Share

Bab 4

"Dek ..."

Bang Rafi geleng-geleng kepala tanda ia menyesal karena telah salah berucap soal makan malam ku tadi yang diambil Mba Tia.

"Adek hanya ingin Abang itu objektif, Bang. Selama ini Adek selalu sabar ngadepin keluarga Abang! Adek gak bakal juga Bang mengumbar aib ipar sendiri jika suami Adek tak banyak tau kejadian sebenarnya! Menurut Abang, apa adek salah?" kutanya balik dia.

"Gak Dek,  kamu gak salah! Abang yang salah. Selama ini terlalu memihak pada sodara Abang. Maafin Abang ya, Dek? Abang janji bakal lebih percaya sama kamu," Bang Rafi memegang erat kedua tanganku, tampak dimata nya ia begitu menyesal.

"Gak papa, Bang. Adek maafin kok? Tapi tolong Bang, buka lebar-lebar mata Abang!" lanjutku sembari menahan amarah yang terpendam selama ini. 

Aku memang harus banyak bersabar mengahadapi sikap Bang Rafi yang memang terlalu polos. Ya Tuhan ...

"Sungguh Dek, Abang ... Abang ..." ujarnya bingung mau berargumen apalagi.

Suamiku ini memang tak bisa memilah masalah ringan atau berat, bahkan mana yang sepele, yang bercanda dan yang serius! Gemas kadang-kadang sama sikapnya itu.

"Jadi gini, biar Abang gak salah sangka juga, mengapa adek pesen salad sayuran. Udah seminggu ini  adek agak kesulitan BAB nya. Jadi adek putuskan untuk rajin mengkonsumsi buah dan sayur. Makanya tadi pesen salad sayuran saja," 

Aku berupaya menjelaskan alasan mengapa aku memesan menu itu, dan tak mungkin juga meracik menu seperti itu dirumah sakit. Repot sekali rasanya, jadi lebih praktis memesan diluar.

"Dan satu lagi, kayaknya adek gak pernah kurang deh ya ngasih perhatian sama saudara-saudara dan keluarga Abang!  Adek gak marah, cuma rada dongkol dengan sikap sodara Abang. Apa adek ada salah Dimata mereka, Bang?" lanjut ku lagi.

"Ya, Abang ngerti kok. Abang juga tau kamu yang paling sering kasih apapun ke keluarga Abang. Walau lebih sering kamu tutupi itu atas nama Abang, bukan nama kamu. Tapi sumpah dek, Abang gak nyangka kalau sodara Abang malah kurang baik sikapnya ke kamu! Maafin Abang ya Dek? Maafin ..." 

Lagi, hanya kata maaf dan maaf. Aku hanya menganggukkan kepala. Memang sudah saatnya aku berbicara hal yang selama ini kupendam. Bukannya aku takut atau merasa lemah, tapi terkadang memang menunggu waktu yang tepat saja. 

Aku Tahu, suamiku itu memang terlalu polos. Kebanyakan husnudzon pada siapa saja. Sehingga lebih meminta kami sendiri lah untuk lebih legowo jika ada orang lain yang kurang sreg.

Dan aku bersyukur pembicaraan malam ini semoga menjadi titik balik Bang Rafi menjadi lebih tegas.

💐💐💐

Keesokan paginya, Bang Rafi tidak masuk kantor karena libur weekend.

Dari tadi bang Rafi kasak kusuk kebingungan dan bolak-balik menatap gawainya itu.

Ku pastikan itu soal Mba Tia yang minta uang padanya.

"Dek, untuk biaya rumah sakit, apa adek pegang uang?" tanya nya hati-hati.

"Emang uang Abang udah abis? bukannya lima juta tiap bulan jarang kepake Bang?"

"Eh, gak sih. Masih ada, cuma lagi dipake," katanya sedikit gugup.

"Dipake? Tapi kok?"

Aku berupaya terus bertanya agar Bang Rafi berkata sejujur-jujurnya tentang gaji nya yang tiap bulan aku transfer. 

Aneh rasanya, kalau tiba-tiba Bang Rafi bertanya begitu.

Akhirnya Bang Rafi kali ini mau terbuka padaku, sesuai janjinya malam tadi untuk lebih objektif dan lebih percaya padaku.

"Dek, Abang mau jujur sama kamu ..."

"Katakan aja Bang. Lebih baik terbuka dari pada ditutup-tutupi," tatapku serius pada netra Bang Rafi 

Bang Rafi akhirnya bercerita panjang lebar. Kudengar dengan seksama. 

Tabungan Bang Rafi dari lima juta gajinya itu, biasanya tersisa tiga jutaan sebulan. Dan selama ini sudah terkumpul hampir dua ratus dua puluh juta rupiah. 

Aku sudah menduga, Bang Rafi yang selalu tidak tega melihat kesusahan saudaranya itu pasti langsung bergerak mengirimkan mereka semua uang. Padahal, kesusahan itu hanyalah buatan mereka semata. 

Poinnya adalah, kedua kakaknya itu minta bantuan Bang Rafi untuk membangun rumah. Selama ini Mba Zara dan Mba Tia awalnya masih mengontrak. Tapi suami-suami mereka baru mampu membeli masing-masing sebidang tanah dekat rumah Mama mertua.

Tapi untuk biaya pembangunan rumahnya, mereka belum cukup uang. Sehingga meminta bantuan Bang Rafi. 

Singkat cerita, masing-masing kakaknya itu ia beri bantuan pinjaman seratus juta rupiah. Jadi Bang Rafi hanya tersisa sekitar dua puluh juta rupiah.

Dan bulan ini, Bang Rafi mentransfer delapan juta setengah untuk Mba Zara yang ingin merayakan ulang tahun Kiya kemarin. Karena acaranya dirayakan besar-besaran. 

Delapan juta untuk Mba Tia, yang perlu membayar cash sofa baru idamannya. Dan sisa nya baru bisa Bang Rafi pegang untuk dirinya sendiri.

Dan sekarang, Bang Rafi mulai berpikir ulang untuk terusan memberikan apa yang kakaknya itu minta. 

Bang Rafi bingung bagaimana menolak permintaan Mba Tia yang minta uang tiga juta untuk pulang kampung kerumah suaminya acara hajatan mertua.

"Bang, kenapa baru ngomong sekarang? Adek sebenarnya udah curiga sama Abang, tapi adek gak mau main tuduh," 

"Maaf ya Dek, maafin Abang ... saat itu Abang tak berpikir panjang, hingga akhirnya keterusan seperti ini. Maafin Abang ya?" ucap suamiku itu dengan penuh rasa penyesalan.

Mau bagaimana lagi, nasi sudah jadi bubur. Tinggal saatnya merubah sikap bang Rafi.

"Saran Adek, telpon Mba Tia sekarang, katakan kalau Abang sudah gak punya uang lagi! Harus tega bang, kalau begini terus, buat apa kita berumah tangga kalau Abang hanya peduli sama rumah tangga sodara Abang saja? Bantu boleh bang, tapi bukan menafkahi mereka tiap apa yang mereka minta kudu dikasih! Kan mereka sudah pada punya suami! 

Apa ada aku pernah membagi uang pada saudaraku, Bang? Ga ada! Apa ada saudaraku minta-minta uang sama kita? Ga ada! Mereka tau diri!"

Akhirnya keluar juga kalimat yang ku tahan selama ini depan Bang Rafi.

Beruntung dulu Sisil meminta ku menerima gaji besar melalui kinerja Bang Rafi. Coba kalau tidak, aku mungkin ikut pusing membagi uang yang sedikit untuk dibagi-bagi kepada semua keluarga Bang Rafi.

Bang Rafi tidak menyangga sedikitpun omonganku barusan. Syukurlah kalau dia juga tau yang sebenarnya tentang Mba Zara dan Mba Tia.

"Dan ingat ya Bang, dua ratus juta itu hitungannya adalah pinjaman, harus Abang tagih! Karena ada hak anak-anak dan aku juga disana! Abang gak kasih percuma sama mereka kan?" Aku sengaja menekankan kalimat ini agar uang Bang Rafi kembali lagi nantinya. 

"Bukan dek, itu pinjaman. Nanti akan Abang tagih jika sudah pas waktunya," semoga saja ucapannya ini bisa dipegang, batinku.

Belum sempat suamiku itu menekan panggilan keluar ke nomor Mba Tia, gawainya sudah berdering duluan.

Setelah tombol hijau ia tekan, tak lupa logo speaker ia tekan pula. Jadi aku bisa mendengar pembicaraan mereka.

"Ya Mba?"

"Buruan Raf, transfer! Kok lama sih!"

"Maaf Mbak, uang Rafi habis! Coba Mba Tia minta ke Mba Zara dulu ya, sesekali minta sama yang lain,"

"Lho lho! Kok gitu sih? Ya kan sudah kewajiban kamu mengirimi uang kebutuhan Mba sama Mba Zara! Jangan aneh-aneh ya Raf!"

Duh, aku kesal sekali mendengar mulut Mba Tia berbicara seperti itu. 

"Maaf Mba, kalau bisa sesekali Mba Tia yang bantu Rafi bulan ini. Bayarin uang rumah sakit biaya pengobatan Putra, butuh tiga belas  juta ini,"

"Enak aja! Yang sakit siapa kok minta sama Mbak!"

"Yaudah, beres ya Mba! Sama-sama gak ada uang kita! Rafi mau cari pinjaman dulu yang bisa membantu Rafi kala lagi susah!"

"Kamu ngejek Mba?" 

"Gak kok, kan Rafi memang lagi butuh uang juga sama kayak Mba Tia! Cuma gak ada yang perhatian!" Bang Rafi mulai berbalik arah menyerang kakaknya itu.

"Hey, Rafi! Jadi gimana ini tiga juta nya? Mbak mau pulang kampung bantuin mertua hajatan!"

"Ya sama, Rafi juga butuh tiga belas juta buat bayar rumah sakit! Masa iya Putra tinggal selamanya di rumah sakit!"

"Ya kamu minta juga sama keluarga Fiza dong! Jangan ngandelin kamu terus! Abis nanti lama-lama uangmu," dengan mudahnya Mba Tia ngomong begitu, bikin hati makin jengkel mendengarnya.

"Yaudah, Mba Tia minta sama keluarga suami Mba Tia dong, minta sama adik-adiknya Mas Dika! aku juga punya kebutuhan sendiri buat hidup dan mati keluarga kami! Putra itu anakku dan anak Bang Rafi, di perlu dapat perhatian lebih ketimbang Mba!"

Kali ini suaraku yang membalas Mba Tia.

"FI–Fiza!" ujarnya terbata dan kaget.

Tut!

Panggilan ku akhiri.

Bersambung ...

☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status