Share

Bab 6 : Ngaji, Ngabdi, Rabi

"Kinan! Bude kesini!"

Aku mematikan kompor dan mendekat ke pintu dimana Rifah berdiri.

"Ibuku kesini?"

"Iya, cepetan minta izin dulu!"

Segera saja aku menghampiri ibuk syifa untuk minta izin menemui orangtua ku. Dan setelah mendapat izin, aku segera menuju aula. Rasanya sudah tidak bisa menyembunyikan rasa bahagia, ayah sama ibu selalu sukses membuat kejutan.

Begitu sampai aku masih harus celingukan mencari keberadaan kedua orangtuaku karena banyaknya orang di sini. Karena memang ini sambangan pertama untuk santri baru jadi tidak ada batasan jumlah keluarga yang boleh masuk.

"Mbak Kinan!"

Aku menoleh ke arah suara dan ternyata Nisa yang memanggil, dia sedang bercengkrama dengan keluarganya. Demi kesopanan aku mendekat dan salim ke mamanya.

"Terimakasih ya Mbak Kinan, tadi Nisa banyak cerita kalau selama ini banyak dibantu Mbak Kinan." ujar mamanya Nisa.

"Sama-sama Ibu, sudah kewajiban kita saling membantu."

"Oh iya ini buat Mbak Kinan." ucap mamanya lagi, beliau mengulurkan satu kotak makanan untuku.

"Masyaallah, terimakasih banyak ya Bu!"

"Sama-sama Mbak!"

Bertepatan dengan jawaban mamanya Nisa, mataku menangkap dua orang yang aku cari sejak tadi. Langsung saja aku pamit ke Nisa dan keluarganya.

Dengan langkah cepat aku menghampiri ayah dan ibu yang juga sudah melihatku. Langsung saja aku mencium tangan mereka bergantian dan tanpa membuang waktu langsung memeluk ibu.

"Nah kan langsung nangis, anak manja!" ujar ayah sambil merentangkan kedua tangannya, langsung aku berpindah memeluk ayah.

"Kan, kangen Yah! Terakhir ketemu tiga bulan yang lalu. Ayah sih kalau kesini sukanya kucing-kucingan. Habis nitipin barang ke warung sebelah langsung pulang aja!"

"Pinter ngomel kaya ibu ya sekarang!" canda ayah dan langsung mendapat protes dari ibu.

Kita bertiga langsung duduk di tempat yang masih agak kosong.

"Ayah Ibu sehat?"

"Alhamdulillah, sehat. Kamu gimana Nak keadaannya?" tanya ibu.

"Alhamdulillah, Kinan tambah gendut kan ini?"

"Mana ada? Cungkring gitu! Gimana ngajinya? Lancar kan? " gantian ayah yang bertanya.

"Alhamdulillah berkat doa ayah sama ibu juga sampai detik ini Kinan dilancarkan sama Allah. "

Ayah mengamatiku cukup lama membuat aku sedikit was-was, biasanya insting ayah dan ibu itu agak tajam.

"Ada yang kamu pikirkan?" tanya ayah pada akhirnya.

"Ya banyak dong Yah yang dipikirkan! Setoran, lalaran, takziran juga sih!" jawabku disertai ringisan pelan.

Ibu spontan langsung mencubit pahaku. "Di takzir kenapa kamu?" tanya ibu penuh selidik.

"Hehe, nyimpen novel Bu!"

"Nah kan!! Ibu bilang juga apa nggak usah dibawa novelnya malah tetap dibawa!"

"Hehe iya Ibu Halimah yang cantik. Kan yang di bawa cuma satu karena belum selesai baca di rumah."

"Ayah pikir Kamu itu kebanyakan baca dongeng, jadi suka mikir kemana-mana!"

Lagi-lagi aku hanya bisa tertawa, alhamdulilah ada bahan mengalihkan kecurigaan ayah. Bagaimana pun aku tidak ingin mereka tahu kalau Gus Zein mengirim surat. Sampai detik ini pun belum ada yang tahu tentang surat itu.

"Ini Ibu masak abon kesukaan kamu, terus ini  uang bulanannya. Maaf ya uang saku kamu nggak seperti biasanya, kemarin ada sedikit keperluan jadi terpaksa motong jatah bulanan kamu." ucap ibu, tangannya sibuk mengeluarkan makanan dan amplop dari tasnya.

"Nggak apa-apa Ibu, Ayah. Yang penting kewajiban bayar pesantrennya sudah cukup. Jajannya Kinan gampang, yang penting kebutuhan Ayah sama Ibu juga cukup di rumah."

Ibu malah berkaca-kaca mendengar jawabanku, membuat aku kembali menangis juga. Bukan karena uang sakuku yang berkurang, insyaallah bisa sampai bulan depan. Tpi rasanya gimana ya? Terharu banget sama perjuangan ayah dan ibu.

"Terimakasih ya Nak, Kinan jadi anak baik untuk ayah dan ibu. Maaf kalau ayah dan ibu belum bisa memenuhi semua keinginan kamu."

Aku menggeleng cepat untuk meyakinkan ibu dan ayah kalau aku baik-baik saja. "keinginan Kinan hanya ingin Ayah dan Ibu bahagia!"

Ayah menepuk pundakku.

"Kalian ini malah nangis bareng. Udah ayo Bu, kita pulang. Sudah hampir hujan ini!"

"Istiqomah nderesnya, nggak usah banyak pikiran. Pokoknya ngaji, ngabdi, rabi kalau memang sudah saatnya . Ngaji semaksimal mungkin, ngabdi sebaik mungkin, insyaallah nanti waktunya rabi dapat jodoh yang terbaik." lanjut ayah.

Aku ngangguk-ngangguk saja mendengar nasehat ayah, merasa tersentil juga. Mungkin ayah merasa ada sesuatu yang aku pikirkan, tapi kok bisa pas gitu. Sebelum berpisah aku kembali memeluk erat ayah dan ibu, tak lupa juga meminta doa mereka.

"ini hasil panen Ayah kemarin, sebagian dijual ibu ke pasar dan ini sebagian dibawa kesini tolong sampaikan ke Ibu nyai ya! Semoga bermanfaat."

Aku menerima satu plastik besar berisi beberapa sayuran hasil panen ayah.

"Nggih,!"

"Walah ibu hampir lupa," ujar ibu lalu mengambil satu kantong makanan yang tergantung di motor ayah. "...ini kasih ke Dini ya, bu lik nggak bisa kesini." lanjut ibu.

"Tumben bu lik nggak bisa kesini?"

"Ada urusan. Sudah ya Ibu sama ayah pamit."

Aku menaruh barang-barang dan menunggu sampai ayah dan ibu nggak terlihat lagi.

Alhamdulillah lega rasanya melihat mereka sehat.

"Din! Titipan kamu!" Aku memanggil Diniyah yang kebetulan lewat. Dia langsung mendekat dan menerima titipan buat dia.

"Makasih! " Ucapnya singkat lalu pergi tanpa basa basi.

Aku yang sudah biasa dengan sifatnya itu tentu saja tidak masalah. Diniyah adalah sepupuku, ibunya dia adik kandung ayahku yang saat ini masih tinggal satu rumah, rumah peninggalan Simbah.

"Masyaallah, terimakasih banyak ya Kinan, ayah ibunya sudah pulang?" tutur Ibuk Syifa ketika aku menyampaikan amanat ayah.

"Sudah barusan."

"Ini panen sendiri ya? Seger-seger banget kelihatannya." ucap ibuk lagi saat memeriksa sayur-sayurannya.

"Alhamdulillah Ibuk, itu hasil panen ayah sendiri."

"ayah kamu nanam apa aja?" tanya Gus Alfa yang sejak tadi diam saja di samping ibuk.

"Banyak Gus, ada sawi, kol, bayam, tomat, cabai, terong dan sebagainya."

"Banyak juga ya, pintar ayah kamu ngurusnya, sayurannya kelihatan bagus!"

Aku tersenyum, agak geli sebenarnya. Ya gimana nggak pintar orang dari muda hingga saat ini ayah kerjaannya bercocok tanam. Eh, dari kecil mungkin malahan sudah bantu Simbah bertani.

"Memang sudah kerjaannya Gus!"

Gus Alfa mengangguk tanda mengerti lalu masuk ke ruang tengah tanpa berkata apapun lagi. Aku segera pamit keluar.

"Kinan, habis ashar kamu sama Rahma ikut ibuk ya, ngantar Alea. Sekalian ibuk mau belanja agak banyak soalnya, biar ada yang bantuin milih. Kalau Alfa mana mau, paling bantuin angkat doang."

"Nggih ibuk!"

Sesuai perintah Ibuk, aku langsung menemui Mbak Rahma agar dia juga siap-siap. Karena sebentar lagi masuk waktu ashar. Demi nderek perintah ibuk kayaknya besok aku harus merelakan tidak setoran, tadi ngaji sebentar baru dapat beberapa ayat, dan ini harus ikut ibuk pergi lagi. Bismillah, semoga nanti malam nggak capek dan bisa nambah setoran,  besok pagi bisa maju ke ibuk.

Beberapa menit setelah jamaah ashar, aku dan Mbak Rahma sudah siap degan kostum kebanggaan, lalu segera bergabung bersama ibuk dan Ning Alea yang bersiap di samping mobil. Gus Alfa sedang menata barang-barang adiknya.

Aku sempat kehilangan fokus ketika Gus Zein datang membonceng ibunya dengan motor. Umi Sada langsung mendekat ke Ning Alea, mungkin ngasih tambahan uang saku, biasanya begitu. Pandaganku dan Gus Zein bertemu, sesaat sebelum aku menunduk dan masuk mobil, aku melihat beliau tersenyum.

Ketika mobil berjalan pun aku masih menggoyangkan kakiku, efek terlalu gugup.

"Kenapa kamu?" tanya Mbak Rahma pelan.

Aku hanya tersenyum dan menggeleng membuat Mbak Rahma semakin menatapku curiga. Segera aku mengalihkan pandangan ke depan. Membuatku agak memfokuskan penampilan Gus Alfa yang sedikit berbeda. Kali ini beliau tidak memakai koko seperti biasnya melainkan memakai kaos hitam. Di sampingnya ada Kang Farid yang menemani. Di tengah ada bapak ibu sama Ning Alea yang sejak tadi tidak lepas dari pundak ibuk.

Gus Alfa menepikan mobilnya di sebuah masjid, kita semua turun untuk sholat dulu.

"Kinan, kamu jadi ikut pesan baju putih sama sarung nggak? Tadi Mbak Fatna komplek pusat nanyain, berapa yang pesan dari khadijah!" tanya Mbak Rahma di tempat wudlu ketika tinggal kami berdua di sana.

Sebenarnya aku sudah berencana dari lama ingin beli baju putih lagi, karena hanya punya dua. Yang satu khusus buat madrasahan, yang ini khusus buat pergi, dan yang ini sepertinya sudah menuju pudar warna putihnya, udah di jahit beberapa kali juga kancingnya karena lepas.

Aku sudah mengumpulkan uang sejak lama dan rencananya kiriman yang bulan ini mau buat tambahan tapi sepertinya harus sabar lagi karena uang kirimannya kan dipotong.

"Besok aja kayaknya Mbak, belum cukup uangnya."

"Mau pakai uangku dulu? Soalnya biar sekalian produksinya bareng santri komplek lain. Belum tentu kapan lagi itu pesan bajunya."

Aku berpikir sebentar. "Makasih banyak tawarannya Mbak, tapi nggak usah aja."putusku sambil tersenyum lebar. Membuat Mbak Rahma ikut tersenyum.

"Kadang aku suka iri sama kamu, senyuuum terus bawaannya. Mau seneng, mau susah, mau pas marah tetep yang keluar senyum." ujar Mbak Rahma sambil berkaca membenahi jilbabnya.

"Kalau nangis aku ngumpet di kamar mandi Mbak!" jawabku disertai tawa.

"Haha, berarti kalau pas lama itu kamu sambil nangis dulu ya!"

"Pas mules juga bisa sih Mbak!" ucapku dan langsung mendapat pukulan pelan di pundakku.

Aku dan Mbak Rahma segera menyusul jamaah yang di pimpin oleh Bapak. Dan tanpa membuang waktu lama, rombongan ini segera melanjutkan perjalanan.

Ternyata lokasi masjid tadi sudah dekat dengan pesantren Ning Alea. Aku dan Mbah Rahma membantu membawa barang-barang Ning Alea ke dekat kamarnya lalu kembali ke mobil, menunggu bapak dan ibu yang sowan ke pengasuh pondok ini untuk memasrahkan kembali Ning Alea. Saat seperti ini memang hanya dibatasi orang tua wali saja yang boleh sowan, berbeda saat lebaran atau acara lain.

Aku dan Mbak Rahma duduk di sebuah warung yang sudah tutup,Gus Alfa duduk di mobil sambil fokus ke ponselnya, pintu mobilnya dibiarkan terbuka, sedangkan Kang Farid entah pergi kemana. Beberapa saat kemudian dia datang membawa beberapa minuman, mungkin dari toko di ujung sana yang masih buka.

Setelah menyerahkan ke Gus Alfa, Kang Farid lalu menghampiri aku dan Mbak Rahma.

"Ini minuman buat kalian!" ucapnya. Mbak Rahma menerima dua botol air mineral dingin darinya.

"Alhamdulillah, pengertian kamu Kang, kita memang haus."

"Gus Alfa yang pengertian kalau aku ya cuma bagian pembelian saja!"

"Sampaikan terimakasih ya!"

Setelah menjawab Kang Farid langsung kembali bergabung dengan Gus Alfa di mobil.

"Ehem.." Aku berdehem bermaksud menggoda Mbak Rahma tapi sepertinya gagal karena orangnya malah cuma tertawa pelan nggak terpengaruh.

Beberapa Saat kemudian ibuk dan bapak terlihat keluar dari gerbang, langsung saja aku dan Mbak Rahma mendekat.

Suasana pulang tidak semeriah tadi karena tidak ada lagi Ning Alea yang hobi bercerita, membuat pejalanan pulang ini terasa lebih lama.

Walaupun sudah cukup larut, ibuk tetap minta berhenti di sebuah pusat perbelanjaan yang buka 24 jam. Aku dan mbak Rahma langsung menjalankan tugas kami, mengekor ibuk kemanapun beliau bergerak mencari belanjaan.

Satu jam berkelilingi cukup bagi ibuk mendapatkan beberapa barang yang beliau butuhkan, ternyata semua barang ini adalah pesanan mertua beliau alias bundanya Bapak Rizky yang besok rencana akan ke Semarang.

"sudah semua?" tanya bapak ketika ibuk masuk mobil.

"sampun!" jawab ibuk lembut. Selalu suka melihat beliau berdua ini, tapi masih bingung juga dengan cerita Ning Alea kalau sebenarnya kedua orangtuanya ini saat di rumah bisa konyol banget.

"Makan dulu aja ya!" ajak bapak dan disetujui ibuk juga anak lelakinya.

Akhirnya kita semua kembali keluar mobil karena bapak memutuskan makan di area toko tadi. Aku masih sibuk menata belanjaan agar lebih ringkas dan leluasa untuk tempat dudukku dan mbak Rahma sedangkan Mbak Rahma menemani ibuk ke toilet.

"ini buat kamu!"

Aku langsung menoleh dan terkejut karena Gus Alfa berdiri di belakangku. Dengan ragu aku menerima sebuah tas kertas ada logo tokonya.

"Apa ini Gus?"

"Tadi Kak Sean nitip beliin baju, sudah terlanjur bayar pas dikirim foto katanya salah ukuran. Tadi Mbak Rahma katanya juga nggak muat."

Aku mengeluarkan isinya dan betapa terkejutnya waktu aku melihat baju putih yang cukup bagus.

"Ini buat saya?"

"Daripada dijual lagi, malas iklannya." jawabnya sambil tangannya sibuk mengetik pesan di hpnya.

"Tapi Gus..." ucapku sedikit berteriak karena beliaunya sudah jalan menyusul bapak dan Kang Farid.

"Sama-sama." ujarnya sedikit berteriak juga.

Aku masih memandangi baju putih yang harganya bikin aku sedikit merinding, apakah ini yang dinamakan rejeki datangnya dari arah  yang tidak disangka-sangka?

Alhamdulillah..

Tapi sekali lagi aku harus belajar mengendalikan imajinasiku. Benar kata ayah, aku kebanyakan baca dongeng akhirnya suka punya imajinasi melenceng nan ngawur.

Kalau di novel-novel itu kejadian kayak gini biasanya karena Si lelaki punya perasaan pada si wanita, alasannya saja salah beli ukuran baju padahal memang niat beli buat si wanita.

Subhanallah sungguh keterlaluan banget  imajinasiku ini..

Dan rasanya tidak mungkin Gus Alfa seperti tokoh di novel-novel. Sepertinya memang aku harus berhenti menyukai novel.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status