Share

Bab 3 : Santri Multitalenta

Menjalani hari di pesantren memang tidak sebebas di rumah. Di pesantren itu penuh dengan aturan tapi tidak untuk mengekang, melainkan mengendalikan. Namanya juga kita sedang belajar mendalami ilmu agama, tentunya sebisa mungkin meminimalisir hal-hal yang sekiranya bisa berpengaruh dalam proses belajar kita.

Belajar tentu untuk mencari ilmu dan ilmu tak jauh dari adab. Di pesantren dua hal itu sangat ditekankan, berilmu tapi tidak beradab akan terasa percuma karena dari ilmunya tidak akan bisa menghasilkan kebaikan, bahkan tak sedikit orang yang berilmu tapi kelihatan arogan dan merasa paling benar karena minimnya adab.

Sebaliknya, orang yang beradab atau berakhlak mulia walaupun ilmunya sedikit tetap akan terpancar kebaikan dari dirinya, tetap akan dikenal sebagai pribadi yang mulia maka dari itu banyak sekali anjuran dari ulama-ulama untuk mendahulukan adab daripada ilmu. Karena orang beradab akan lebih mudah menerima ilmu.

"Kamu lagi menghafal buat setoran besok pagi atau lagi menghayal om-om sih?"

"Eh, sejak kapan kamu disini?" tanyaku pada Rifah. Sembarangan anak ini, orang aku lagi merenungkan ngaji sama bapak tadi sore.

"Astaghfirullah, kamu ya kalau lagi ngehaluin om-om jiwanya hilang dari raga!"

"Mati dong?"

Rifah langsung membungkam mulutku. "Jangan dulu dong, nanti siapa yang bantuin aku ngerjain tugas!" ujarnya diakhiri dengan pelukan, orang ini sedikit lebay memang.

Rifah yang tadinya duduk di salah satu pojokan mushola putri itu mendekat lalu menyodorkan qurannya. "Tolong simak sebentar setoran ku, agak senut-senut ini kepala!"

Aku menerima mushafnya lalu Rifah mulai menghafal Al furqon ayat 68-77. Kita berdua memang selalu menyimak satu sama lain sebelum besok pagi setoran pada Ibuk Syifa, anjuran juga sih dari beliau, harus sering-sering minta di simak teman sebelum disetorkan.

Jumlah ayat per setoran tidak sama antara satu dan yang lain, Rifah dan beberapa teman yang sekolah biasanya ibuk menargetkan satu halaman quran kudus tiap setoran agar ngaji dan sekolah mereka tetap berjalan.

Bagi yang tidak sekolah biasanya targetnya satu lembar quran kudus tiap setoran. Yang otaknya paling encer ya Mbak Rahma itu, sekali setoran bisa satu setengah lembar. Ibuk juga menganjurkan memakai quran kudus untuk hafalan, mungkin masih agak asing ya apa itu quran kudus? Mushafnya ya sama seperti yang lain kok, cuma mungkin dinamai berdasarkan nama penerbitnya dan jumlah ayat dalam satu halamannya sedikit berbeda dengan cetakan lain.

Di Quran kudus ayatnya selalu selesai disetiap halaman jadi tidak ada ayat yang terpotong ke halaman berikutnya, ada juga yang menyebutnya quran pojok. Eh gimana ya kok aku ngomongnya agak belibet! Kalau ada yang bingung bisa beli saja nanti paham yang aku maksud.

"Sekali lagi ya Mak! Dua ayat terakhir belum lancar!" titahku pada sahabat baikku ini.

"Inggih Bu nyai!"

Malah ngeledek ya!

Meskipun tertawa dulu akhirnya Rifah mengulang setorannya sampai benar-benar lancar. Selanjutnya aku yang minta tolong disimak setoran ku, manfaatnya emang banyak sih saling menyimak begini. Rasanya akan berbeda ketika menghadap ibu, lebih percaya diri aja gitu.

"Jam 11 eh, cepet banget perasaan!" keluh Rifah saat selesai menyimak ku.

"Tidur aja dulu nanti susah bangun tahajud!"

"Hehe, tadi aku udah merem sebentar jadi mau nderes aja sampai waktu tahajud. Nih amunisiku udah banyak!" ujarnya sambil menunjukan jajan nya.

"Baguslah! Kalau begitu aku yang mau tidur. Setengah jam ya, nanti minta tolong bangunin!"

"Mau cara halus apa kasar?"

"Cara sayang!" jawabku dan langsung mendapat lemparan bantal kecil darinya.

Kebetulan dilempar pakai bantal. Aku langsung merebahkan diri di mushola, agak mager jalan ke kamar, kalau di kamar nanti tidurnya nyenyak dan nyaman, membuatku yang tukang molor ini susah bangun.

Dan seperti sudah ada alarm otomatis, aku terbangun walaupun lebih dari setengah jam sih tidurnya. Hampir jam 12 malam ini masih ada beberapa yang nderes, ada juga yang masih mengerjakan tugas sekolah.  Dan ada juga yang pengen banget diketawain. Perasaan tadi ada yang bilang nggak mau tidur, tapi nyatanya malah nyenyak banget walaupun tanpa selimut. 

Aku sengaja ke kamar mandi dulu untuk wudlu sebelum membangunkan Rifah, sepertinya memang kelelahan ini anak. Setelah siap baru aku membangunkannya karena sebentar lagi pasti ada bel tanda semua harus bangun sholat tahajud.

"Jadi sebenarnya apa guna segelas kopi, dua bungkus keripik sama satu bungkus biskuit coklatnya tadi?"

"Haha, berguna kok buat aku melek. Tapi pas semuanya habis langsung ngantuk, ya gimana dong!!"

Aku meninggalkan Rifah yang masih sibuk menguap. Aku berhenti beberapa langkah sebelum masuk ke mushola utama komplek ini.

Gus Zein dan Gus Alfa jam segini masih ngobrol di depan rumah, sudah bangun atau belum tidur? Dan apa urusannya sama kamu Kinan??

Aku dan tiga teman lain berjalan melewati mereka berdua, kebetulan mushola utama berada di depan ndalem.

"Mau tahajudan ya?" tanya Gus Zein, entah pada siapa aku hanya ikut nunduk bareng ketiga temanku tadi.

"Nitip doa ya! Belum tidur soalnya mau ikut sholat!" tambahnya diakhiri ringisan pelan. Lagi-lagi aku hanya mengangguk dan tersenyum tipis, lalu pamit segera masuk ke mushola. Sebelum menjauh aku melirik sebentar Gus Alfa yang diam saja, fokus ke ponselnya berbeda dengan Gus Zein yang menyapa kami.

Laki-laki sebenarnya tidak jauh dari wanita dalam hal ngobrol, buktinya dua Gus yang masih asyik mengobrol. Dua pria berbeda generasi itu masih belum pindah posisi ketika para santri sudah selesai tahajud.

Sebelum aku masuk ke komplek putri, samar aku mendengar bapak menegur mereka berdua, barulah mereka pindah mengangkut semua makanan dan kopi yang membuat mereka betah ngobrol. Lucu sih kalau melihat tingkah mereka ketika ditegur bapak.

"Kinan, aku ngantuk banget!" keluh Rifah. Tangannya sibuk mengucek mata.

"Mau maju duluan?" tawarku. Seusai sholat shubuh kita masih antri maju setoran sama Ibuk Syifa.

"Kamu terakhir nggak apa-apa?" tanyanya.

"Enggak!"

Rifah tersenyum lebar merasa misinya berhasil. Hafal banget sama kelakuannya, Rifah selalu menghindari urutan terakhir untuk setoran.  Biasanya di kegiatan habis shubuh begini Ibuk minta Mbak Rahma untuk membantu mengajar ngaji bagi santri-santri baru dan yang tidak menghafal agar tidak terlalu lama selesainya.

Kegiatan sorogan sehabis shubuh terkadang  banyak yang kurang fokus. Mungkin ada yang terburu-buru punya tugas sekolah tak terkecuali Rifah ini, alhasil aku harus rela maju terakhir.

Dan saat tiba giliranku alhamdulillah halaman pertama setoran lancar, tapi dihalaman kedua aku harus mati-matikan menjaga konsentrasi karena ada sedikit gangguan yang tiba-tiba datang dan cukup menimbulkan suara berisik di mushola putri ini.

"Bunda, jadinya mau diantar Alfa atau bareng Kak Sean?" tanya Gus Alfa yang tiba-tiba dari luar membuka jendela mushola dekat tempat ibuk duduk.

"Ya Allah Alfa! Ngagetin!" tegur ibuk dan hanya tanggapi senyuman biasa oleh Gus Alfa. Senyuman biasa bagiku tapi tidak bagi teman-teman dibelakang yang semakin santer Bisik-Bisik.

"Gimana? Mau diantar Alfa?" tanyanya lagi.

"Iya,  tunggu sebentar Bunda selesaikan ngajinya Kinan dulu!"

"Siap Bunda! Kalau begitu Alfa mandi dulu!" ujar Gus Alfa, "Assalamualaikum ukhti-ukhti..!" lanjutnya sebelum menutup jendela dan jelas sekali membuat ukhti-ukhti yang disapa menjadi semakin ribut, tapi tentu saja tidak lama karena masih ada ibuk di sini.

Dengan sisa-sisa konsentrasi aku melanjutkan setoran ku.

"ulangi-ulangi!" ujar Ibuk mencoba menenangkanku karena konsentrasiku benar-benar buyar.

Akhirnya dengan susah payah dan diulangi dua kali, setoran ku selesai dengan cukup baik. Alhamdulillah.

"Maaf ya jadi keganggu ngajinya gara-gara anak iseng tadi!" ucap Ibuk ketika selesai menandai setoran ku yang berikutnya.

"mboten ibuk! Saya yang kurang nderesnya!"

Ibuk tersenyum menanggapi ucapanku. Kalau boleh jujur aku malah seneng maju ngaji terakhir begini karena biasanya ibuk ngajak ngobrol dulu sebelum kembali ke ndalem.

"Yang rajin murojaah ya, sama rajin buat setorannya. Kalau bisa ikut khataman tahun ini!"

"Insyaallah, nyuwun tambah doa pangestu, Ibuk!"

"Sudah pasti, Ibuk selalu mendoakan kalian semua anak-anak Ibuk! Oh iya Kinan, kamu siap-siap ya, jam 8 nanti ikut Ibuk!"

"Nggih, Ibuk!"

Walaupun sangat amat penasaran tujuan Ibuk tapi aku tidak mengutarakannya dan memilih menyanggupi. Kata ayah nggak boleh banyak tanya apalagi protes, ketika ada permintaan dari guru itu berarti memang guru sedang butuh bantuan kita maka dari itu nggak usah pengen tahu mau kemana langsung ikut aja.

Aku langsung bersiap, masih ada waktu satu jam, itu lebih dari cukup. Begitu siap dengan kostum putih aku langsung masuk ke ndalem, membantu Ibuk membereskan keperluannya.

Tapi ketika tahu tujuannya aku sedikit ada rasa penyesalan. Coba saja ya bisa kabur atau menghilang pasti aku nggak harus terjebak dalam acara yang sangat indah nan harmonis yang diadakan dirumah Umi Sada ini. Ternyata ibuk mengajakku ke acara keluarga, di sini hampir sebagian besar bani Ahmad kumpul. Dan aku? Hanya seorang santri kentang yang lebih memilih duduk di dapurnya Umi Sada dari mulai acara sampai makan-makan.

"Kok disini Mbak? Duduk di luar ayo, nggak apa-apa! Kok malah di dapur!"

"Terimakasih Umi, saya di sini saja!"

Aku semakin gugup ketika Umi Sada berjalan mendekatiku. "Kamu Kinan?" tanya beliau sambil memegang pundakku.

Aku hanya bisa mengangguk. Sungguh rasanya terharu campur seneng, rasanya nggak percaya juga salah satu pengasuh pesantren tahu namaku.

"Sudah sampai juz berapa setorannya?" tanya Umi Sada lagi.

"Alhamdulillah mulai 26 Umi, pangestunipun!"

"Alhamdulillah, semoga lancar ya. Di beri kemudahan sama Gusti Allah." ucap beliau sambil tersenyum manis dan langsung aku aminkan.

"Udah tahu kan sekarang?" tanya Ibu Syifa yang tiba-tiba bergabung di dapur.

"Iya, sering lihat kalau ini kan sering kamu ajak ke acara-acara. Cuma nggak hafal namanya!" jawab Umi Sada, keduanya langsung pamit keluar sempat mengajakku juga tapi aku minta izin tetap disini.

"Jadi gimana?" Samar-samar aku mendengar Ibuk Syifa bertanya lagi.

"Insyaallah Syif, baik anaknya. Kalau udah kamu percaya berarti udah lolos uji kan? Tinggal nunggu khatamnya aja, aku pengen cepet punya mantu, Si Zein itu harus di pecut dulu baru mau mencari calon istri, ternyata udah punya incaran anaknya!"

Aku benar-benar tidak mau menjadi santri yang tau diri. Bisa-bisanya aku kepedean mengira yang Umi dan Ibuk bicarakan adalah aku, Ya Tuhan ampuni Kinan..

"Kinan!"

"Eh, astagfirullah! Iya Gus!"

"Ngapain bengong?"

Aku hanya mendunduk dan tersenyum menjawab pertanyaan Gus Alfa.

"Daritadi di sini? Udah makan belum?"

"Nanti gampang Gus!"

"Puasa?" tanyanya lagi dan aku menggeleng.

"Ya sudah sana makan, atau saya panggilkan Alea ya biar nemenin kamu ambil makan!"

"Nggak usah Gus, makasih banyak. Nanti saja!" tolakku secara halus. Kalau dibilang lapar ya memang tapi aku pilih menahan lapar sampai pondok nanti daripada harus keluar mangambil makan ditengah-tengah keluarga ahmad.

"Malu ya keluar? Ini udah dibawa masuk!" sahut Gus Zein yang masuk ke dapur membawa satu piring makanan.

"Ini dimakan ya! Tante Syifa yang ngambilin!" tambah Gus Zein sambil meletakkan piring di dekatku.

"Terimakasih, Gus!"

Ya Allah... Gimana ini??

Jangan gila Kinan! Jangan GR!! Apalagi menghalu!!

Aku masih mendiamkan piring itu, malu banget masa makan didepan dua Gus ini.

"Kamu liburan bulan depan pulang nggak?" tanya Gus Zein tiba-tiba, walaupun bingung tetap aku jawab dengan anggukan. Perasaan kalau didepan Gus-gus ini aku hanya bisa mengangguk dan menggeleng ya?

"Aku keluar dulu, Bang!" pamit Gus Alfa yang sejak tadi diam menikmati tehnya.

"Al! Ikut!" teriak Gus Zein lalu berlari mengikuti adik sepupunya.

Sepeninggal mereka aku makan sambil terus beristighfar agar imajinasi dan kehaluan ngawur di otakku ini menghilang. Bisa-bisanya aku berimajinasi Gus Zein bertanya tentang kepulanganku karena mau datang kerumahku. Memang benar kata Rifah, aku ini santri Multitalenta, selain jago mandi cepat juga jago menghayal.

Astaghfirullah, sadar Kinan!!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status