Share

Bab 2 : Roker Sejati

"Kotak yang ini Ibuk pasrahkan ke kamu ya, nanti begitu sampai kamu kasih ke tuan rumahnya!"

"Nggih!"

"Bunda, udah dong! Kasihan Mbak Kinannya belum mandi!" ujar Ning Alea yang sudah wangi dan rapi. Minggu pagi ini kita sedang disibukkan dengan persiapan menghadiri pernikahan salah satu alumni.

"Ya sudah, kamu siap-siap sana! Maaf ya jadi telat mandinya!" ujar Ibuk Syifa sambil tertawa pelan.

"Nggak apa-apa Ibuk, kalau begitu saya permisi ke pondok dulu!"

Setelah mendapat persetujuan, aku langsung meluncur keluar. Kalau tadi di dalam rumah Ibuk aku masih cukup santai karena Ibu Syifa juga belum siap-siap bahkan mandi aja belum. Ibuk lebih memilih sibuk mempersiapkan barang bawaan yang akan diberikan pada sohibul hajat. Ibuk selalu seperti ini jika ada acara, pokoknya nggak bisa kalau nggak bawain bingkisan. Kalau kata Ning Alea, ribetnya ibuk melebihi ribetnya yang punya acara.

Sejenak melupakan kehebohan ibuk, aku malah gantian jadi heboh sendiri karena melihat hampir semua teman-teman sudah siap, rapi, cantik, wangi..dan menor- satu dua orang aja sih-. Dan aku baru kelar bantuin ibuk nyiapin bingkisan.

"Ya Allah kok kalian sudah cantik semua sih!!" keluhku sambil siap-siap mengalungkan handuk dan menyabet keranjang plastik kecilku berisi peralatan mandi.

"Cepetan sana mandi Mbak, itu bus nya sudah datang lho!" ujar gadis kelas 3 MA yang bernama lengkap Davia Puspitasari itu sambil memoles matanya dengan celak.

Benar juga, bus yang disiapkan untuk mengangkut sebagian warga pondok yang hadir sudah terdengar suara mesinnya dan aku belum mandi. Dengan langkah seribu dan kekuatan super aku langsung meluncur ke kamar mandi.

Dan bagai cobaan hidup yang silih berganti, sampai kamar mandi aku masih harus ngelus dada. Di sini ada 7 kamar mandi dan masing-masing di depan pintu sudah berjajar rapi keranjang-keranjang sabun serupa milikku tanda antrian panjang.

Kalau begini bisa-bisa aku kondangan tanpa mandi dulu..

"Mbak Kinan buru-buru mau kondangan ya? Pakai antriku dulu aja Mbak habis ini!"

Alhamdulillah.. Pertolongan Tuhan selalu datang tepat waktu. Aku langsung berterima kasih pada Nisa yang merelakan antriannya.

Tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan aku langsung masuk kamar mandi dan menggunakan salah satu prestasiku yang terbilang cukup cemerlang--mandi cepat--

Dan hanya butuh waktu kurang dari lima menit aku sudah keluar kamar mandi lagi dengan wajah sedikit lebih segar, menimbulkan tatapan heran dari adik-adik yang sedang antri.

Ah nanti lama kelamaan kalian juga menguasai ilmu mandi cepat wahai adik-adik!

Begitu sampai kamar, Aku langsung mengganti bajuku dengan baju kebesaran pesantren-baju putih- yang sudah aku setrika serapi mungkin.

Deodoran tambah sedikit parfum, poles tipis-tipis wajah dengan bedak bayi, oleskan liptint dikit lalu terakhir pakai celak. Udah beres, tinggal pakai jilbab putih juga.

"kamu pakai jilbab putih kenapa masih kelihatan uuwayu ngono sih? Perasaan aku burik banget deh!" keluh Rifah yang sibuk ikut ngaca di sampingku.

"Alhamdu?"

"Lillaaaah..!" lanjutnya sambil cengengesan.

"Bersyukur walaupun burik masih punya muka, Mak! Ada lho orang yang nggak punya muka sampai kadang sibuk banget mencari muka!"

Rifah malah tertawa keras sambil memukul lenganku. "Namanya Kinanti Alfathunnisa, anak tunggal, hobi paling digemari ada dua. Ngehaluin om-om sama ngomong sarkas!" ujarnya dengan gaya presenter gosip dan diakhiri tawa yang semakin keras membuat yang lain kompak ikut tertawa.

Tidak lama kemudian terdengar bunyi pintu dapur ndalem yang dekat dengan kamar kita diketuk beberapa kali. Itu bukan artinya ada tamu, tapi sebuah kode agar penghuni kamar B1 ini lebih menjaga pita suaranya. Kita berenam hanya bisa saling menyalahkan lewat pelototan mata pasalnya yang suka negur tanpa kata-kata itu adalah bapak kyai tercinta alias bapak Rizky. Ngeri!

Sebenarnya secara umur belum pantas sih dipanggil Pak Kyai walaupun tolok ukurnya bukan umur ya, soalnya wajahnya masih

Kenceng banget alias masih muda. Beliau itu juga seorang dokter, walaupun kegiatannya lebih banyak di pesantren, kalau tidak salah setiap hari jumat ketika libur ngaji beliau praktek di suatu tempat nggak jauh dari sini, semacam dokter keluarga gitu sih.

Beralih dari Pak Kyai, diam-diam Aku bernafas lega dan bersyukur karena walaupun tadi harus buru-buru banget persipannya tapi nggak ketinggalan rombongan. Hal-hal semacam ini sering banget aku dan beberapa teman lain alami, bersiap di menit-menit terakhir menjelang acara tapi sama sekali tidak pernah kesal malah seneng banget karena bisa meringankan kerepotan guru.

Jadi ingat nasihat yang pernah ayah berikan. 'Patuhi selalu perintah dan nasehat guru, bantu kerepotannya, jangan kebanyakan mengeluh! Bapak ibu kyai atau gurumu itu juga orangtuamu, malah lebih mulia dari orangtua kandungmu. Kalau ayah dan ibu hanya bisa kasih bekal uang dan doa untuk kamu ngaji, tapi gurumu itu orangtuamu yang kasih bekal sampai akhiratmu.'

Santri itu apa sih yang dicari? Ilmu agama itu sudah pasti, tapi ada yang tak kalah penting yaitu adab terhadap guru dan ridlo dari guru. Naudzubillah kalau sampai guru kita ada perasaan kurang ridlo pada sikap kita. Dua hal yang sampai saat ini aku terus belajar menjaganya walaupun emang berat banget, ridlo orangtua dan ridlo guru.

"Kinan, dipanggil ibuk suruh ikut mobil ndalem!" kata Mbak Rahma.

Aku yang sudah duduk manis di jok bus paling belakang hanya bisa menggaruk kepala yang sama sekali tidak gatal.

"Mbak Rahma saja deh! Aku di sini sama yang lain!"

"Ya sama aku juga, berdua kita! Ayo cepetan udah ditunggu!"

"Ayo Kinan, kesempatan melihat jelas wajah Gus Alfa, beliau yang nyetir lho!" bisik Rifah. Aku menyenggol bahunya dengan cukup keras tanda protes. Rifah memang cukup adil dalam membagi ruang di otaknya. Setengah untuk mikir belajar dan setengah lagi untuk mikir Gus! Ya Tuhan!

"Bilang aja seneng, pakai sok nolak!"

Aku mengedipkan mata untuk memperingatkan Rifah yang hampir terpancing dengan ucapan Diniyah barusan. Aku berdiri dan tersenyum pada Diniyah yang duduk di depanku.

"Iya sih Din, aku cuma agak bingung mau bereaksi gimana, soalnya dalam hati nggak pernah punya harapan lebih bisa naik mobil ndalem!" ujarku diakhiri senyum manis untuk Diniyah tapi orangnya malah melengos.

Melupakan Diniyah sang penguji kesabaran, dengan langkah sedikit berat aku mengikuti Mbak Rahma menuju mobil.

Benar kata Rifah tadi soal sopir mobil ini, memang paling akurat infonya kalau soal Gus. Di jok depan ada Gus Alfa dan bapak, di tengah ada ibuk, Ning Alea dan Ning Sean yang memangku putra kecilnya yang luar biasa imut. Sedangkan aku dan Mbak Rahma duduk paling belakang bersama Kardus-Kardus bingkisan.

Ada tiga kendaraan yang berangkat pagi ini. dua bus kecil yang membawa santri putra dan putri secara terpisah lalu 1 mobil ndalem. Sepanjang perjalanan aku dan Mbak Rahma hanya menjadi pendengar setia obrolan keluarga bahagia ini. Kadang ikut tertawa kalau ada yang lucu. Jangan dibayangkan tertawanya seperti saat di kamar pondok ya, tertawa pada momen seperti ini syaratnya nggak boleh kelihatan giginya.

"kakinya Kinan sakit itu Bunda! Di belakang harus duduk barengan Kardus-Kardus!"

Nggak ada angin nggak ada hujan tiba-tiba Gus Alfa membahas perihal kaki. Ya Allah, Gus nya aktif ya!

"Nggak apa-apa, Gus! Sudah sembuh, alhamdulilah!"

Rasanya pengen turun ditengah jalan saja karena mendadak jadi perhatian orang satu mobil. Ibu Syifa langsung menanyakan banyak hal perihal kakiku. Untung saja bapak segera membicarakan hal lain, jadi masalah kakiku yang nggak penting ini teralihkan.

Begitu sampai ditempat acara, santri putra mengikuti bapak dan Gus Alfa yang langsung duduk di tempat tamu pria sedangkan kami santri putri masih berdiri berjajar di belakang ibuk dan putri-putrinya karena menunggu panitia hajatan menyiapkan kekurangan kursi untuk kita.

Aku dan Mbak Rahma langsung menemui ibunya pengantin yang tak lain adalah santri alumni untuk menyampaikan amanat berupa bingkisan dari ibuk syifa.

Aku harus ekstra menundukkan kepala ketika dengan terpaksa lewat depan tempat duduk keluarga bani ahmad yang laki-laki. Dengan bapak dan Gus Alfa saja deg-degannya maksimal apalagi ini sebagian besar saudara bapak dan sepupu Gus Alfa kumpul. Untung ada Mbak Rahma, beda cerita kalau sendiri apalagi sama Rifah, bisa berhenti di sini dia demi menyapa gus-gus.

"darimana, Mbak?"

Aku dan Mbak Rahma kompak menunduk ketika secara tidak terduga disapa oleh Gus Zein.

"Oh ini Gus, habis ketemu ibunya Mbak Najah." jawab Mbak Rahma dan dijawab senyuman oleh Gus Zein.

Jantung ku kenapa tiba-tiba begini sih?

Jantung ku yang tiba-tiba berdetak kencang bertambah tak terkendali saat Gus Zein bertanya padaku. "Lututnya udah sembuh, Kinan?"

Pertanyaan yang wajar mengingat waktu aku jatuh naik motor, bukan jatuh sih cuma ambruk saja, ada Gus Zein yang ikut bantu mengangkat motor yang menimpa kakiku. Dan yang nggak wajar itu adalah aku yang malah mendadak jadi gagap, kenapa masalah kakiku mendadak jadi parah gini sih hari ini? Banyak yang nanyain.

"Alhamdulillah sudah, Gus!"

"Alhamdulillah, lain kali hati-hati ya! Kalau kerepotan bawa barang mending di bagi!"

Aku mengangguk dan berterimakasih atas nasehatnya, memang waktu itu aku habis belanja dari pasar bersama Mbak Nur dan nasib kurang baik karena membawa belanjaan yang banyak ditambah boncengin Mbak Nur membuat aku kehilangan keseimbangan waktu berhenti di depan ndalem. Kebetulan waktu itu ada Gus Zein dan Mas Dito yang sedang main ke tempat bapak.

"Kinan! Udah kali senyumnya, sampai kering tuh gigi!" ujar Mbak Rahma ketika kita berhasil uji nyali lewat depan kumpulan bani Ahmad.

"Apaan sih Mbak! Kamu itu juga Mbak tabahkan hati ya Mbak!"

"Aku? Kenapa?" tanyanya pura-pura tidak ada apa-apa.

"Berdasarkan sumber terpercaya dulunya Kang Ilham itu..."

"Halah!! Sssst udah! Ayo duduk!" potong Mbak Rahma cepat dan menarikku ke kursi paling belakang. Lucu lihat Mbak Rahma yang biasa tegas sekarang malu-malu kucing, denger-denger sih sang mempelai pria yang didepan itu dulunya pernah punya cerita sama Mbak Rahma. Detilnya bagaimana aku juga kurang tahu yang jelas cukup membuat Mbak Rahma fitnes hari ini kalau kata Rifah. Fitnes versinya Rifah itu adalah badan fit hati ngenes.

Ada-ada saja!

"Ciye yang habis ngobrol sama om-om!" ledek Rifah saat aku duduk disampingnya.

"Ini aku kasih risoles punyaku, tapi diam ya Mak!" ucapku sedangkan Rifak malah ngakak sendiri merasa berhasil membuatku malu. Aku harus merelakan salah satu isi snackku untuk membuatnya diam, mana risol mayo lagi.

Soal om-om yang sering Rifah bahas itu adalah Gus Zein. Berdasarkan info darinya juga, Gus Zein itu 8 tahun lebih tua dari kita, makanya Rifah suka banget nyebutnya om-om. Suka heran kadang sama dia, banyak banget jalannya buat dapat info tentang gus-gus.

Acara pernikahan hari itu berlangsung hingga siang. Seperti acara yang sudah-sudah, warga pesantren pasti pulangnya belakangan karena ada jamuan tambahan dari sohibul hajat, tapi khusus keluarga pengasuh. Kalau santri-santri mah cukup foto bareng dan minta kembang mantennya aja udah seneng banget.

Setelahnya rombongan pesantren berjalan sedikit lama karena kendaraannya diparkirkan agak jauh dari tempat acara. Jalanan yang masih cukup becek sisa hujan membuat kita para roker sejati harus sedikit mengangkat rok agar tidak kena lumpur. Benar kan kalau santri itu adalah roker sejati? sebagian ada juga sih yang sarunger!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status