Pertengkaran Hati

Pertengkaran Hati

Oleh:  Eel ardian  On going
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel16goodnovel
10
1 Peringkat
10Bab
1.4KDibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Tinggalkan ulasan Anda di APP

Seorang Pak Bos yang berstatus duda, mencintai karyawannya yang bernama Antysa Nabila, kebaikan yang dimiliki pak Hari serta tingkat humoris yang tinggi membuat Antysa membalas cinta pak Hari, namun cinta yang mereka jalani dengan usia yang terpaut jauh ini, selalu mendapat gangguan dari mantan istri pak Hari yang bernama Siska. Siska rela melakukan apa saja demi kembali pada pak Hari, namun hati pak Hari sudah terlanjur dimiliki oleh Antysa. Ditengah kesalah pahaman yang diciptakan oleh Siska, datanglah Dion yang merupakan teman semasa kecil Antysa.

Lihat lebih banyak
Pertengkaran Hati Novel Online Unduh PDF Gratis Untuk Pembaca

Bab terbaru

Buku bagus disaat bersamaan

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen
user avatar
Effendi Jingga
Semangat, yaaaaa? semangat!...
2021-08-28 14:19:25
1
10 Bab
Chapter 1
Terjebak cinta terlarang Pak Bos "Maaf, Pak minta tanda tangan nya di sini." "Sik... Sini yang mana, An?" "Ini, Pak."Aku segera menyodorkan tumpukan kertas setinggi 3cm. "Wih borongan sampeyan, An? ngasih sing akkeeeh tenan." "Iya, Pak... Itu kan rincian detail satu bulan ini." "Wis lah nanti tak tanda tangani An, oya nanti kamu ke bank ngga? Itu dana yang diajuin kemarin udah dikirim loh, An." "Iya, Pak. Nanti saya ke bank sama supir sekitar jam 10, oya sekalian Pak, ini tolong tanda tangan buat ceknya ya, Pak... Buat ke bank." sambil menyodorkan satu lembar cek. "Nih, An. Udah."Pak Hari menyodorkan selembar cek dengan senyum yang merekah. "Makasih, Pak." "Njih... An."  *** Aku segera berjalan menuju mobil di park
Baca selengkapnya
Chapter 2
Terjebak cinta terlarang Pak bosPanas dingin aku memikirkan jawaban apa yang harus aku berikan pada Pak Hari, aduh... ada apa dengan Pak Hari ini, pikirku.Ditambah pikiran mengenai laporan keuangan yang harus aku selesaikan, sukses membuat pikiranku mumet dan ingin berteriak, aku memejamkan mata seraya berpikir, oke... Aku balas saja pesan Pak Hari, sudah terbaca ini, kalau tidak dibalas nanti bisa kena SP lagi, pikirku. [Maaf Pak, saya dijemput sama Ayah saya, tadi beliau sudah menelpon.] segera ku kirimkan dengan Pak Hari. [Oh yasudah Buk tidak apa-apa, ngga berani juga nentang keputusan camer] "Hah????!!" Makin terkejut aku membaca balasan dari Pak Hari, ya ampun sebenarnya kenapa Pak Hari ini, dia bercanda atau bagaimana, kepala ku senat-senut rasanya, aku memutuskan tidak membalas pesannya , karena aku tak tau harus membalasnya dengan kalimat apa. *** 
Baca selengkapnya
Chapter 3
Aku sudah selesai bersiap ke kantor, memakai setelan kemeja pink salem, dipadu dengan celana hitam, dilengkapi dengan hijab berwarna senada. Tiba-tiba dering ponselku berbunyi dan tertera nama 'Pak bos' di sana. Ada apa Pak Hari menelpon sepagi ini, ada yang urgent, 'kah?   "Assalamu' alaikum, Pak."   "Walaikumus salam, Buk. Saya udah di ujung jalan dekat rumahmu, Buk." Terdengar suara dari seberang.    "Loh, ngapain di sana, Pak?" tanyaku kaget.   "Ya ... jemput kamu lah, Buk." jawabnya datar.   "Kapan kita janjian mau pergi ke kantor bareng, Pak?" tanyaku sedikit heran.   "Ya nggak ada janji, sih. Tapi berhubung saya sangat peduli dan juga takut kalau karyawan saya telat, jadi saya jemput. Nggak salah, 'kan? Udah, Buk. Ayo, kita pergi nanti telat." jawabnya santai.   Apalagi ini? Tak mungkin juga ditolak, jika dia sudah di depan. a
Baca selengkapnya
Chapter 4
Aku hanya menggigit bibir mendengar ucapan Pak Hari.   "Halo, An." "Buk, kamu masih di situ kan?" "Halooooww, Buk Antysa."   "Eee ... iya, Pak. Saya masih di sini."   "Sebenarnya, saya mau dateng ke rumahmu. Tapi berhubung ini sudah malam, jadi saya telepon saja. Buk, saya benar-benar sudah bercerai dari istri saya, saya bisa buktikan itu kalau kamu nggak percaya."   "Kapan Bapak bercerai?" Karena seingat ku tak pernah ada yang bergosip mengenai perceraian Pak Hari di kantor,  padahal aku tahu betul orang-orang di kantor, berisi ratu gosip semua.   "Sudah 4 bulan yang lalu. Kamu ingat waktu saya cuti selama satu minggu, pada 4 bulan yang lalu. Satu bulan setelah kamu kerja, di sanalah momen di mana saya sedang terpuruk. Ummm ... begini saja, Buk. Besok saja saya ceritakan, karena kurang enak rasanya kalau harus menjelaskan via telepon."  
Baca selengkapnya
Chapter 5
Malam ini aku habiskan dengan mendengarkan lagu dari penyanyi perempuan jebolan salah satu pencarian bakat, Fatin Sidqia. Bukan tanpa alasan, karena apa? Karena sepanjang perjalanan pulang bersama Pak Hari tadi siang, hanya album penyanyi perempuan itu saja yang kudengar, sepertinya Pak Hari menyukai lagu-lagu darinya. Entahla, aku hanya menebak sebenarnya.   Malam ini aku seperti dimabuk cinta, kebahagiaan yang sulit kuungkapkan telah bersemi mengisi relung hati. Secepat inikah aku menaruh hati padanya? Ah, siapa yang tak ingin mendapatkan lelaki seperti Pak Hari? Lelaki tampan berwibawa serta bijaksana.   Tetapi, Kalau sampai semua orang tau mengenai hubungan yang kumiliki dengan Pak Hari bila aku menerimanya, apa nanti kata mereka? Usiaku yang baru 23 tahun menjalin hubungan dengan lelaki duda berusia 38 tahun. Apa kata keluargaku? Ah, nanti saja kupikirkan itu, aku tak mau mengganggu suasana hatiku saat ini.   Ting!
Baca selengkapnya
Chapter 6
Sengaja sore ini aku tak mengizinkan Pak Hari mengantarku pulang karena aku tak mau orang kantor berpikiran negatif, dengan status duda Pak Hari yang sama sekali belum diketahui orang-orang kantor.   Aku membaringkan badanku yang letih di atas kasur, pikiranku melayang memikirkan sosok Pak Hari, entah kenapa ada rasa rindu yang menelusup. Aku merasa mulai mencintai Pak Hari, sosoknya yang perhatian dan lucu membuat aku tak ingin jauh darinya.   Aku melirik jam yang menempel di dinding, jam menunjukkan pukul 20:35. Tetapi, kenapa Pak Hari tak kunjung menghubungiku? Apakah dia merasa kecewa karena aku tak mengizinkannya mengantarku tadi? Kenapa juga aku gelisah seperti ini? Sepuluh, dua puluh, hingga empat puluh menit kemudian tak kunjung ada kabar darinya. Ah, bisa mati penasaran aku kalau begini, kuputuskan untuk menelponnya.   Tuuuutt! Tuuuut! Belum ada jawaban juga, kemana Pak bosku ini? Apa dia marah atau jang
Baca selengkapnya
Chapter 7
Pagi ini aku sudah menyiapkan beberapa pakaian dan keperluan yang mungkin akan aku butuhkan selama dua hari di kota A. Aku hanya tinggal menunggu Mas Budi menjemput saja.   "An, itu jemputanmu sudah datang, Nak." Suara terdengar dari balik pintu.   Aku merapikan tas dan siap berangkat. "Iya, Buk, sebentar."   Mas Budi langsung menyambar koper kecilku dan memasukkannya ke dalam mobil. Eh, tapi tunggu ... aku seperti mengenal orang yang berbicara dengan Ayah. Aku mundur dua langkah agar bisa melihat sang empunya wajah dan ternyata itu Pak Hari.   Oalah itu beneran Pak Bos, aku mematung dengan mulut yang menganga, dia keren sekali pagi ini, tidak seperti biasanya. Gayanya hari ini jauh dari kata formal, dia berpenampilan seperti anak muda. Perpaduan baju dan celana selutut yang di gunakannya serta dilengkapi dengan sepatu branded, sungguh tampilan yang indah dipandang.   "Sudah siap
Baca selengkapnya
Chapter 8
Mata ini tak kunjung mendapatkan rasa kantuk, aku memikirkan kemarahan Pak Hari yang kulihat tadi, rasanya ingin bertanya padanya. Namun, aku takut ... aku tak berani mencampuri urusannya. Sekarang, aku hanya mondar-mandir, sesekali mengintip ke layar televisi di kamar ini, rasa kesalku pada Pak Hari berubah menjadi rasa penasaran yang tinggi.   Aku benar-benar tak bisa tidur karena gelisah. Kuputuskan untuk mencari udara segar saja di luar, siapa tau aku lebih tenang dan menikmati keindahan lampu yang berwarna-warni di taman hotel.   Rasa dingin menelusup hingga ke tulangku dan ditambah aku yang tidak memakai jaket membuat desiran angin masuk ke pori-pori.   Sedang asyik menikmati lampu-lampu taman, aku dikejutkan oleh bisikan di telingaku.   "Ngapain di luar, Buk?" Aku menoleh, ternyata itu Pak Hari.   "Nggak ngapa-ngapain, Pak. Hanya saja saya belum bisa tidur," jawabk
Baca selengkapnya
Chapter 9
Aku begitu bahagia, hari-hariku lalui dengan penuh senyuman, pusing karena pekerjaan pun rasanya terbayar jika selepas kerja, aku bisa melihat sosok Pak Hari menemaniku.    Tak terasa satu bulan berlalu, hubungan kami makin erat, bahkan kami berniat ingin melangsungkan kejenjang yang lebih serius, angan-angan pernikahan pun sudah di depan mata, bulan depan rencananya Pak Hari akan melamarku. Ah, bahagianya aku.   "Hey, ngelamuni apa, sih? Senyam-senyum aja." Aku menoleh ke sumber suara, ternyata itu Manda.   "Apa, sih, Man? Kepo, deh."   Manda bersender pada meja kerjaku dan senyum-senyum seraya memicingkan mata. "Iya, deh. Yang sebentar lagi jadi nyonya Hari Setiawan Wicaksono, Beb kalo kamu udah nikah sama Pak Hari nanti, kamu masih kerja di sini nggak, sih? Masih mau temenan sama aku yang karyawan biasa ini, 'kan?"    Aku menarik beberapa helai rambutnya. "Mulai, deh
Baca selengkapnya
Chapter 10
Pagi ini aku bangun dengan mata yang seperti berkunang-kunang, mungkin terlalu banyak menangis semalam. Mataku pun terlihat bengkak di cermin. Ah, malu rasanya kalau harus berangkat kerja dengan mata bengkak seperti ini, kuputuskan untuk meminta izin saja untuk tidak masuk kerja.   Aku segera menghubungi Manda, agar bisa menyampaikan izinku pada Pak Taufik kepala HRD.   Hari ini aku hanya menghabiskan waktu di kamar, sesekali menggosok cincin di jari manis. Siapa tahu keluar jin hihi, perasaan bahagia dan sedih pun bercampur di dalamnya.   Ponselku berdering, tapi entah kenapa malas sekali rasanya mengangkat panggilan itu, sudah bisa dipastikan itu adalah Pak Hari. Aku tetap bergeming dengan musik di ponsel itu, aku butuh istirahat saat ini.   ***   Tiba-tiba aku dikagetkan oleh suara Ibu. "An, ada si Hari di luar nak."   "Ngapain, Buk?" tanyaku heran
Baca selengkapnya
DMCA.com Protection Status