Share

Bab 4 : Santri Harus Bijak

"Mbak Kinan lagi sibuk nggak?"

"Enggak sih Ning, gimana?"

"Anterin ke minimarket ya! Mau belanja!"

"Boleh.."

Ning Alea langsung masuk pamit sama ibuk dan Aku langsung memakai jilbabku dengan benar, lumayan bisa refreshing keluar.

"Seneng ya punya alasan keluar!"

"Wah iya dong Din, alhamdulilah! Nggak usah capek-capek mikir alasan apalagi sampai bohong sama ibuk!"

Diniyah langsung melempar tatapan tajam padaku. Ada yang salah dengan ucapanku?

"Kamu jangan banyak gaya di sini Kinan! Ingat siapa kita ini!" bisiknya sebelum keluar dari kamarku.

Sepeninggal Diniyah, Via langsung mendekat dari ekspresinya pasti mau ghibah ini anak. Untung Rifah masih kuliah, kalau nggak bisa heboh dia ada Dini disini. "Mbak, kenapa sih Mbak Diniyah kayaknya nggak suka banget sama kamu?"

Aku memegang dua pipinya yang tembeb. "Anak manis belajar saja ya, nggak usah memikirkan hal yang kurang penting!"

"Ah Mbak Kinan, iya deh! Mbak aku nitip ya!"

"Boleh!"

Selagi aku masih bersiap, Via dan yang lainnya sibuk menulis titipan mereka. Beberapa saat kemudian aku dibuat melongo oleh panjangnya catatan yang Via berikan.

"Ya Allah, ini kalian mau buka toko apa gimana sih? Susu, energen, kopi, gula, vegeta, shampo, pewangi, pembalut, detergen, mi instan dan ini apa?? Siapa yang beli semir rambut ini?"

"Mbak Kinan yang cantik, minta tolong deh ya! Di koperasi udah pada habis belum belanja lagi pengurusnya!" rayu Via.

"Nggak janji deh ya!"

Bukannya nggak mau, tapi ini kan posisinya aku nganterin Ning Alea masa iya aku sibuk belanja sendiri? Membantu putra putri kyai itu juga termasuk bakti pada guru jadi kepentingan Ning Alea tetap aku utamakan.

Aku bergegas keluar ketika Ning Alea sudah memanggil. Aku langsung mengambil motor yang biasa dipakai santri-santri ketika di suruh ibuk pergi.

"Mbak, pakai punya Kak Al aja! Nggak ada kok orangnya!"

"Memang boleh Ning?"

"Belum bilang sih," ucapnya sambil terkekeh pelan, "..tapi insyaallah bolehlah. Kakak pergi sama Bang Zein kok." lanjutnya.

Ning Alea berlari masuk untuk minta izin ke ibuk dan tidak lama kemudian keluar dengan senyuman lebar. "Boleh Mbak, ini kuncinya! Aku atau Mbak Kinan nih yang depan?"

"Terserah Ning Alea saja!"

"Aku ya Mbak, tapi nanti pulangnya Mbak Kinan gantian di depan!"

"Pinter ya milihnya!" candaku.

Gadis yang sebentar lagi lulus SMA itu tertawa, matanya sedikit menyipit lesung pipinya yang semakin terlihat membuatnya semakin terlihat manis. Akhirnya kita berangkat dengan Ning Alea sebagai sopirnya.

"Mbak Kinan mau ada belanja nggak?" tanya Ning Alea saat kamu sudah sampai.

"Ada sih Ning tadi titipan teman-teman. Tapi aku bantuin Ning Alea dulu."

"Haha ribet amat Mbak, belanja bareng aja gimana? Aku mau beli barang-barang buat persiapan balik pondok besok Mbak, paling nggak jauh beda kan sama titipannya?"

"Ide bagus..!" ujar ku dan diangguki Ning Alea.

Aku dan Ning Alea sama-sama mendorong troly dan berkeliling bareng untuk mencari belanjaan.

"Mbak, aku bingung deh mau kuliah apa?" tanya Ning Alea di sela-sela kegiatan belanja kami.

"Ning Alea minatnya jurusan apa?"

"Jurusan rumah tangga, Mbak!"

"Hah?"

"Hehe, biasa aja kali Mbak! Memang Mbak Kinan nggak pengen?"

"Ya pengen Ning, tapi kan masih urutan keberapa gitulah. Masih ada yang lebih prioritas!"

"nggak bisa gitu juga dong, kalau ketemu jodohnya cepet gimana?"

"Ya alhamdulillah..!" jawabku.

"Hahaha, insyaallah kalau Mbak Kinan nggak lama lagi sih!" ujarnya yang sukses membuatku menghentikan langkah.

"Masa sih? Aku aja nggak tahu loh!"

Anak bungsu ibuk itu tertawa lagi. "Tunggu aja deh ya!"

"Ya memang hanya menunggu kan Ning yang bisa kita lakukan?"

"Haha, betul!"

Cukup lama aku menemani Ning Alea berkeliling mencari barang-barang yang diinginkan. Sekitar satu jam setengah kita baru selesai. Untung saja tadi pakai motornya Gus Alfa yang model metic sehingga tidak terlalu kesulitan membawa belanjaan sebanyak ini.

"Mbak, melipir sebentar Yuk!" ajak Ning Alea.

"Kemana Ning? Nanti dicariin ibuk gimana?"

"Tenang aja, aku yang tanggung tapi Mbak Kinan yang jawab! Hahaha." candanya.

"Ih Ning jangan ah! Mbak nggak berani."

"Udah sih Mbak, tenang aja! sama aku kok. Mumpung hari kamis ini kan libur ngaji. Eh Mbak Kinan puasa?"

Aku mengangguk, siapa tahu Ning Alea berubah pikiran karena aku puasa dan saat ini sudah cukup sore.

"Janji deh sebelum buka puasa udah sampai pondok lagi!"

Aku menatap nya curiga, "Ning Alea pasti ada rencana rahasia kan?"

"Hehe, yang penting mbak Kinan setuju dulu."

Akhirnya aku mengalah dan ikut keinginan Ning Alea dengan syarat harus menghubungi ibuk dulu untuk minta izin.

Ning Alea mengajakku masuk ke sebuah Cafe yang cukup bagus. Bagus menurut mereka yang punya uang tentunya, kalau aku sih mending beli makanan di warung sebelah pondok. Aku harus sedikit manjaga diri agar tidak kelihatan norak lihat tempat sebagus ini. Maklum lah jarang pergi ketempat seperti ini. Tapi santri itu harus selalu bijak, harus pintar membawa diri di segala kondisi. Intinya ojok gumunan.

"Mbak kita di sini aja deh, area nongkrong. Biasanya nggak pesen makanan nggak masalah."

"Ning Alea kalau mau pesen juga nggak apa-apa."

"Jangan ah, aku pesen buat di bawa pulang aja sekalian buat buka puasa Mbak Kinan nanti."

Ning Alea pamit ke bagian pemesanan untuk memesan makanan dan aku langsung paham tujuan rahasia Ning Alea kesini setelah melihat seorang pria yang perawakannya tidak asing. Pria yang cukup tinggi, selalu berpenampilan rapi dan menarik. Kalau pas diam aura dan wibawanya tumpah-tumpah tapi sekalinya udah bersuara bisa konyol banget mirip bapaknya.

"Assalamualaikum, wah mimpi apa ini ya aku tadi malam bisa ketemu Mbak Kinan sang bintang komplek khodijah!" ujarnya dengan gaya super konyol.

"Waalaikumsalam, Gus Rey! Terimakasih atas gombalannya!"

"Haha, Mbak Kinan digombalin sama Aliando bukannya seneng malah sinis gitu sih!"

"Aliando waktu masih ngekost maksudnya?" sahut Ning Alea yang sudah kembali.

"Eh ada Kakak Alea juga ternyata!" ujar Gus Reyshaka pura-pura tidak tahu. Jelas aku mencibir kelakuannya, bagaimana tidak kalau menit selanjutnya dua saudara ini langsung asyik ngobrol. Kalau begini ceritanya aku nih yang mimpi apa semalam, bisa duduk diantara dua anak yang Masih berstatus pelajar SMA ini. Mana tadi Ning Alea pamit mau beli makanan buat buka puasaku lagi!

"Lah kapan mainnya Kak? Aku pulang pas liburan eh kakak besok balik pondok!" keluh Gus Rey setelah mendengar pernyataan dari Ning Alea kalau besok dia mau balik ke pesantren yang ada di Ngawi.

"Makanya ini aku sempatin ketemu di sini, untung Mbak Kinan mau, Rey!"

Terpaksa mau Ning!

Cekrek...

Tiba-tiba terdengar bunyi kamera..

"Bukti otentik! Segera kirim ke grup keluarga biar dua anak ini diseret ke KUA!" ujar sang pengambil foto yang tak lain adalah Gus Zein, dibelakangnya ada Gus Alfa juga.

"Setuju sekali Abang! Segera kirim! Ke Abi Iky malah lebih ampuh lagi!" ujar Gus Rey tanpa rasa bersalah dan langsung mendapat hadiah tinju dari kedua abangnya.

"Dasar Reyshableng!!" kata Gus Zein.

Kedua Gus yang baru datang itu langsung bergabung di meja kita.

"Kalian darimana?" tanya Gus Zein.

"dari belanja Bang, melipir kesini sebentar!"

"Beneran?" tanyanya lagi seperti tak percaya dengan jawaban Ning Alea.

"Bener, Abang Zein!!! Tuh lihat belanjaan kita!" ujar Ning Alea lagi untuk meyakinkan.

Gus Zein akhirnya mengangguk. Selanjutnya dia tersenyum padaku lalu kembali asyik ngobrol bareng Gus Rey dan Alea. Dan seperti biasa aku hanya jadi pendengar setia, bukan sekali dua kali aku terjebak dalam keluarga ahmad begini. Tapi kali ini bukan hanya aku yang memilih diam menjadi pendengar tapi ada Gus Alfa juga yang lebih banyak diam. Semakin lama kenal jadi semakin tahu sifatnya, beliau ini nggak banyak omong tapi kadang suka konyol juga, seperti kemarin itu waktu tiba-tiba beliau buka jendela mushola putri.

"Kak! Pesananku udah jadi, sekalian bayarin ya!" ucap Ning Alea pada kakaknya.

"Iya." jawab Gus Alfa singkat padat dan jelas lalu kembali fokus pada ponselnya.

Aku segera membantu Ning Alea untuk membawa belanjaan kamu ke parkiran, nasib baik Gus Rey dan Gus Zein langsung sigap membantu.

"Ini buat kamu!" kata Gus Zein pelan ketika selesai mengantar belanjaanku.

"Apa ini Gus?"

"Nanti dibuka di Pondok saja!"

"Nggih!" ucapku dan buru-buru memasukkan kertas surat ke tas kecilku karena Ning Alea sudah kembali membawa belanjaan terakhir kami.

Aku membawa motor sedikit lebih cepat karena selain waktu maghrib sudah semakin dekat, aku juga keburu penasaran dengan isi surat yang Gus Zein berikan.

Begitu sampai pondok aku langsung membawa masuk belanjaan Ning Alea lalu segera kembali ke kamar. Via dan yang lain langsung menyerbu titipan mereka sedangkan aku pilih menyeruput air putih karena sudah terdengar adzan maghrib.

Aku langsung menepi ke kamar mandi dan melupakan makanan yang Ning Alea belikan untuk buka puasa. Aku mengunci diri di kamar mandi dan dengan sedikit gugup juga deg-degan aku membuka surat dari Gus Zein.

Assalamualaikum..

Sebelumnya saya minta maaf kalau datangnya surat ini akan menganggu kamu.

Seperti fungsi surat pada umumnya, lewat surat ini saya ingin menyampaikan maksud dan tujuan saya. Saya rasa kita sudah sama-sama paham bahwa rasa suka pada yang belum halal itu adalah cobaan, bahkan cenderung mengajak ke arah maksiat.

Maka dari itu, Lewat surat ini saya sampaikan keinginan saya untuk memintamu sebagai istri saya, saya sadar secara umur mungkin saya ini jauh dari tipe idaman kamu. Saya juga sadar bahwa kemungkinan kamu menolak saya itu juga besar, mengingat saat ini kamu masih berjuang tholabul 'ilm. Saya minta maaf lagi karena dengan tidak tau dirinya nekat mengirim surat ini.

Saya bukanlah orang yang banyak mau dalam memilih pasangan karena saya sadar saya juga orang yang masih jauh sekali dari sempurna.

Kinanti Alfathunnisa, seseorang yang belakangan ini membuat saya harus ekstra mengendalikan diri agar tidak terjerumus ke hal berbau dosa. Tentunya apa yang kita inginkan itu sama yaitu hidup berkah.

Saya nekat sampaikan ini bukan untuk membebani kamu, selagi belum ada kesepakatan diantara kita terlebih lagi belum ada ikatan yang kuat dan halal, tetap fokus pada cita-citamu, tetap fokus mencari ridlo Allah. Saya akan tetap menerima semua keputusan kamu.

Kamu punya banyak waktu untuk memikirkan permintaan saya, dengan senang hati saya akan menunggu jawaban kamu sampai kamu benar-benar yakin dengan keputusan kamu. Dan perlu saya sampaikan saya sama sekali tidak keberatan punya istri yang masih harus nyantri.

Sekali lagi saya minta maaf.. Semoga surat ini tidak menganggu proses tholabul 'ilm kamu.

Wassalamualikum

Zein Maulan Ibrahim.

Aku menarik nafas dalam, tiba-tiba rasanya panas dingin begini ya?

Aku langsung memasukkan surat itu ke saku dan segera mengambil wudlu.

Gus Zein ada-ada saja, Bagaimana bisa hal semacam ini tidak akan membebani? Jelas sekali aku akan kepikiran ini terus.

Dan tadi dia tulis apa? Tidak keberatan punya istri yang masih harus nyantri?

Itu artinya jika aku menerimanya, aku akan langsung menikah tanpa menunggu khataman?

Duh Gusti Allah... Paringi petunjuk...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status