Jumat pagi ini seluruh penjuru komplek khodijah sedang disibukkan dengan kegiatan bersih-bersih lingkungan atau biasa disebut roan.
Roan adalah hal yang melekat pada jati diri pesantren. Setiap santri dibebani untuk roan, minimal membersihkan kamarnya sendiri.
Disamping kebersihan juga dianjurkan di agama kita, menjaga kebersihan juga merupakan anjuran dokter dan tentunya manfaat dari kebersihan untuk diri masing-masing.
Di komplek ini, roan sebenarnya dilaksanakan setiap hari, tapi ada satu hari dalam sebulan diadakan roan akbar. Biasanya pada hari jum'at membersihkan taman-taman, lingkungan, kamar mandi, dan seluruh lokasi Pesantren. Saat-saat seperti ini sih para santri pasti semangat, taulah kenapa!
Santri putra biasanya semangat berbondong-bondong ketika diutus roan di Pondok Putri. Sebenarnya begitu juga dengan santri putri sih.
Tujuan roan akbar kali ini khusus untuk menyambut wali santri yang akan datang siang nanti, khususnya santri baru karena tanpa terasa 40 hari berlalu dan itu artinya tirakatnya santri baru telah usai dan mereka bisa disambangi. Ada hikmahnya juga karena santri baru pada semangat banget bersih-bersihnya, nggak sabar mau ketemu orangtua. Maklum lah.
Aku sedikit menyayangkan, dari 30an santri baru yang kemarin masuk ada dua santri yang menyerah dan memilih keluar. Ya sudahlah, belajar bisa dimana saja, yang penting jelas dan terarah.
"ayo.. Ayo yang semangat biar dilirik calon mertua.." teriak Mbak Rahma dan langsung disambut tawa dari yang lain.
"Pipip.. Pipip calon mantu.." sahut Via.
Suasana pagi itu dipenuhi candaan tapi ya tentu saja cuma dari suaranya santri lama alias tua, kalau yang masih unyu-unyu ya cuma diam sambil senyum-senyum. Tapi memang benar sih, santri itu bisa jadi referensi calon menantu idaman.. Ngaji? Insyaallah lumayan. Masak? Insyaallah bisa. Bersih-bersih? Insyaallah lancar, tiap hari diasah.
"Bude nanti kesini nggak?" tanya Rifah di sela-sela kegiatan menyerok sampah. Bude yang dia maksud adalah ibuku.
"Nggak tahu, kemarin pas jatahku telepon aku malah pergi sama Ning Alea."
"kamu kenapa sih, sakit? Diem aja perasaan daritadi!"
"Nggak apa-apa, biasanya juga diem kan? Yang rame ya kamu sama Via!"
Rifah mengangkat bahunya, masih antara percaya tidak percaya dengan jawabanku.
Selesai membersihkan lingkungan, saatnya giliran basah-basahan alias pergi ke sungai yang ada di dekat pondok. Mbak Rahma menarik gerobak untuk mengangkut karpet-karpet kotor.
Kareptnya sih cuma beberapa tapi yang ikut ke sungai hampir satu kampung. Ini awas aja kalau cuma pengen mainan air saja!Memang menyenangkan sih pas jadwalnya nyuci karpet begini, seru banget. Sudah pernah dibilang kan di Pondok itu gampang banget menemukan kebahagiaan. Nggak harus ke waterboom atau ke pantai kalau hanya untuk bersenang-senang dengan air. Tapi nggak nolak juga sih kalau mau diajak.
Mencuci karpet di sungai memang seru tapi yang bikin nggak seru jalan ke sungai itu harus melewati jalan samping komplek putra, dan sudah adat kebiasaan santri putra akan berjejer di pagar, katanya sih bersih-bersih.
Teman-teman yang semula heboh mendadak langsung pada diam dan menunduk ketika melewati deretan kang-kang pondok yang sedang mengecat tembok pagar. Kecuali Mbak Rahma yang berjalan dengan santainya, pengen kaya Mbak Rahma yang udah nggak peduli dengan hal-hal semacam ini. Pokoknya kalau Mbak Rahma yang penting ngaji dan ngabdi. Nggak heran kalau dia yang paling dipercaya sama keluarga ibuk.
"Sing keri cokot boyo...." salah satu Kang pondok ada yang mengeluarkan celetukan dan otomatis langsung di samber sama yang lain jadilah rombongan kita yang lewat menjadi berlari.
"Sing keri cokot boyo.. Sing keri di cokot boyo.." suara dan tawa mereka semakin keras membuat aku ikut berjalan cepat karena yang lain juga. Bahkan Nisa dan teman sebayanya sampai lari.
Belum cukup sampai di situ karena di sungai pun kita masih harus berurusan dengan santri putra. Sebagian dari mereka juga sedang mencuci karpet di utara jembatan kecil yang ada di sungai ini, otomatis kami langsung menuju Selatan jembatan. Jadi judulnya 'ada jembatan diantara kita'! Ha ha nggak jelas ya aku?
Mbak Rahma langsung berinisiatif melebarkan karpet agar bisa segera di cuci mengingat waktu semakin berjalan dan sebentar lagi siang.
Kalau tadi Kang-kang yang sedang mengecat pagar mengerjai kami dengan plesetan syair hadroh, tak jauh beda dengan rombongan yang di sini. Mereka juga teriak-teriak seperti pada saat latihan hadroh.
"wetan kali... Kulon kali... Tengah-tengah ono mbaaaak Santri..."
"saiki ngaji, sesok yo ngaji..Ben iso rabi karo mbak santriiiii.."
Masyaallah.. Kreatifitas tanpa batas...
"Mbak Nur, ayo balas!" ucap Rifah semangat, mbak nur adalah pemilik suara terindah diantara kita membuat dia dinobatkan sebagai vocalis utama setiap kegiatan sholawat, selain Mbak Nur ada Diniyah juga yang suaranya bagus.
"ayok!! Kamu backing vocal nya ya Fah!" jawab Mbak Nur tak kalah semangat.
"Eh! Nggak usah aneh-aneh kalian. Pegangi itu sarungnya, nanti kebawa arus repot lho!" tegur Mbak Rahma membuat kedua orang tadi meringis sambil mengangkat dua jarinya tanda minta maaf.
Setelah sekian lama akhirnya kita selesai mencuci 8 karpet ukuran besar dan beberapa sajadah. Beban menarik dan mendorong gerobak menjadi semakin berat karena karpet yang basah, alhamdulilah dengan gotongroyong akhirnya menjadi lebih ringan. Gerobak dihentikan di dekat komplek putra, sesuai adat yang ada bagian menjemur karpet adalah tugas santri putra.
"Taruh situ aja, biar aku yang bawa!" ucap Kang Farid, salah satu santri senior pada Mbak Rahma.
"Terimakasih." jawab Mbak Rahma singkat lalu pergi menuju pondok putri.
Berdasrkan imajinasi cepatku, Kang Farid semacam punya rasa dengan Mbak Rahma tapi sayang Mbak Rahma itu orangnya cuek dengan hal-hal seperti itu.
Dari jam 10 hingga hampir dzuhur aku baru dapat antrian kamar mandi, alhasil harus memakai jurus mandi cepat agar tidak ketinggalan jamaah. Kali ini tidak secepat biasanya karena harus mencuci baju juga.
.
.
.
Akhirnya waktu yang ditunggu-tunggu datang juga. Selapas jamaah dzuhur, santri baru berhamburan ke aula untuk menemui orangtua mereka. Aula ini di buat cukup besar dan berada di tengah halaman komplek sehingga bapak dan ibu wali di perkenankan bertemu anak-anaknya.
"Nggak ikut acara sambangan, Mbak?" tanya Ning Alea. Saat ini aku dan Mbak Nur sedang membantu Ning Alea menyiapkan barang yang akan dia bawa ke pondok.
"Orangtua saya kayaknya nggak kesini, Ning!"
"Iyakah? Rumah Mbak Kinan masih Jawa Tengah juga kan?"
"Salatiga Ning!"
Ning Alea cuma tersenyum, begitu juga dengan Mbak Nur, santri asal Bekasi ini pasti tahu rasanya jarang disambangi. Kalau Mbak Nur sudah pasti alasan jarak, kalau aku beda. Ayah itu orangnya agak sedikit tegas kalau soal ngaji. Setiap bulan aku hanya dikirim uang bulanan atau makanan itu pun hanya ayah sendiri yang datang dan menitipkannya pada warung samping pondok.
Soal sambangan bisa 3-4 bulan sekali, kata ayah kalau sering disambangi akunya jadi manja. Pasti nangis kalau ditinggal pulang. Padahal kalau mau tau alasan nangisnya bukan karena ingin ikut pulang. Tapi aku sedih dan terharu aja kalau melihat ayah dan ibu, mereka semangat dan gigih banget cari uang buat aku ngaji.
Kalau melihat kulit ayah yang semakin menggelap atau kulit ibu yang semakin kasar karena banyak kerja, rasanya aku ingin keluar dari pondok saat ini juga biar bisa bantu mereka, nggak tega banget melihat mereka, walau sekalipun mereka tidak pernah mengeluh di depanku. Mereka banting tulang, kepanasan dan kehujanan, sedangkan aku enak banget tinggal di sini. Hal itu yang selalu membuat aku menangis kalau disambangi.
Mengingat perjuangan orangtuaku aku jadi sadar satu hal. Aku tersadar dari mana aku ini berasal, seperti apa keluargaku dan mendadak aku merasa jauh banget perbandingannya dengan keluarga ahmad ini. Aku ingin memarahi diri sendiri yang sejak semalam terlalu kepikiran dengan surat Gus Zein.
Seharusnya aku tidak perlu repot-repot berpikir jawabannya, aku ini siapa? Kenapa berani sekali mengharap Gus Zein? Kalau pun Gus Zein menerimaku dan keluargaku apa adanya, bagaimana dengan keluarga besar kyai ahmad? Bagaimana tanggapan orang-orang? Apa tidak akan membuat malu keluarga ahmad kalau Gus Zein menikah denganku?
"Yang mana aja bawaanmu Le?" suara Gus Alfa membuyarkan lamunanku. Beliau mendekat ke Ning Alea dan Mbak Nur yang sedang menata makanan bekal Ning Alea.
"Kakak ih dibilangin panggilnya jangan le, kedengarannya kaya ikan lele!"
"Oke.. LEAK!"
"Kakak!" protes Ning Alea tapi sang kakak tetap diam saja seperti tidak terjadi apa-apa.
"Yang ini semua, terus yang dikamar tadi udah aku packing semua." ujar Ning Alea sambil menunjuk semua barang bawaannya.
"Udah bawa bekal sebanyak ini awas kalau targetnya nggak terpenuhi!" ujar Gus Alfa sambil menyentil kening adiknya. Ikut senyum-senyum lihatnya, seneng kayaknya punya saudara.
"Iya, jangan lupa hadiahnya kalau aku berhasil!" tantang Ning Alea dan hanya mendapat gumaman dari Gus Alfa.
Aku yang sedang menggoreng pisang agak sedikit gugup ketika Gus Alfa mendekat dan mengambil satu pisang goreng yang sudah aku taruh di piring.
Sebenarnya sejak tadi aku merasa aneh, entahlah aku ini orangnya agak sensitif, aku merasa Gus Alfa tidak seramah kemarin-kemarin. Astagfirullah, kenapa sih batinku ini suka ribet sendiri dengan ngurusin orang lain? Ya mungkin saja memang begitu sifat Gus Alfa.
"Jangan memikirkan sesuatu yang mengganggu. Tetap fokus pada tujuan awal kamu!"
"Ya?" tanyaku sedikit kaget dan bingung.
"pisangnya agak gosong!" ujarnya sambil menunjukkan pisang goreng yang memang sedikit hitam warnanya.
Aku masih kebingungan, tadi Gus Alfa ngomong sama aku? Maksudnya aku nggak boleh melamun dan tetap fokus meggoreng pisang, begitu kan?
Terkadang aku suka bingung dengan imajinasiku yang cepet banget jalan. Bisa-bisanya aku mengartikan lain ucapan Gus Alfa tadi.. Bagaimana bisa dalam imajinasiku, maksud ucapan Gus Alfa adalah aku jangan mikirin suratnya Gus Zein, tetap fokus pada tujuan awalku yaitu khatam 30 juz.
Ya Tuhan.. Kenapa ya aku ini tidak bisa menyederhanakan imajinasi?
"Kinan! Bude kesini!"Aku mematikan kompor dan mendekat ke pintu dimana Rifah berdiri."Ibuku kesini?""Iya, cepetan minta izin dulu!"Segera saja aku menghampiri ibuk syifa untuk minta izin menemui orangtua ku. Dan setelah mendapat izin, aku segera menuju aula. Rasanya sudah tidak bisa menyembunyikan rasa bahagia, ayah sama ibu selalu sukses membuat kejutan.Begitu sampai aku masih harus celingukan mencari keberadaan kedua orangtuaku karena banyaknya orang di sini. Karena memang ini sambangan pertama untuk santri baru jadi tidak ada batasan jumlah keluarga yang boleh masuk."Mbak Kinan!"Aku menoleh ke arah suara dan ternyata Nisa yang memanggil, dia sedang bercengkrama dengan keluarganya. Demi kesopanan aku mendekat dan salim ke mamanya."Terimakasih ya Mbak Kinan, tadi Nisa banyak cerita kalau selama ini banyak dibantu Mbak Kinan." ujar mamanya Nisa."Sama-sama Ibu, sudah kewajiban kita saling membantu.""Oh iya ini buat Mbak Kinan." ucap mamanya lagi, beliau mengulurkan satu kotak
"Mak, aku pengen cerita sama kamu tapi ini rahasia!""Sudah kuduga! Tumben-tumbenan kamu ngajak aku belanja ke pasar, biasanya ogah kalau sama aku katanya aku ribet, mau ke pasar aja dandannya lama---"Aku membungkam mulut gadis manis ini, kalau soal pidato memang paling jago."Mau cerita apa?"Pertanyaan Rifah tidak langsung aku jawab, masih konsentrasi memilih wortel yang segar. Baru setelah mendapatkan semua bahan sesuai catatan dari ibuk, aku cerita pada Rifah mengenai surat dari Gus Zein, ngomong-ngomong dia orang pertama yang aku pilih untuk tahu. Aku sudah siap lahir batin untuk menerima reaksinya.Tapi diluar dugaan dia malah memegang keningku. "Nggak terlalu panas sih, tapi tetap harus ke dokter karena tingkat kehaluan kamu sudah sangat parah, stadium akhir!""Kamu nggak percaya, Mak?""Kinanku sayang, aku tahu kamu begitu mengidolakan om-om itu, maaf ya kalau aku kadang ikut dukung kehaluan kamu. Tapi aku prihatin sama keadaan kamu sekarang. Mana masih muda..!""Nih, aku tah
وَمَرۡيَمَ ابۡنَتَ عِمۡرٰنَ الَّتِىۡۤ اَحۡصَنَتۡ فَرۡجَهَا فَنَفَخۡنَا فِيۡهِ مِنۡ رُّوۡحِنَا وَصَدَّقَتۡ بِكَلِمٰتِ رَبِّهَا وَكُتُبِهٖ وَكَانَتۡ مِنَ الۡقٰنِتِيۡنَصَدَقَ اللهُ اْلعَظِيْمُAku menutup quranku dan maju untuk mencium tangan ibuk."Alhamdulillah Kinan, juz 28 sudah selesai. Yakin ini mau pulang? Nggak sekalian dikhatamkan? Dua juz lagi lho!""Saya pulang dulu Buk, insyaallah nggak lama. Kangen sama ayah dan ibu.""kemarin juga sudah ketemu kan? Nggak usah pulang aja ya?"Aku hanya bisa tersenyum sambil menggeleng, sebenarnya yang dikatakan ibuk syifa benar sih, tapi niat hati untuk pulang sudah bulat. Mumpung liburan ini juga, kalau pas libur lebaran malah nggak bisa pulang. Bukannya nggak bisa tapi nggak boleh sama ayah."Ya sudah, tapi nanti ya kamu pamitnya. Paling akhir-akhir pokoknya!" ujar Ibuk lalu keluar mushola karena aku yang ngaji terakhir.Hampir 8 tahunan aku mondok mungkin hanya dua kali aku bisa lebaran di rumah, selebihnya di sini. Kata ayah lebaran har
"Apa yang bisa Kinan bantu nih Bu?""Udah hampir selesai kok!"Aku ikut membantu ibu mengemasi nasi kuning ke plastik mika.Selama ini ibu, menjual makanan di pasar untuk membantu keuangan keluarga. Ada nasi kuning, bubur sumsum dan gorengan. Ibu biasanya menyiapkan bahan-bahannya sejak malam sebelum tidur, baru nanti jam 1 malam bangun lagi untuk masak baru paginya setelah sholat shubuh ibu berangkat ke pasar.Aku mengusap ujung mataku, kalau ngomongin ibu dan ayah rasanya nggk bisa kalau nggak nangis. Semoga aku segera bisa membantu mereka, agar mereka bisa istirahat dan gantian aku yang akan kerja."Kamu tidur lagi sana, nanti shubuh ibu bangunin lagi. Katanya mau ikut ke pasar!""Nggak apa-apa Bu, Kinan tadi udah cukup tidurnya. Kebetulan lagi nggak sholat juga.!"Dengan senang hati ibu menerima bantuanku, Alhamdulillah selesai lebih cepat dari biasanya jadi ibu bisa istirahat sebentar sambil menunggu sholat shubuh.Sementara ayah dan ibu sholat, aku menikmati mandi di rumah. Samp
"Kamu kok bisa ditelepon Ning Sean?""Aku juga nggak tau Din, udah ayo ke sana!"Dini diam walaupun wajah juteknya masih terlihat jelas. Pagi menjelang siang ini aku masih dalam suasana liburan pondok dan tanpa disangka semalam Ning Sean telepon ke nomor ayah. Beliau bilang sedang di salah satu tempat wisata daerah sini dan meminta aku kesana, katanya dipanggil Ibuk. Dan aku langsung berinisiatif ngajak Dini."Kamu yakin ibuk syifa nyuruh kita kesini?"Aku melirik Dini yang sejak tadi tidak berhenti kepo. "Insyaallah." jawabku singkat.Aku selesai memarkirkan motor dan langsung masuk mencari Ning Sean. Semalam sewaktu ayah tau Ning Sean menelponku kar
Author P.O.V"Hati-hati ya, jangan lupa selalu jaga diri dan berdoa." ucap sang ibu ketika Kinan-anak semata wayangnya pamit. Walaupun liburan pondok belum usai, Kinan sudah harus balik ke pondok, sejujurnya dalam hati Kinan masih ingin membantu orangtuanya namun dia sadar ada tanggungjawab besar yang harus segera dia selesaikan agar tidak semakin lama membebani orangtuanya."Ibu juga ya, sehat-sehat." balas Kinan sambil memeluk ibunya, entah keberapa kali.Setelah acara pamitan yang cukup drama tadi, Kinan juga menyempatkan pamit ke keluarga Dini yang tinggal sebelahan dengan rumahnya. Dan tanpa membuang waktu lama Kinan segera membonceng ayahnya yang sudah siap mengantar.Selama perjalanan Kinan pegangan erat Ke ayahnya, sambil memutar kenangan-kenangan indah di masa kecil. Dulu sewaktu kecil dia sering ikut ayahnya setor-setor sayuran ke pelanggan, lalu pulangnya pasti dibelikan roti tawar dan selai nanas. Bagi keluarga Kinan yang hidup pas-pasan makanan itu terasa mewah sekali."M
"Zein, besok minta berkah kyai yang tadi aja kalau pas pengajian nikah kamu. Bagus tausiyahnya, lucu juga!"Zein hanya bisa pasrah, sesekali mendengus merasa gemes sendiri dengan keluarganya. Heboh banget memikirkan rencana pernikahannya, padahal dirinya saja masih santai."atur ajalah Bude!" ujar Zein pada Budenya-Sheila."Lah kamu ini malah nggak semangat gitu! Jadi nikah nggak?" sahut tantenya nggak mau kalah."Iya ini, malah lemes! Siapin dong semuanya! Semangat! Masa mau nikah kok santai gitu!"Zein hanya bisa menatap pasrah rombongan ibu-ibu yang heboh banget membicarakan dirinya.Dito yang duduk di samping Zein menepuk bahu pemuda itu. "Yang tabah ya! Menghadapi ibu-ibu memang harus lebih sabar ya!"Zein menyikut sepupunya itu karena kalau dilihat dari ekspresinya Dito bukannya menguatkan tapi sebaliknya.Siang menuju sore itu bani Ahmad berkumpul di rumah Dito dan Sean karena pagi tadi diadakan acara tasyakuran 4 bulanan kehamilan Sean. ada beberapa santri juga yang diajak mem
"Kinaaaannn!" teriak Rifah sambil sedikit berlari menghampiri Kinan yang sedang konsentrasi menghafal ayat demi ayat untuk setoran hafalannya.Kinan membuka matanya dan mencoba mengacuhkan Rifah, tapi tidak jadi karena ternyata yang menghampirinya ke mushola bukan cuma Rifah tapi ada Via, Nur dan teman lainnya. Beberapa waktu lalu aktifitas pesantren sudah kembali normal."Kinan cantik deh!" ujar Rifah ketika sudah duduk di depan Kinan, tangannya sempat mengambil makanan Kinan. Makanan yang Gus Zein kirimkan ke Kinan lewat Rahma tadi malam. Bukan hanya malam tadi, Zein sering mengirimi Kinan makanan dan minuman lewat Rahma."Banget. Udah cantik, baik hati lagi!" tambah Nur."Udah gitu Mbak Kinan juga pinter masak, apalagi masak mi rebus belum ada yang ngalahin enaknya!" tambah Via lagi tak mau kalah. Begitu juga dengan dua teman lainnya, tambah satu lagi Nisa, ke enamnya sedang berusaha merayu Kinan membuat Kinan merinding sendiri."Kalian kenapa sih? Frustasi karena kiriman belum dat