Share

Pesan Rindu Dari Ma'had
Pesan Rindu Dari Ma'had
Author: Aryani15

Bab 1 : Santri Baru

_Kinan_

"Hiks..hiks..mau pulang ikut Mama!!"

"Sayang, kan sudah janji sama Mama! Nanti di sini senang banyak teman, belajar ngaji, belajar nulis arab, banyak lagi. Ya kan Mbak?"

Aku mengangguk sopan menanggapi salah seorang wali santri yang masih sibuk menenangkan anaknya. Yah seperti tahun-tahun sebelumnya, disaat tahun ajaran baru seperti ini, aku dan beberapa teman yang sudah diamanahi jadi pengurus pondok mulai sibuk menyambut santri baru.

Melihat adik-adik santri baru yang menangis seperti ini membuat aku ingat kenangan beberapa tahun lalu disaat aku juga menjadi santri baru di pesantren Al- Anwar ini. Aku yang waktu itu baru lulus SD diantar ibu dan ayah sowan kesini dan mendaftar sebagai santri untuk menimba ilmu dan mengharap barakah kyai.

Aku saja yang waktu itu memang sudah niat untuk mondok masih merasa sangat berat ketika ditinggal pulang, apalagi adik-adik ini yang mungkin saja masih setengah hati masuk ke pesantren ini.  Tapi percayalah nyantri itu pasti akan terasa berat diawal tapi seiring berjalannya waktu kita akan menemukan kenyamanan tersendiri bahkan segala sesuatu yang ada di pesantren akan sangat dirindukan ketika kita sudah menjadi alumni. Begitu sih kata teman-teman yang sudah lulus.

"Kinan! Bagaimana ini?" bisik  salah satu sahabat sekaligus pengurus di sini.

"Kamu mau yang sebelah kiri apa sebelah kanan, Mak?" ujarku tak kalah lirih takut para wali santri ini dengar.

"Aku kiri, yang kanan kayaknya mamanya ribet, tipe ibu-ibu sosialita!" bisiknya lagi. Aku hanya meliriknya sekilas, Pemilik nama lengkap Ma'rifatul Hidayah ini tahu saja mana yang gampang di handle.

"Kalian sudah menentukan pilihan?"  Tiba-tiba Mbak Dita mendusel di tengah-tengah kami.

"Sudah Mbak!" bisik kita dengan lebih mantap.

"Oke, sip! Maju!!"

"Siap!" jawabku dan Ma'rifatul kompak.

Aku dan Mamak-panggilan akrabku pada Ma'rifatul, kalau yang lain biasa panggil dia Rifah- jalan ke kiri dan ke kanan menghampiri adik-adik santri baru ini, membantu membujuk mereka agar mau ditinggal oleh orangtuanya. Saat ini di aula pertemuan lumayan gaduh suasananya karena tidak sedikit yang menangis bahkan ada yang sampai menjerit tidak mau ditinggal. Ada yang lari-lari juga sampai gerbang.

Aku dan pengurus-pengurus lain hanya bisa saling pandang dan memberi semangat satu sama lain lewat tatapan mata dan cengiran.

"Dek! Kenalin nama Mbak adalah Kinan, sama Mbak ya? Biar mamanya pulang." ucapku seramah mungkin tapi adik manis yang baru lulus SD ini menggeleng dengan keras.

"Mbak di sini ada fasilitas Video Call enggak?" tanya mama dari anak itu.

"Maaf Ibu, tidak ada. Kita hanya menyediakan telepon rumah biasa, itupun hanya di hari-hari tertentu santri bisa menghubungi keluarganya."

"Nanti anak saya tidur sekamar berapa orang? Ada AC enggak? Atau minimal kipas angin? Soalnya anak saya enggak bisa kalau panas."

Kinan, keep smile!

"Mohon maaf Ibu, seperti yang sudah dijelaskan dipertemuan wali sebelum ini bahwa di sini tidak ada fasilitas seperti itu dan nanti Insyaallah satu kamar ada 6 orang."

"Di rumah saya ada kipas angin nganggur, boleh enggak saya shodaqohkan tapi khusus buat kamar anak saya?"

Kinan sayang! Senyum Nak! Jangan emosi!

"Di komplek Khadijah ini kurang lebih ada 11 kamar putri Ibu, kalau panjenengan

berkenan shodaqoh bisa untuk 11 kamar itu, seandainya mau pahala lebih banyak bisa tambah 9 untuk kamar putra, kami akan sangat berterimakasih."

Ibu itu malah melengos dan menghampiri anaknya lagi. Bagaimana sih jadinya? Mau shodaqoh apa enggak ini?

Ibu itu melupakan soal kipas angin, beliau kembali mendekati anaknya. Butuh waktu cukup lama untuk menenangkan santri baru bernama Nisa itu sampai akhirnya dia mau ditinggal dan ikut bersamaku.

Aku membantu Nisa membawa barang-barang bawaannya, cukup banyak! Satu koper, dua tas ransel, dua kardus dan satu ember berisi peralatan mandinya. Yak! Sekali-kali jadi kuli angkut.

Aku mengantarkan Nisa ke kamar yang sudah ditentukan lalu membantunya menata baju-baju dan buku di lemari yang juga sudah disediakan.

"Terimakasih ya Mbak!" ucapnya masih dengan suara sedikit serak.

"Sama-sama Nisa, nanti kalau perlu apa-apa cari Mbak saja ya! Kamar Mbak B1 yang paling ujung dekat pintu masuk tadi." Dia hanya mengangguk.

"Yang sabar dan ikhlas ya Dek! Insyaallah nanti lama-lama terasa nikmatnya."

"Iya mbak, terimakasih."

Aku menepuk bahunya, berharap 40 hari kedepan akan dia lalui dengan lancar. Peraturan di pesantren sini untuk santri baru, 40 hari pertama dilarang dijenguk dulu sebagai riyadhoh atau ikhtiar agar mereka lancar kedepannya dalam tholabul 'ilmu di sini. Setelah lulus 40hari baru ada jadwal sambangan setiap sebulan sekali.

Aku meninggalkan Nisa, sepertinya sudah mendapat kenalan sesama santri baru. Melihat Nisa aku seperti melihat diriku dulu waktu pertama kali masuk sini, dulu selalu nangis di setiap senja datang, rasanya melihat langit yang mulai gelap diiringi suara adzan itu sangat syahdu, membuat aku ingat ayah dan ibu di rumah.

"Bagaimana Kinan? Aman?" tanya Rifah begitu aku masuk ke ruang pengurus bergabung dengan yang lain.

"Alhamdulillah aman."

"Mulai sekarang awasi ya, dibuat nyaman adik-adik santri barunya. Jangan galak-galak sampai ada yang kabur seperti kasus tahun lalu." titah Mbak Rahma selaku lurah komplek ini.

"Kalau nggak khilaf ya, Mbak!" ujar Dini.

"Kamu lho Din, kurangi deh galaknya! Kasihan kan masih pada penyesuaian, mereka dititipkan disini buat belajar bukan mau jadi polwan!" sahut Mbak Rahma.

"Berarti kalau galaknya sama yang sudah lama boleh ya, Mbak?"

"Terserah kamu lah Din!" jawab Mbak Rahma. Dia memilih pergi agar keadaan tidak memanas, Diniyah memang santri yang butuh pengecualian. Harus ekstra sabar kalau berinteraksi sama dia.

Aku dan Rifah yang kebetulan satu kamar memilih untuk kembali ke kamar sekedar meluruskan punggung sebelum masuk waktu ashar. Kita berdua masuk pesantren ini bareng dan kebetulan satu kelas di sekolah maka dari itu aku akrab banget sama dia sampai saat ini.

Pesantren Al-anwar ini lumayan besar, sejak beberapa tahun yang lalu dibagi menjadi 4 komplek. Ada komplek Al-Khadijah-komplek tempatku belajar- yang saat ini diasuh oleh Gus Rizky dan Ning Cut Syifa, komplek Marwa yang diasuh oleh Gus Fauzi dan Ning Sada, lalu di komplek Shofa diasuh oleh Gus Syauqi dan Ning Hanin, sedangkan di komplek pusat sendiri yang santrinya terbanyak diasuh oleh Kyai sepuh-Kyai Hanif dan dibantu kedua putranya.

Dulu pas awal masuk aku tercatat sebagai santri di komplek pusat namun setelah lulus Mts aku dan Rifah pindah ke komplek Khadijah ini dan meneruskan menghafal quran dengan bimbingan Ibu Syifa. Alhamdulillah saat ini walaupun dengan susah payah aku sudah menyelesaikan 25 juz hafalan. Begitu juga dengan sahabat seperjuanganku ini-Ma'rifatul- dia sudah sampai di juz 19.

Rifah saat ini berstatus mahasiswa semester empat, tapi kuliahnya di luar karena pendidikan formal yang ada di pesantren ini hanya sampai MA atau tingkat SMA. Jika RIfah meneruskan kuliah, berbeda denganku, aku memutuskan tidak kuliah setelah lulus, yah karena selain aku ingin fokus menghafal aku juga tidak tega sama ayah dan ibu yang harus bekerja lebih keras lagi untuk biaya kuliahku.

Kalau ditanya apakah aku pengen kuliah, ya pasti pengen tapi ya sudahlah, apa daya keadaan yang kurang mendukung, aku tetap bersyukur sekali dengan apa yang aku miliki sekarang. Allah sudah menentukan takdir setiap Hamba-Nya.

"Kinan!"

"Hmm!"

"Ihh, lihat sini dong!"

"Apa sih Mak? Biarkan aku merem sebentar saja!"

"Putra kedua bapak pulang lho!"

Bapak itu adalah panggilan kami pada pengasuh komplek Khadijah ini- Bp. Alfarizky.

"Siapa?"

"Gus Alfa, baru kali ini aku lihat dengan jelas. Masyaallah! Ganteng maksimal, wajahnya itu wajah wudlu, adem banget!"

Aku hanya bergumam menanggapi celotehnya, memang ya di pesantren manapun itu rata-rata seorang Gus adalah idolanya para santri. Tak terkecuali di sini. Mana banyak juga Gus dzuriyah al-anwar ini! Godaan banget! Walaupun aku belum hafal semuanya.

Aku sendiri belum pernah lihat secara jelas Gus Alfa itu seperti apa hanya beberapa kali lihat dari jauh waktu pesantren ada acara, karena beliaunya jarang banget di rumah sini kurang tahu juga kegiatannya apa, nantilah kalau banyak waktu aku tanya ke Rifah.

Kalau bicara soal Gus di pesantren Al-Anwar ini, aku malah lebih tertarik dengan Gus Zein, putra dari Umi Sada. Beliau itu pembawaannya tenang dan nggak banyak omong tapi sekalinya bersuara jadi menyenangkan, sama santri-santri dekat dan suaranya bagus lagi kalau pas tilawah. Kalau urusan wajah, semua keturunan pesantren Al-Anwar ini enggak usah diragukan lagi, semuanya ganteng dan cantiknya pakai banget enggak ada obat. Masyaallah.

Tapi ya kembali lagi, siapakah aku ini? Aku hanya seorang santri teramat biasa, anak dari ibu pedagang pasar dan ayah petani, rasanya sangat jauh dari nasab Al-Anwar ini. Jodoh memang tidak ada yang tahu, tapi aku tetap sadar diri, rasanya tidak pantas mengharapkan seorang Gus Zein. Secara duniawi saja jauh apalagi secara ilmu agama. Tapi kalau sekedar mengidolakan saja tidak masalah bukan?

Tiba-tiba Rifah yang tadinya ikut berbaring di sampingku langsung bangun dan ikut heboh dengan ketiga teman kamarku.

"Meja..Meja. Tolong Mejanya Kinan!" seru Rifah.

"Eh jangan dong! Ini buat ngaji masa mau kamu pakai manjat!"

Rifah mengabaikan aku dan kembali bergabung dengan teman-teman yang sedang asyik mengintip.

"Siapa sih yang lewat?" tanyaku pada akhirnya karena penasaran juga. Tidak begitu jelas siapa yang barusan lewat, aku hanya melihat punggungnya. 

"Telat kamu! Nggak dapat vitamin see!" ujar Via salah satu penghuni kamar ini.

"Masyaallah..Coba pegang deh! Masih deg-degan banget aku gara-gara lihat Gus Alfa lewat." sahut Rifah.

"Ya Allah,, kalian ini berdosa banget loh! Nggak ngasih celah aku buat ikut ngintip! Cuma kebagian punggungnya!" ucapku dan langsung mendapat sorakan keras dari keempat temanku ini.

Dan mungkin sorakkan yang spontan dan lantang tadi begitu membahana hingga penjuru pesantren karena beberapa detik kemudian langsung terdengar bunyi pintu ndalem atau rumah pengasuh. Rifah dan lainnya langsung membungkam mulut sambil was-was menunggu teguran dari Ibu Syifa. 

"Mbak..Mbak!" Panggil Ibu Syifa dan Via dengan sigap menyaut jilbabnya lalu keluar kamar.

"Dalem, Buk!"

"Kinan suruh masuk ya!" titah Ibuk.

"Nggih!" jawab Via dengan sopan dan lirih berbanding terbalik dengan yang tadi. Diam-diam kita bernafas lega karena tidak jadi mendapat teguran.

"Sama jangan keras-keras ya suaranya!" kata Ibu Syifa lagi. Dan kita hanya bisa kompak mengiyakan dari dalam kamar, nggak berani keluar.

"Nasib dapat kamar paling ujung!! Seneng sih bisa lihat siapa yang lewat tapi rawan kena tilang!" keluh Aisyah dan disetujui yang lain. Kamarku B1 ini memang berada paling ujung dekat dengan ndalem.

Aku buru-buru merapikan diri dan masuk. Sudah tiga kali aku mengucap salam tapi tidak ada jawaban.

"Mbak Kinan!"

"Astaghfirullahal'adzim!!" pekikku karena terkejut.

Sang tersangka malah menertawakanku. "Mbak Kinan ngapain kok malah loncat?"

"Kaget Ning! Oh iya, tadi Ibuk panggil Mbak ada apa ya Ning?"

"Oh bunda ya! Sebentar aku carikan!" 

Aku menyetujui bantuan Ning Alea, gadis periang yang umurnya dua tahun lebih muda dariku itu adalah anak ketiga Ibu Syifa. Bapak dan Ibu mempunyai tiga anak, yang pertama Ning Sean, sudah menikah tapi tidak tinggal di sini, orangnya cantik banget tapi aku agak segan kalau bertemu soalnya agak serem gitu mirip sama bapaknya. lalu yang kedua ada Gus Alfa, nah belum begitu jelas aku orangnya, terus yang ketiga Ning Alea.

"Kinan, tolong buatkan minum ya buat tamunya bapak!" ucap Ibu Syifa yang datang bersama Ning Alea.

Setelah mengiyakan aku langsung membuatkan teh. Di sini selain aku ada Mbak Rahma dan Mbak Nur yang sering dipanggil masuk untuk membantu, mungkin karena kita yang termasuk santri senior dan tidak bersekolah. 

setelah mengantar minum ke ruang tamu, aku duduk sebentar sambil memijit lutut kiriku, agak nyeri untuk berjalan tadi, soalnya kemarin habis jatuh.

"Maaf, Mbak! Bunda minta tolong buatin minum satu lagi ya! "

Aku langsung berdiri tegak dan mengangguk, sedikit malu juga karena ketahuan duduk di kursi ibuk. Itu pasti Gus Alfa karena manggilnya 'bunda'.

"Buat kan saja, nanti biar saya yang bawa ke depan."

"Tapi,"

"Nggak apa-apa! Jenengan balik ke pondok aja, obati lututnya!"

Aku sedikit terkejut, kelihatankah kalau lututku sakit?

"Terimakasih Gus, mohon maaf merepotkan!"

"Santai, Mbak! Oh iya namanya siapa?"

"Kinan!"

"Sekolah? kuliah?"

"Tidak, saya sudah lulus MA dua tahun lalu."

"Oh, masih muda! Saya panggil nama saja ya!"

Aku hanya tersenyum kikuk, gugup banget sampai bingung mau ngapain. Akhirnya aku membuat satu gelas teh lagi dengan sedikit canggung karena Gus Alfa menunggu di sampingku lalu membiarkan Gus Alfa yang membawanya keluar.

"Huuuhh... Masyaallah, deg-degan juga ternyata. Pantas saja Rifah w* akhow*tuha suka histeris lihat Gus Alfa. Aku baru kali ini ngobrol langsung!" gumamku pelan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status