Share

Bab 8

"Ma ... kenapa ngomong begitu? Fiza itu istri Rafi, Ma. Menantu Mama!" Bang Rafi agak meninggi nada suaranya.

"Mama tau! Tapi benar kan perkataan Mama? Ga perlu persetujuan dia kalau mama akan tinggal disini! Sudah, Mama mau istirahat dulu!" 

Tanpa rasa bersalah, Mama mertua menyuruh kami berdua keluar dari kamar yang telah ku rapi kan dari tadi.

Bang Rafi langsung mengajakku ke kamar. Ia menatap lekat kesedihan dimataku.

"Maafin Mama ya Dek? Sungguh, Abang malu sama kamu ... Mama tak tau apa-apa soal kamu, malah bicaranya tidak mengenakkan hati begitu. Jangan diambil hati ya, Dek?" hibur Bang Rafi.

Aku hanya bisa menahan gejolak dalam dada. Yang terasa begitu menyakitkan.

Bagaimana bisa mertuaku itu berbicara dengan seenak mulutnya saja? Aku menahan diri agar tak berbicara dengan kasar pada Mama mertua. 

Walau sangat ingin membalas semua ucapan kata-katanya itu dengan kebenaran yang ada.

Tapi aku tahan, aku harus menahan emosi ini. Karena jika sampai meledak, seisi rumah bisa menjadi sangat berbahaya.

Tahan Fiza. Tahan. Tunggu saat yang tepat.

"Iya, aku gak ambil hati Bang."

Dengan senyum tipis, aku memastikan kepada suamiku itu bahwa aku baik-baik saja. Masih bisa menahan ucapan pedas mamanya.

"Fiza, anak-anak mu itu coba disuruh diam! Mama lagi nonton jadi keberisikan," tiba-tiba selepas ashar Mama Bang Rafi mulai merasa terganggu dengan anak-anak.

"Dinda, Putra ... main didepan aja dulu, ya? Nenek mau nonton TV, jadi agak terganggu dengan suara kalian. Oke?" terangku pada anak-anak.

Putra dan Dinda agak sedikit murung diwajahnya, karena selama ini hampir tidak pernah dapat perhatian dari neneknya.

Sekalinya ketemu, malah dianggap mengganggu. Padahal mereka hanya ingin dekat sama Neneknya, sehingga harus mencari perhatian dengan bersuara agak ramai diruang keluarga.

Tapi syukurlah, anak-anakku tipe yang tidak sulit diberi pengertian. 

"Oke, Bund!" Jawab Putra sambil menggandeng tangan adiknya berlalu dari sini.

Aku kembali ke dapur, menyuruh Bi Siti memasak menu makan malam. Lalu mengecek beberapa persediaan bahan mentah di lemari es.

"Ma, rumah mama memangnya kenapa? Itukan peninggalan Papa, jadi ... kalau lagi lebaran atau acara keluarga, semua bisa kumpul disana," 

Bang Rafi mencoba bicara sama ibunya itu perihal rumah. Aku masih bisa menangkap pembicaraan mereka dari sini.

“Hhfff … kamu itu harusnya mikirin kakak mu makanya! Jangan mikir diri sendiri!” jawaban Mama mertua malah terdengar cukup aneh.

Yang ditanya Bang Rafi adalah soal rumah Mama sendiri, jadi merembet ke Bang Rafi.

“Loh? Rafi kan gak pernah ingin tinggal dirumah Mama? Atau nyusahin mama, Rafi dan Fiza selalu care sama Mba Zara dan Mba Tia. Apa yang mereka minta dulu selalu Rafi beri. Gak ada yang salah sepertinya?!” Bang Rafi mulai membela diri dari pernyataan yang tidak logis dari ibunya itu. 

“Kamu itu! Huh, sudahlah, Mama malas ngomongin soal itu! Sudah sana, Mama mau nonton! Awas jangan berisik kamu Raf, kayak anak-anakmu itu! Pusing Mama!” dengan ketusnya, mam mertua mengusir Bang Rafi agar jauh dari hadapannya.

Padahal, yang kutangkap adalah Bang Rafi ingin bertanya soal rumah Mama. Ada apa sebenarnya yang terjadi? Tapi jawaban mama mengisyaratkan ia tak mau banyak menceritakan persoalan yang terjadi dengan rumahnya itu.

Kasihan sekali suamiku, selain aku istrinya yang sering tak dianggap, ternyata Bang Rafi juga dianggap sebagai pelengkap saja. Ketika mereka kesusahan, maka Bang Rafi lah tempat solusi tercepat mereka. Tapi sebaliknya, Ketika Bang Rafi ingin membantu mencarikan solusi atas masalah yang terjadi hanya diantara mereka, malah tak dianggap. 

Aku hanya mengurut dada, lalu istigfar …  Mengulang memori yang terjadi belakangan. Sakit. Tapi kedepan, harus punya sikap yang lebih tegas. Dan Bang Rafi akan kuajarkan untuk tidak lembek sama keluarganya yang lebih banyak salah ketimbang benarnya. Harus tega jika itu sebuah kebenaran!

Selesai solat magrib, aku hendak mengajak Bang Rafi, anak-anak dan mama mertua makan malam. Karena menu makan malam sudah disajikan oleh Bi Siti. Aku sedikit terkejut melihat Mama mertua yang telah duluan makan, tampak hampir selesai mengunyah makan malamnya itu di meja maka. Sendirian. 

“Ayo anak-anak, duduk ya. Papa juga nih, ayo makan.” Kataku tanpa basa-basi lagi, karena kebetulan sang ibu mertua sudah duluan menyantap makan malamnya.

“Dinda mau lauk yang mana? Papa ambilkan ya?’ tanya Bang Rafi yang juga langsung duduk persis berdampingan dengan mama mertua. 

“Ayam epung, Pah!” tunjuk Dinda pada sepiring ayam filet goreng tepung.

“Oke, ini bos!” sahut Bang Rafi dengan nada gemas pada anak bungsunya itu.

Kami berempat makan dengan tenang, dan menikmati lezatnya masakan Bi Siti. Sesekali Dinda manja minta disuapin oleh ku, dan sesekali minta sama papanya.

Brak!

Suara hentakan kursi yang didorong paksa melebar kebelakang, sengaja dilakukan oleh mama mertua. Kami berempat sontak kaget bukan main.

Apalagi Dinda, ia terhenyak seketika menoleh kesumber suara dengan piring beradu bunyi dengan sendok yang ia pegang. Akupun demikian, tak kalah terkejut. 

“Ya ampun, Mama. Bikin kaget aja,” ujar Bang Rafi respek setelah beberapa detik bunyak keras itu terdengar.

Mama mertua hanya menoleh ke arah Bang Rafi dengan mencebikkan bibirnya, tanda kurang suka kalau ditegur. Tanpa ada membalas ucapan Bang Rafi, mama langsung ambil posisi duduk santai sambal menyalakan TV. 

“Sudahlah, Bang. Biarin aja dulu, mungkin Mama lagi bingung dengan masalahnya sendiri,”

“Tapi pas abang tanyain masalahnya, selalu begitu! Kan kesal jadinya, malah bikin-bikin drama masalah kayak tadi,” 

“Shhtt! Kita belum tua seperti beliau, jadi belum merasakan beban saat masalah numpuk dikepala beratnya kayak apa!” kataku dengan pelan.

Brak!

Kami menoleh lagi kesumber suara yang terjadi di ruang tengah. Ternyata mama melempar remote TV keatas meja tapi malah jatuh kelantai. Aku kembali ngurut dada sambil mengunyah dengan perlahan suapan terakhir makan malam kali ini, melihat kelakuan mama mertua yang seperti itu.

*** 

Setelah anak-anak masuk kekamar tidur, aku merebahkan diri di kursi ruang tamu. Sesaat, mencoba berpikir jernih. Dan berharap semua yang akan terjadi kedepan aku sudah siap menghadapinya dengan kuat.

Ku buka notifikasi dari aplikasi hijau di gawaiku, mungkin saja ada info terbaru tentang masalah Mama mertua dan Mba Zara. 

Sepi, tak ada cuitan pamer atau keriuhan seperti biasanya. Akhirnya ku buka status di aplikasi hijau itu, ingin posting menu makan malam tadi yang dimasak oleh Bi Siti.

Mataku sedikit terbelalak melihat beberapa postingan status yang dipasang oleh Mba Tia.

“Udah manfaatin adek gw, sekarang deketin emak gw!”

“Dasar gada rakus!”

Aku berpikir sejenak, ditujukan kesiapa status itu? Ah iya, aku jangan terpancing. Supaya yang membuat status merasa tak ada yang meresponnya sama sekali, baik aku maupun Bang Rafi. Cukup menyimak saja sementara.

“Menu makan malam yang ramai, Alhamdulillah, semoga sehat-sehat semuanya”

Status itu kutulis pula di laman story aplikasi hijau itu, berikut poto aneka menu yang tadi kami santap bersama.

“Gak usah nyolot kalo salah ya salah! Pake nyalahin pula!”

Status baru yang Mba Tia kirim. Siapakah yang dimaksud Mba Tia nyolot?

Hmm, artinya benar bahwa status pertamanya bukan untukku. Berarti untuk siapa? Aku masih menerka-nerka.

“Lah dia sodara gw, kenapa juga lu yang sewot!”

Mba Zara kembali mengirim status berikutnya. Makin mencurigakan.

“Kumpul semua disana! Niat banget mau ngusain! Gak tau diri!”

Ya Tuhan, status Mba Tia ini sepertinya saling sahut dengan satusnya Mba Zara. Apakah mereka lagi tidak akur? Apa memang ada hubungannya dengan masalah rumah Mama mertua yang diberikan  untuk Mba Zara? Lalu, kalau memang sudah diberikan oleh Mama ke Mba Zara, Mba Tia jadi tak suka? Makanya tadi di status Mba Tia bilang “kumpul semua disana!” maksudnya kami semua dipihak Mba Zara?

Wah, ada yang tidak beres ini sepertinya. 

Mama mertua tidak ingin sama sekali cerita tentang rumah itu pada Bang Rafi. Artinya ada suatu hal yang membuat mama jadi bungkam lalu akhirnya minta tinggal dirumahku. Aku tak mau menebak-nebak, supaya jelas biar Bang Rafi saja yang menyelidiki.

Ternyata suamiku itu satu frekuensi denganku. Ia juga baru menyadari saat memperhatikan status kedua kakak nya itu. 

[Assalamualaikum. Semoga semuanya pada sehat ya,] tulis Bang Rafi di grup keluarganya.

[Raf, Mama sehat kan? Maaf belum bisa kesana, karena Mba lagi menenangkan diri,] balas Mba Zara.

[Mama sehat,] tulis bang Rafi. Suamiku itu mungkin masih kesal sama Mba Zara, atas sikapnya tempo hari pada ku. Karena ini demi mengetahui masalah yang terjadi, mau tak mau Bang Rafi harus merespon grup.

[Raf, bilang sama Mama, rumah itu harusnya dijual! Bukan diberikan percuma buat satu orang! Gak adil! Jangan sampai hanya kalian saja yang menikmati! Ada bagianku juga disana!] tulis Mba Tia.

[Dijual? Emangnya dijual?] Bang Rafi mulai memancing informasi.

[Halah, jangan pura-pura tak tahu! Kamu sendiri memihak ke Mba Zara dan Mama kan?! Awas, kena karma menikmati yang bukan haknya!] balas Mba Tia.

Mba Zara telah mengeluarkan Mba Tia.

Mba Zara telah mengeluarkan Mas Dika.

Mba Zara telah mengeluarkan Anda.

Apa?! Seketika aku senyum kecut mendapati obrolan yang ada digrup tiba-tiba terhenti karena aku ikut dikeluarkan dari grup. Bang Rafi menatapku dengan mata membulat.

“Di grup tinggal Abang dan Mba Zara, Dek.” Kata Bang Rafi tiba-tiba seolah tahu apa yang ada dibenakku.

“Haha, lucu ya Bang saudara abang yang satu itu,” jawabku sambal nyengir kuda karena merasa Mba Zara sungguh tak jelas.

“Dek, liat ini! Coba kamu baca!” Bang Rafi memberikan gawainya pada ku, lalu kubaca perlahan.

[Jangan dengarkan Tia, Raf! Kamu tau sendirikan dia kayak apa? Rumah itu murni pemberian Mama buat Mba, jadi memang Tia dan kamu gak ada hak untuk memiliki.]

[Itukan rumah waris Mba? Bukannya harusnya dibagi sesuai cara pembagian waris?]

[Ya, Mba paham. Tapi Mama memberikannya pada Mba, jadi itu sudah menjadi milik Mba! Gini deh, kamu urus Mama ya. Jangan sampai diurus oleh Tia!]

[Kenapa? Setiap anak mama berhak bahkan wajib merawat ibu kandungnya sendiri! Lagian, dalam rangka apa Mama memberikan rumah itu hanya untuk Mba Zara?]

[Mama pernah minjam uang Mba dulu, dan sekarang Mba butuh uang itu. Jadi Mama membayarkan hutangnya dengan memberikan rumah itu kepada Mba,]

Apa? Hutang? Mama meminjam uang pada Mba Zara buat apa?

Bersambung …

🍒🍒🍒🍒🍒🍒🍒

Besok sambung lagi ya kak. Jangan lupa tinggalkan like komen dan subscribe supaya author makin semangat 🙏🏻🤩

Komen (3)
goodnovel comment avatar
karenina karin
gimana sih alurnya kok begini udah ada pengulangan bab kok bukannya di perbaiki malah di biarkan. mana gak jelas lagi tiba2 ada mama mertua datang.
goodnovel comment avatar
Ayun Ennduutt
tulisannya gk jelass alurnya membingungkan. awall dri gasebo ketemu suami mbk zara kok kmbli lgi ke tulisan gk jelas aneh. awall emg baguss ceritanya. coba di koreksi lgi dah.
goodnovel comment avatar
Ledya Faramita
good novel
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status