saudara kandungmu!" cecar Mba Fiza tak kalah nyolot.

"Maaf ya Mba, ini keluarga saya dan Bang Rafi! Bukan menjadi wewenang Mba Zara untuk ikut campur! Kalau Mba butuh uang, silahkan minta sama suami Mba Zara sendiri, bukan sama Bang Rafi! Kalaupun Bang Rafi atau aku ingin memberi Mba uang, itu adalah bentuk sedekah kami pada Mba!" kubalas ucapannya barusan dengan tatapan tajam pada matanya.

"Hei! Jangan kurang ajar ya kamu Fiza! Saya bukan pengemis yang butuh sedekah! Ingat, Rafi itu adik kandungku, jadi aku berhak meminta bantuan padanya! Paham!" balasnya tak mau kalah.

"Dia memang adikmu Mba, tapi bukan suami Mba yang wajib nafkahi Mba Zara tiap butuh uang! Dan ingat Mba, banyak rumah tangga jadi hancur gara-gara saudara ipar macam Mba Zara," balasku juga makin emosi.

"Kau ... berani sama aku ya?!" 

Plak! tangan Mba Zara mampir ke pipiku.

Bang Rafi langsung menarik bahu Mba Zara sekuat mungkin, bahkan hampir saja keseimbangan tubuhnya hilang.

"Fiza istriku, dan itu pilihan Rafi, Mba! Sekali lagi Mba melakukannya pada Fiza, Rafi tak segan akan membalas!" ucap Bang Rafi dengan tegas dan raut mukanya merah menahan marah.

"Ka–kau ... mengancam Mba mu Raf? Buka mata mu lebar-lebar Rafi!"

"Aku sudah membuka lebar-lebar mata dan hatiku Mba! Rafi ngerasa Mba hanya memanfaatkan Rafi saja selama ini!"

"Apa kau bilang? Kau tau, Fiza lah yang hanya memanfaatkan uangmu! Aku dan Tia lah yang menyelamatkan semuanya! Faham?" 

Aku sakit hati sekali rasanya, mau berkoar-koar melawan Mba Zara sepertinya percuma. Dia akan terus berargumen tidak jelas yang bikin kepala jadi pusing. Bahkan dia pandai berkelit memutarbalikkan fakta!

Aku menyelesaikan semua berkas administrasi pembelian mobil pada sales dealer ini. Supaya tidak menjadi ramai orang-orang yang melihat keributan dirumahku. 

Setelah selesai semua, mobil baru pun telah diletakkan di garasi, dan orang-orang dealer pun juga pamit undur diri.

Aku biarkan saja Bang Rafi menyelesaikan semua keributan ini. Karena dari yang kudengar, Bang Rafi lebih banyak membelaku dan melawan kata-kata Mba Zara yang tidak benar.

Aku akan masuk saja kedalam, kepalaku sudah pusing.

"Hey Fiza! Puas kau ya membuat hubungan darah kakak dan adik bermusuhan?! Itu kan yang kau ingin?" suara Mba Zara menghentikan langkahku.

Sabar Fiza, sabar ...

Aku berhenti sejenak, lalu menatap lekat pada netra Mba Zara.

"Kalau masih punya urat malu, jangan mengemis disini! Silahkan Mba pergi, urusan kita selesai!" Ucapku menegaskan padanya.

"Kau memang ipar paling tak beradab, memang harusnya dari dulu Rafi tak perlu menikahimu! Cih!" 

"Dan Mba Zara adalah kakak ipar yang tak tau diri, punya suami tapi masih minta-minta sama adiknya! Dimana-mana, sang kakak lah yang memberi pada adiknya, bukan adiknya yang diperas!" 

"Kau!" rahangnya mengeras.

Mba Zara tak mampu membalas kata-kataku. Karena memang itu sudah tepat untuk menggambarkan dirinya.

"Rafi! Sebaiknya kau ceraikan wanita tak beradab ini! Jika tidak, Mba tak akan mau menganggap mu saudara!" Pekiknya sambil menunjuk kearah bang Rafi.

"Maaf Mba, Rafi mencintai Fiza. Sementara Mba Zara hanya mencintai uang Rafi. Dan uang Rafi selama ini adalah uang Fiza," Bang Rafi berkata dengan tegas depan kakaknya itu.

"Omong kosong! Kau memang sudah kena guna-guna Fiza! Ingat kata-kata Mba tadi, jangan harap kau ku anggap adik lagi jika masih bersamanya!" 

Mba Zara melangkahkan kakinya pergi dari rumahku. Tapi, Bang Rafi mengingatkan sesuatu padanya.

"Ingat!" Mba Zara menoleh pada Rafi.

"Jangan lupa kembalikan hutang Mba yang seratus juta padaku!" lanjut Bang Rafi.

Sontak Mba Zara terlihat geram dan berlalu dengan cepat dari sini.

Bang Rafi ikut masuk kedalam mengikutiku. Aku mulai narik napas dalam-dalam. Lalu duduk dengan posisi kepala bersandar pada posisi atas sofa.

"Dek, jangan dengarkan kata-kata Mba Zara. Abang tak akan meninggalkan adek demi saudara yang sudah tak sejalan. Apalagi alasan Mba Zara tadi sangatlah tidak masuk akal. Abang lebih memilih kamu," 

"Iya ... Adek percaya sama Abang. Semoga kita terhindar dari sifat-sifat tercela yang dari lisan kita hanya bisa menyakiti hati dan perasaan orang lain,"

Sejenak kami berdua terdiam di sofa ruang tamu. Kalut dengan pikiran masing-masing. 

Jujur saja, kata-kata Mba Zara benar-benar membuat hatiku perih. Karena kumasukkan dalam hati semua yang ia ucapkan. Ya Tuhan, sabarkan hamba ...

Semoga saja Bang Rafi selalu teguh pendiriannya untuk tetap berjalan pada posisi kebenaran.

"Oh iya, Dek? Masalah mobil, itu yang dua bulan lalu adek sampaikan ke Abang ya?" tanya Bang Rafi tiba-tiba.

Aku mengangguk. Lalu menceritakan ulang apa yang kuingat tentang pembelian mobil itu.

Sebenarnya aku belum mau membeli mobil. Karena rasanya masih cukup memakai mobil kantor Bang Rafi.

Tapi, beberapa bulan lalu Sisil menyarankan aku membeli mobil baru saja. Dikarenakan mobil perusahaan akan ditarik untuk dipindahkan ke cabang baru untuk operasional. 

Sementara, para karyawan rata-rata sudah mempunyai mobil pribadi. Jadi perusahaan hanya memberi uang akomodasi transport. 

Dan semua itu sudah diputuskan melalui rapat perusahaan. Tidak ada masalah sama sekali dari pihak karyawan, malah merasa terbantukan dengan adanya uang transportasi itu.

Dan untuk Bang Rafi, dia bilang malah lebih nyaman memakai roda dua ketimbang roda empat. Jadi tak masalah dengan regulasi fasilitas kantor yang berubah-ubah.

Tapi akhirnya, saran Sisil aku turuti. Biar jika harus kemana-mana untuk urusan pribadi nantinya juga enak dan nyaman.

Sisil awalnya hendak membelikan ku mobil. Tapi aku menolak, akhirnya memberiku tambahan uang untuk membeli mobil baru, sisanya memakai uangku. 

Begitulah Sisil. Selalu menomorsatukan diriku. Padahal, uang bagi hasil perusahaan saja sudah besar. Belum lagi gaji bang Rafi yang beberapa  bagiannya adalah milikku.

💐💐💐

Keesokan hari, Bang Rafi mengajakku dan anak-anak jalan-jalan ke pantai. Putra juga sudah mulai bugar fisiknya.

Jadi, sekalian refreshing dari masalah dengan keluarga Bang Rafi.

Aku menyiapkan keperluan jalan-jalan hari ini, beberapa minuman jus segar, makanan ringan dan pakaian ganti anak-anak.

"Kita makan siangnya di restoran seafood ya Dek, anak-anak pasti suka," kata Bang Rafi sambil memakaikan Dinda sweater.

"Iya Pa, Putra mau udang bakar yang gede yaaah!" si sulung mulai mengungkapkan menu kesukaannya.

"Tumi, Pah! Dedek tumi yaah" si kecil Dinda ikutan berceloteh.

"Siap bos!" Bang Rafi menyahut pembicaraan Putra dan Dinda dengan gemas.

Setelah semua siap, kami masuk kedalam mobil dan mulai berangkat.

Ting! Ting!

Sebuah poto dikirim oleh Mba Tia digrup keluarga.

[Ngumpul sama keluarga besar itu sebuah kebahagiaan tiada tara] demikian caption pada poto itu ditulis oleh Mba Tia.

[Seru kan!] tulis Mba Tia lagi.

[Ya iya dong! Kalo gak dianggap oleh saudara itu baru mengenaskan! Hahaha!] tulis Mba Zara menimpali.

Di poto itu tergambar keluarga Bang Rafi dan para ipar lainnya lagi ngumpul dirumah mama mertua.

[Iya seru ya, masakan mama juga enak lagi,] tulis Mas Dika menimpali poto kiriman istrinya.

[Ya, kalau gak dianggap itu mah resiko ya Mba? Lagian sok-sok an!] tulis Mba Tia menimpali chat Mba Zara yang menyindir.

Aku memperlihatkan chat itu pada Bang Rafi yang sambil menyetir.

Bang Rafi menahan bibirnya untuk mengomentari pesan-pesan itu. Lalu kemudian menyuruhku untuk tak usah membaca postingan digrup itu.

Aku mengangguk, lalu menyimpan gawaiku kedalam tas.

Setelah sampai di pantai yang indah, kami langsung memesan sebuah gazebo didekat pinggiran pasir putih di pantai ini yang membentang.

Anak-anak sangat senang. Bermain air dipinggiran pantai sungguh menjadi aktifitas yang sangat menyenangkan terutama bagi anak-anak.

Aku mengabadikan momen kebersamaan keluarga ku. Rambut panjang Dinda yang tertiup angin laut membuat ya terlihat cantik sekali di kamera. 

Putra yang bermain pasir bersama papanya membuat sebuah istana kecil, juga aku abadikan.

Tak terasa sudah satu jam lebih keseruan bermain di pantai, dan perut mulai keroncongan.

Bang Rafi mengajak anak-anak untuk bersih-bersih lalu makan bersama.

Setelah selesai bersih-bersih, kami masuk kesebuah restoran seafood yang terkenal dikawasan sini.

Sambil menunggu menu datang, kembali aku memeriksa gawai. Aku membagikan momen hari ini hanya di grup keluargaku saja. 

Respon mereka pada ikut senang. Apalagi melihat Putra sudah sehat dan bugar. 

"Dek, mulai hari ini, kita tak perlu posting apapun atau respon apapun digrup keluarga Abang. Biarkan saja. Kalau kita keluar dari grup, Abang rasa kurang etis juga, kesannya memang kita yang kalah. Tapi usahakan adek tak perlu merespon balik apapun yang saudara Abang tulis disana. Termasuk jika mereka bertanya padamu. Cukup diamkan saja, bisa Dek?"

Bang Rafi sepertinya sudah memikirkan semua yang bakal dihadapi kedepan. Termasuk sikap untuk tidak merespon balik.

"Iya. Bisa kok Bang," balasku sambil tersenyum manis.

Akhirnya menu pesanan sudah datang. Dinda dan Putra sangat suka dengan menu yang mereka pesan. Udang bakar dan cumi goreng tepung. Dan berbagai menu lainnya yang aku dan Bang Rafi pesan.

"Bund, Putra lupa cuci tangan," ujar Putra.

"Oh, yasudah sayang. Itu dipojokan ada tempat cuci tangan. Putra kesana ya," perintahku pada Putra agar ia berjalan sendiri ketempat cuci tangan pengunjung.

Putra mengangguk, lalu berjalan kearah yang aku tunjukan.

Tak lama, Putra sudah kembali lagi ke tempat duduk semula.

Putra mengunyah udang bakar kesukaannya itu. Tapi anakku ini mengapa terlihat seperti memikirkan sesuatu? Apa ada yang ingin ia katakan?

"Kenapa Putra? Keasinan ya udangnya?" tanyaku.

"Gak kok Bund, tapi ..." 

"Mau pake cumi juga?" 

Putra menggelengkan kepalanya.

"Papa ... suaminya tante Zara itu Om David kan ya?" tiba-tiba Putra berbicara diluar tema menu.

"Iya? Emang kenapa nak?" Sahut Bang Rafi sambil menyuapi mulutnya dengan kuah sup ikan.

"Itu ..." Putra menunjuk seseorang pengunjung.

Aku dan Bang Rafi menoleh kearah yang Putra tunjuk.

Astagfirullah!

Aku dan Bang Rafi terkejut melihat Mas David lagi bersama seorang perempuan di restoran ini. 

Saling suap bersama wanita yang jelas itu bukan Mba Zara. Dan mereka sangat mesra.

Aku kembali memeriksa poto yang Mba Tia kirim tadi. Aneh. Di poto itu masih ada Mas David mengenakan baju yang sama yang ia pakai saat di restoran ini.

Itu artinya, Mas David hanya sebentar di rumah mama mertua. Lalu pamit pergi kesini.

Aku menyuruh anak-anak melanjutkan makan siang mereka. Sementara Bang Rafi terlihat menyelidik kearah Mas David sambil tetap melanjutkan makan.

Wanita disamping Mas David merasa risih karena kami perhatikan. Lalu wanita itu berbisik pada Mas David.

Aku dan Bang Rafi kembali berpaling dari melihat mereka berdua. Pura-pura tak melihat.

"Hei! Dari tadi kalian memperhatikan kami ya?" tiba-tiba sebuah suara mendekat ke meja.

Aku dan Bang Rafi respek menoleh ke sumber suara.

"Rafi! Fiza!" Mas David benar-benar syok ternyata yang ia temui adalah saudara iparnya sendiri.

Bersambung dulu ya ...

🍒🍒🍒🍒🍒

Yuk bantu author agar lebih semangat, dengan meninggalkan jejak like, komen dan jangan lupa subscribe cerita ini yaaa.... Makasih sudah mampir membaca... 

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Idris
bab 6 sama ceritanya sama bab 7 ....tks
goodnovel comment avatar
b_lily04
Diulang babnya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status