Share

Chapter 4

Aku hanya menggigit bibir mendengar ucapan Pak Hari.

"Halo, An."

"Buk, kamu masih di situ kan?"

"Halooooww, Buk Antysa."

"Eee ... iya, Pak. Saya masih di sini."

"Sebenarnya, saya mau dateng ke rumahmu. Tapi berhubung ini sudah malam, jadi saya telepon saja. Buk, saya benar-benar sudah bercerai dari istri saya, saya bisa buktikan itu kalau kamu nggak percaya."

"Kapan Bapak bercerai?"

Karena seingat ku tak pernah ada yang bergosip mengenai perceraian Pak Hari di kantor,  padahal aku tahu betul orang-orang di kantor, berisi ratu gosip semua.

"Sudah 4 bulan yang lalu. Kamu ingat waktu saya cuti selama satu minggu, pada 4 bulan yang lalu. Satu bulan setelah kamu kerja, di sanalah momen di mana saya sedang terpuruk. Ummm ... begini saja, Buk. Besok saja saya ceritakan, karena kurang enak rasanya kalau harus menjelaskan via telepon."

"Tapi besok libur, Pak."

"Oh, iya ya. Gini aja, gimana besok saya jemput kamu. Kita cari tempat untuk ngobrol dan tolong jangan menolak permintaan saya ini. Yasudah, ini sudah malam. Kamu harus tidur, selamat malam, Buk. Saya mencintaimu."

Aku yang masih terbengong baru sadar kalau suara Pak Hari sudah menghilang dari peredaran.

Yak ampun enak betul main matiin telepon. sedangkan, aku di sini seperti orang bodoh yang menantikan jawaban. Memangnya, aku sudah mengatakan setuju untuk pergi bersamanya besok. Ish ... Kebiasaan sekali Bapak satu ini.

Aku masih belum bisa mendapatkan rasa kantukku yang telah menghilang entah kemana. Kalau betul Pak Hari sudah bercerai, apa aku siap menjalin hubungan dengannya yang menyandang status duda? Aku masih terbayang-bayang hubungan 6 tahunku dengan Galih yang telah kandas 1 bulan yang lalu. Rasa perihnya pun masih tersisa, masih membekas hingga ke relung hati terdalam.

Darimana Pak Hari tau hubunganku dengan Galih, apa dia juga ikut bergosip ria di kantor? Dan kapan pertemuan pertama dan kedua antara aku dan Pak Hari? ya ampun! Aku benar-benar tak tau jawabannya. Aku menggosok-gosok keningku pertanda aku mulai pusing dengan pertanyaan yang kuciptakan sendiri.

***

Dering ponselku berbunyi dan dengan berjalan sedikit menyeret, ku ambil ponsel kesayanganku. karena kesadaranku pun belum terkumpul semua nya. Mungkin masih tertinggal di kasur dan bantal.

"Halo, Buk." sapa suara dari seberang.

"Hmm ... halo, Pak."

"Baru bangun ya kamu, Buk? Tuh lap dulu ilernya nempel di pipi manismu."

Entah tiba-tiba reflek aku memegang pipiku

"Issh ... apa si, Pak? kenapa si telepon sepagi ini?" tanyaku kesal.

"Pagi? Ini udah siang loh, Buk." jawabnya dengan nada terheran.

Segera kulirik jam yang tertempel di dinding, dan jam menunjukkan pukul  05:02. Berarti masih subuh kan ya? Ku lihat lebih dekat karena takut salah, apa jam nya mati? Ah, tidak jarumnya masih berjalan.

"Bapak halu ni. Tuh! Masih jam 5 pagi."

"Oh ya? Kok di tempat saya udah siang ya, Buk?"

"Halaaah, sekarep mu lah, Pak. Wiis ... ono opo telepon pagi-pagi?" tanyaku sedikit malas.

"Wiiih ... sedep bener denger kamu ngomong Jawa, Buk. Ah, kalau saja kamu di sini dah tak cubit pipimu itu."

"Mulai deeeehh ... tak matiin ni?" ancamku pada Pak Bos ini.

"Eh, jangan dong. Saya cuma mau ingetin kamu, jangan lupa nanti jam 8 saya jemput ya?"

"Apa? Jam 8? Oalah, Pak. Pagi bener, sih! nggak bisa gitu kalau siangan dikit?" tanyaku kesal.

"Nggak, Buk. Ngga bisa! Saya maunya pagi, sekalian sarapan berdua. kalau mau lanjut makan siang terus malem itu lebih bagus, Buk."

"Uuww ... maunya. Saya nggak mau, ah! Kepagian itu."

"Mau saya kasih SP, nih?!" ancam Pak Hari.

"Lah! Apa hubungannya SP sama kita mau pergi, Pak? Oalah, wislah sekarepmu ajalah pak."

"Nah, gitu dong! Eh, ngomong-ngomong saya suka sekali denger kamu ngomong bahasa Jawa, sedeeepp gitu loh Buk dengernya. Walaupun, cuma sedikit, nanti tak ajarin lah."

"E ... nggak! nggak, Pak. Nggak usah." tolakku dengan wajah yang ditekuk.

"Kenapa? Biar kamu tambah pinter, Buk."

"Belajar bahasa daerah saya aja, saya belum lulus. Mau ditambah bahasa Jawa pula, jangan nambah-nambahin kerjaan saya deh Pak."

"Iya, pelan-pelan aja belajarnya, Buk. Apalagi kalau kamu udah jadi istri saya, saya ajak ngomong Jawa seharian."

Mataku tiba-tiba membulat sempurna, istri? Aduuh, masih pagi buta udah bikin panas dingin.

"Terserah, Bapak, deh ya ... mau ngomong apa."

"Nggak sekarep mu aja, Buk?"

"Aduh! aduh! Nanti saya sakit kepala ni denger bapak ngomong mulu, jadi nggak bisa pergi nanti, Bapak mau?"

"Eh, jangan dong. Iya, saya nggak ngomong lagi."

"Yaudah, saya mau sholat dulu."

"Njiih, Buk. Kalau saya udah tadi, habis sholat langsung telepon kamu."

"Iya, Pak. Walaikumus salam."

"Oalah, belum juga saya ngomong assalamu'alaikum, udah walaikumus salam aja, yasudah, deh. Assalamu'alaikum.''

"Walaikumus salam."

Aku segera menunaikan kewajibanku subuh ini.

Kira-kira baju apa yang harus kupakai nanti, ya?

***

Aku melihat diriku di cermin berulang-ulang. Entahlah, rasanya aku ingin tampil sempurna pagi ini di depan Pak Hari. Tak bisa kupungkiri, Pak Hari adalah sosok yang sangat ideal untuk seorang laki-laki menurutku, perawakannya yang tinggi serta dipadu dengan kulit yang sawo mateng, yaa ... Nggak hitam dan nggak juga putih, dihiasi dengan potongan rambut yang sangat cocok pada wajah nya itu. Ah, gagah sekali dia. Yak, ampun! Kenapa aku jadi mikirin Pak Hari.

"An, itu ada orang mencarimu."

Lamunan ku terbuyar karena suara Ibu yang tiba-tiba mengagetkanku.

"Siapa, Buk?" tanyaku pada Ibu.

"Nggak tau, An. Sepertinya, udah cukup dewasa." jawab Ibu dengan dahi yang mengkerut.

Waduh! apa itu Pak Hari? Yak, ampun! kenapa dia jemput di rumah, sih? Apa nanti yang bakal ayah dan ibu pikirin tentang aku, cukup dewasa kata Ibu? iyalah, orang udah Bapak-bapak.

Aku cepat-cepat ke depan memastikan bahwa itu memang Pak Hari. "Eh, Bapak kok jemput di rumah sih?"

"Kenapa emangnya, Buk? Kamu malu karena ketahuan dijemput Bapak-bapak? kalau kamu malu jalan sama saya. Iya ... nggak apa-apa Buk, saya pulang aja." jawabnya sedikit melas.

"Eeee, nggak kok, Pak. Siapa bilang saya malu. Hayuk, saya udah siap," Ajakku pada Pak Hari.

***

"An, kamu cantik hari ini."

"Oh ya? Emangnya hari-hari kemarin nggak cantik?"

"Cantik, dong! Tapi, kalau hari ini cantiknya jadi double." godanya dengan mengerlingkan mata.

Pak Hari sukses membuat wajahku bersemu merah, untung saja sepertinya ketutupan sama blus on yang kupakai. Jadi, mungkin nggak terlalu kelihatan.

Aku mulai merasa nyaman berada di dekat lelaki ini. Entahlah ... rasanya itu begitu nyaman, kenyamanan yang dulu tak ku dapat dari Galih.

Galih adalah laki-laki arogan yang tak pernah menghargaiku, tapi aku tetap mempertahankannya selama enam tahun karena Ibu dan adiknya. Yaa ... aku dekat dengan keluarga Galih dan mereka menaruh harapan yang besar padaku dan Galih. Namun, aku lelah ... toh, kalau aku menikah dengan Galih, apa yang akan terjadi dengan rumah tanggaku kelak?

Sepanjang perjalanan aku dan Pak Hari bercerita dan bercanda bak sepasang kekasih.

Pak Hari selalu saja bisa membuat senyuman di bibir ini merekah, tanpa sadar aku sudah memberikannya ijin untuk menjadi penghuni hati ini.

Selesai sarapan, aku di ajak Pak Hari ke sebuah rumah, aku tak tau rumah siapa itu.

"Ayo, An turun." Ajak Pak Hari.

"Ini rumah siapa, Pak?" tanyaku sedikit heran.

"Rumah saya." jawabnya simpel. Namun, membuat aku terkejut.

"Lah! Ngapain Bapak ngajak saya kerumah Bapak? Nggak, ah! saya nggak mau." tolakku pada lelaki ini.

"Aduh, An. Pasti kamu mikir kalau saya mau ngapa-ngapain kamu ya? ya ... nggaklah! tenang aja saya ngga sebejat itu, di dalam juga ada bik Neni dan Pak ujang, saya mau tunjukkin kamu sesuatu."

Dengan sedikit ragu aku keluar dari mobil dan memasuki rumah tersebut.

"Bik Neni, tolong buatkan minum dua ya, Bik."

"Njiih, Pak."

Lalu Pak Hari masuk dan kembali dengan selembar kertas dan langsung memberikannya padaku.

"Apa ini, Pak?" tanyaku heran.

"Baca aja, Buk." jawabnya singkat seraya duduk di sofa.

Aku memulai membaca selembar kertas tersebut, pengadilan agama ... Bla bla bla. Oh, ini surat cerai rupanya.

"Ini surat cerai, Pak?"

"Iya, saya tau kamu nggak percaya sama saya makanya, saya kasih tunjuk surat itu."

Jadi Pak Hari ini benar-benar sudah bercerai, tak sadar aku tersenyum membacanya.

"Alhamdulillah."

"Apa, Buk? Alhamdulillah? Kamu seneng ya liat suratnya, alhamdulillah berarti lampu ijo dong, Buk?" tanyanya menggoda.

Aku segera menutup mulutku, bagaimana bisa mulut ini bicara tanpa rem seperti ini.

"Maksud saya tadi, alhamdulillah minumannya sudah datang, Pak. Soalnya saya haus."

Untung saja kemunculan Bik Neni menyelamatkanku dari rasa malu yang mendalam. Gengsi aku kalau sampai Pak Hari tau aku sebenarnya sangat senang membaca surat ini.

Pak Hari mendekat dengan mengerlingkan sebelah matanya. Aku langsung gelagapan, dan salah tingkah. "Yang bener karena minuman?"

"Apa sih, Pak! Ya benerlah masa karena surat ini aku bilang alhamdulillah, udah ah sana jauhan dikit!"

Aku baru tahu ternyata Pak Hari tinggal bersama Bik Neni dan Mang Ujang, Pak Hari bercerita banyak mengenai kehidupannya. Aku juga baru tahu ternyata Pak Hari memiliki seorang putra bernama Adit, buah pernikahannya dengan mantan istrinya, tapi beliau tak bercerita kenapa alasan mereka bercerai.

Karena aku sudah cukup puas dengan bukti yang Pak Hari tunjukkan, aku meminta diantar pulang, karena rasanya tak sabar aku ingin melompat-lompat girang di kamarku sambil berkata alhamdulillah.

alhamdulillah.

Eel ardian

Bab 4 ya gaes....

| Like

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status