Share

Bab 5

Aku benar-benar sudah tak tahan dengan sikap Mba Tia. Seenaknya saja buat aturan demi kepentingan hidupnya sendiri.

"Maaf ya, Bang. Adek gak bermaksud tak sopan, tapi adek kesal dengar mulut Mba Tia barusan."

"Iya Dek, Abang juga ga nyangka ... Abang jadi paham sekarang .... Semoga saja Mba Tia gak bakalan berani minta-minta sama Abang lagi. 

Dek ... maafin Abang ya? Abang benar-benar baru terbuka pikirannya. Selama ini memang tak pernah Abang lihat Mba Tia seperti itu.

Mungkin karena dulu semua keinginannya Abang turuti, jadi Mba Tia terlihat baik-baik saja depan kamu.

Ingatkan Abang ya Dek, jika Abang nantinya ada kelupaan lagi ..."

Aku mengangguk, berharap ucapan Bang Rafi memang benar-benar sebuah penyesalan. Karena aku paham sekali tabiat suamiku ini. Tak tega-an. Jadi gampang dimanfaatkan orang.

Hari ini Putra sudah boleh pulang kata dokternya. Aku merasa sangat lega. Setidaknya, kami sudah bisa berkumpul lagi dirumah, dan si kecil tak perlu ditinggal-tinggal lagi olehku.

Semua perlengkapan Putra telah ku bereskan, tentu dibantu oleh Bang Rafi.

Setelah semuanya beres, aku ke bagian administrasi untuk membayar semua tagihan rawat inap Putra.

"Makasih ya, Dek .... Sudah bantu urusan anak kita. InsyaAllah kedepan, Abang akan lebih berhati-hati dalam menggunakan keuangan yang ada. Sungguh, Abang malu sama kamu! Abang janji, kalau sudah terkumpul, uang kamu nanti Abang ganti, ya," 

"Iya Bang, gak papa kok. Adek gak keberatan, apalagi untuk anak sendiri. Selagi kita bisa sama-sama saling membantu, itu artinya kita sudah satu visi misi Bang. Adek doakan rezeki Abang makin melimpah nantinya, dan makin barokah untuk keluarga kita,"

"Aamiin ... makasih ya Dek." Terlihat mata Bang Rafi sedikit berembun.

💐💐💐

Ketika sudah dirumah, banyak tetangga yang menjenguk Putra. Mereka bilang belum bisa menjenguk ke rumah sakit karena kesibukan. Dan baru bisa menjenguk saat dirumah saja.

"Jadi merepotkan ibu-ibu nih, makasih ya udah datang dan mendoakan anak saya," kataku berterimakasih pada para tetangga.

"Kami yang minta maaf Bu Fiza, soalnya baru sempet sekarang jenguk Putra. Yang penting sudah sehat ya?" ujar Bu Titi tetanggaku.

"Aamiin, makasih Bu Titi dan ibu-ibu yang lain. Ayo diminum dan dicicipi hidangannya," aku menghidangkan minuman dan makanan ringan. 

Tak lama setelah tamu pulang, tiba-tiba seorang wanita datang kerumah. Ah, sudah kutebak, dia adalah Mba Zara kakak pertama Bang Rafi.

Aku sedikit ragu dengan kedatangannya ini, karena tumben sekali dia mau kemari kalau hanya alasannya menjenguk Putra.

"Mana Rafi?" tanya Mba Zara dengan wajah yang sulit ku artikan.

"Lagi keluar sebentar, Mba. Gak lama lagi pulang kok," jawabku berusaha ramah.

"Rumah masih gini-gini aja? Gak sumpek apa, Fiza? Apa anak-anak betah? Pantes aja kalo Putra sakit, rumahmu kondisinya begini," tanyanya lagi tiba-tiba.

Duh, Mba Zara ini kesini mau mengejek atau gimana sih? Kesal sekali rasanya.

"Oh, ya, Alhamdulillah Mba ... Doakan saja segera punya rumah mah baru. Oh iya, Mba Zara kemari mau ketemu Bang Rafi ya? Ditunggu aja ya Mba,"

Malas rasanya meladeni Kakak Bang Rafi ini, lebih baik aku merapikan sisa-sisa piring dan gelas bekas tamu para tetangga tadi. Dari pada nanti kena nyinyir lagi oleh kakak iparku ini.

"Iya lah! Emang mau ngapain lagi!" jawab Mba Zara ketus.

Aku hanya menghela napas. Lalu meminta Bi Siti, ART ku untuk membantu membereskan semua piring dan gelas.

"Ya ampun, rumah masih begini kamu udah berani pakai ART segala Fiza? Duh, kesian banget Rafi kudu bayar pembantu, padahal istrinya ada nganggur aja!" Celetuk Mba Zara lagi.

Tak habis-habis rasanya kata-kata dalam mulut iparku satu ini untuk nyinyir di depan ku. Tahan Fiza, tahan. Sabar ...

"Selagi Bang Rafi tidak keberatan, ya rasanya gak masalah Mba. Toh, ini kan rumah tangga saya dan Bang Rafi yang punya takaran sendiri yang kami dimiliki. Yang penting tiap bulan kami tak pernah minta-minta pada saudara sendiri,"

Mba Zara terlihat kaget dengan penuturan ku barusan, mungkin ia tersinggung dengan ucapanku. 

Biarkan saja, toh itu sebuah kebenaran bukan hal yang mengada-ada.

Mba Zara tak menjawab lagi ucapanku, hanya bibirnya saja yang mencekik tanda tak suka.

Tak lama, ada ojek online mengetuk pintu. Ia mengantarkan paket makanan dalam jumlah yang sangat banyak. 

Ternyata pengirimnya adalah Mas Deni, kakak tertuaku. Aku langsung mengambil gawai, lalu memberinya pesan bahwa paketan darinya sudah sampai.

Mas Deni belum bisa datang lagi kerumah menjenguk Putra, karena harus keluar kota. Jadi nitip makanan saja.

Ah, Mas ku satu ini memang benar-benar baik. Dan memang Putra juga dekat dengan paman dan bibinya dari pihak keluargaku.

"Bi, dibawa kedalam ya. Kasih tau Putra, kiriman Paman Deni untuknya," titah ku pada Bi Siti.

Mba Zara hanya bisa melongo melihat paket makanan yang banyak itu masuk kedalam. Ketika ku lirik, mata Mba Zara langsung berpaling ke arah yang lain. 

"Itu, Bang Rafi pulang Mba," kataku setelah melihat Bang Rafi turun dari mobil.

Dengan sumringah, Mba Zara gegas keluar rumah dan menemui adiknya.

Aku tak berani ikut nimbrung kedepan. Karena sepertinya, Mba Zara hanya mau berbicara pada Bang Rafi saja tanpa diganggu.

Aku hanya memandang dari jendela ruang tamu saja. Sepertinya Bang Rafi bersikap kurang tertarik dengan omongan kakaknya itu.

Semoga Bang Rafi tak mudah kena bujuk rayu lagi. Batinku.

Bi Siti sudah kembali kedepan membawa minuman dan beberapa cemilan. Sebagai tuan rumah yang baik, sudah semestinya menyuguhkan hidangan buat tamu. Apalagi yang datang adalah saudara Bang Rafi. Jadi ku hidangkan yang terbaik untuknya. 

Lumayan lama mereka diluar, sepertinya tidak ada kesepakatan yang bagus diantara mereka. 

Aku memberanikan diri keluar, menghampiri mereka berdua.

"Bang, ajak Mba Zara kedalam ya. Adek udah siapin minuman dan makanan,"

Bang Rafi hanya mengangguk pelan, tidak mengucapkan satu patah katapun. Itu artinya mereka lagi serius.

"Terserah Mba, Rafi gak bisa! Mau dicicil atau langsung dilunasi, terserah Mba Zara aja. Itu uang Rafi pinjamkan, bukan Rafi kasih percuma! Kalau mau minta lagi, Rafi gak ada!"

Suara Bang Rafi terdengar cukup kencang. Sudah kuduga, kedatangan kakak ya itu tak lain hanya kepentingan diri semata. Duit!

"Tapi, Raf! Kalo yang seratus juta kemarin harusnya tak perlu kau minta lagi lah! Tapi untuk kali ini, Mba minta tolong dengan sangat! Nanti Mba ganti, nyicil tiap bulan, Raf!" suara Mba Zara gak kalah kencang ternyata, hingga telingaku masih dapat menangkapnya.

Bang Rafi malah masuk kedalam ruang tamu, diikuti oleh Mba Zara yang terlihat panik.

Aku duduk manis di kursi ruang tamu, sambil memegang gawai. Aku akan berusaha tak ikut campur urusan mereka, tapi jika dimintai pendapat atau semacamnya, baru aku bersuara. Dan mau tak mau tombol record di aplikasi gawaiku harus segera ditekan.

"Ayo diminum dulu Mba! Bang, ini sudah adek buatin minumannya buat Abang," kataku seramah mungkin seolah tak mengetahui percakapan mereka berdua yang terlihat alot.

"Makasih ya, Dek," bang Rafi mengambil gelas yang ku sodorkan padanya. 

Mba Zara malah mengerjapkan matanya sesaat, seolah jijik melihat suguhan yang ada di meja.

"Silahkan Mba," kataku mengulangi.

Bola mata Mba Zara terlihat malas untuk mengambil gelas, tapi ketika netra nya beradu pada suguhan kue mahal dengan brand ternama, baru tangannya mulai bergerak. 

Aku hanya geleng-geleng kepala dengan pelan, dasar tamu aneh! Batinku.

"Raf, gimana jadinya?" tanya Mba Zara lagi dengan penuh harap.

"Coba Mba tanyakan sendiri sama Fiza!" 

Aku sontak terbatuk mendengar nama ku diucap oleh Bang Rafi. Ada apa lagi ini?

"Ada apa Bang, memangnya?" Tanyaku pura-pura tak tahu.

"Eh, mmm ... gini Fiza! Rafi kan adik mba ya! Mba minta dia pinjemin mba uang lima puluh juta, karena mba ada kebutuhan mendesak! Tapi Rafi bilang tak punya uang? Bukannya ngeluarin Putra dari Rumah Sakit tadi kalian ada uang?" 

Rupanya, kakak pertama Bang Rafi ini belum dikasih pelajaran juga kayak Mba Tia semalam. Oke!

"Pinjem?!" kataku sengaja menekankan kalimat itu.

"I–iya lah! Ck, kamu mah pasti ya gak punya uang segitu! Maka nya Mba pinjem nya sama Rafi, eh malah disuruh bilang ke kamu!" sungutnya sok kesal.

"Trus, kamu ada Bang uang segitu untuk diutangkan ke Mba Zara? Uang yang dipinjam Mba Zara 100 juta, sudah dikembalikan?"

"Belum tuh! Dan Abang gak punya uang lagi buat minjemin, Abang aja masih ngutang tiga belas juta buat bayar berobat Putra," 

Bang Rafi sengaja mengatakan itu adalah utang, supaya kakaknya ini mikir.

"Tuh Mba, ga ada katanya ..." sambungku menatap netra Mba Zara.

"Hiishh! Memang salah aku kesini! Punya adik dan adik ipar tak bisa diandalkan!"

"Hmmm ... aku ada Mba?" ujarku sambil sumringah.

"Nah, gimana? Ada uangnya?" potong Mba Zara tak sabaran penuh harap.

"Ada ide maksud Fiza! Gimana kalo Mba Zara pinjem sama adik ipar suami Mba Zara? Atau pinjem sama Mba Tia! Kan mereka lebih bisa diandalkan ketimbang minjem disini!" ledekku.

"Ya gak mungkin lah, mau ditaruh dimana muka ku minjem sama ipar suamiku!" cebik nya tak mau dikasih saran.

"Yaudah, kita mah gak bisa bantu Mba ... kan gak bisa diandelin!" Bang Rafi mulai sedikit emosi.

Aku membiarkan mereka berdua saja yang ribut, malas ikut-ikutan. Tak lama, ada seseorang yang datang mengucap salam, dan diluar pintu ruang tamu juga ramai beberapa orang yang datang berkerumun.

"Ibu Fiza ada?"

"Iya, saya. Ada apa Pak?" kutemui tamu ini didepan rumah saja karena masih ada Mba Zara.

"Kita dari dealer mobil A2000 mau anter satu unit mobil untuk Bu Fiza. Silahkan dicek dulu berkasnya Bu," ujarnya, akupun memeriksa surat-surat pembelian mobil itu. Dan benar, atas namaku, cash!

Aku mencoba mengingat sesuatu. Tapi tiba-tiba dengan kasar Mba Zara mendorong bahu kiri ku.

"Tadi kalian bilang tak punya duit, lah ini apa? Kalian beli mobil?! Mau bohong kamu sama Mba? Pasti ulah istrimu ini, maka nya gaji itu kamu yang pegang! Bukan Fiza yang hanya orang lain kebetulan jadi istri!" dengan mata menyalang, Mba Zara marah besar.

Bersambung ...

☘️☘️☘️☘️☘️☘️

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status