Share

Pernikahan Rahasiaku dengan CEO
Pernikahan Rahasiaku dengan CEO
Author: Butiran_Debu

1. Anak Pembawa Sial!

Kakinya gemetar memasuki ruang keluarga.

"Ayah," panggil Jovanka, bibir pucatnya gemetar menunggu sang ayah melirik padanya.

Tapi, sampai Jova menghitung hingga sepuluh, tak satu pun yang menyadari kedatangannya. Semua orang tengah asik bercengkrama, sangat harmonis keluarga ini telihat mata. 

"Jadi, kau ingin kado apa untuk ulang tahunmu, Queen?" Ferry Hernandez menyesap teh di gelasnya, tanpa melepaskan pandangan dari wajah putri bungsunya. 

Dengan manja gadis dua puluh tahun itu bergelayut di lengan sang ayah dan berkata, "Ayah, bukankah mobilku terlalu kuno untuk gadis seusiaku? Bagaimana jika ayah memberiku mobil baru? BMW baru saja merilis produk mereka, aku menginginkannya."

"Hahahaha!" Tawa pria itu sangat renyah di telinga. "HM... mobil terbaru, ya?" katanya mengangguk. "Baiklah. Karena kau sudah berhasil masuk ke universitas ternama, ayah akan memberikannya." 

"Benarkah?" Queena menatap takjub ayahnya yang barusan menyanggupi permintaannya. 

Tampaknya suasana hati Ferry Hernandez sedang sangat baik malam ini. Jovanka ikut tersenyum, dia yakin ayahnya juga tak akan keberatan dengan permintaannya yang bahkan tak sampai seperempat dari Queena. 

"Ayah," panggil Jovanka kembali. Kali ini Adriana meliriknya dengan napas berat. 

"Ada apa, Jovanka? Ada yang ingin kau katakan?" tanyanya melipat tangan di depan dada. 

Semua yang ada di ruangan itu pun ikut mengalihkan matanya pada Jovanka. Hening, tak satu pun yang berbicara sekarang, seakan tawa mereka semua ikut menghilang atas kehadiran Jovanka. Hal itu tentunya membuat Jova menjadi kikuk. Kakinya bahkan membeku di tempat. 

'Apakah kedatanganku sangat mengganggu mereka?' 

"Heh! Kenapa hanya diam? Kau merusak suasana keluarga, lalu hanya diam setelahnya." Bertrand, kakak pertama berkata. 

"Kalau ada perlu ya ngomong. Jangan mematung di sana." Barley, kakak kedua pun ikut berbicara.

Jovanka semakin tak nyaman oleh perkataan dari kedua kakak laki-lakinya, yang menatap sinis penuh kebencian. 

"Bicaralah, jika tak ada yang ingin kau katakan, jangan mengusik kebahagiaan keluarga ini." Ferry berbicara tanpa melihat langsung pada Jovanka, yang justru sibuk membuka ponsel.

Sebenci itu kah mereka, sampai menganggap dirinya bukan bagian dari keluarga ini? Mata Jovanka memanas menahan air yang hampir lolos dari sudut matanya. 

'Itu tak lebih penting, Jova. Jangan hiraukan kata-kata mereka, kau harus mendapatkan uang segera.' Dia hibur dirinya sendiri agar air mata itu tak betul-betul jatuh. 

"Itu... uang semesterku sudah menunggak. Ayah, bolehkah aku meminta-"

"Ini mobil yang kau inginkan, Sayang?" 

Kalimat Jovanka langsung terpotong oleh pertanyaan Ferry yang menyodorkan ponselnya pada Queena. 

"Benar, Ayah, aku mau yang itu!" Gadis itu berseru kegirangan.

"Siap, Tuan Putri, tunggulah kadomu datang ke halaman rumah kita." 

Sorak bahagia Queen dan semua orang memenuhi ruang keluarga itu. Semua berbahagia, memberikan pujian dan selamat pada Queen yang dua hari lagi akan berulang tahun. Hanya Jovanka yang tak bisa merasakan bahagia itu, sebab dirinya bagaikan tak dianggap ada di sana. Dia hanya mematung menatap wajah-wajah penuh kegembiraan, sedang matanya tak mampu lagi menahan air mata yang mulai menuruni pipi. Tak sanggup berlama-lama, Jovanka berlari ke dalam kamarnya untuk menumpahkan sesak yang sejak tadi ia tahan.

"Aku hanya meminta uang kuliah, tapi ayah sama sekali tak peduli. Sedangkan Queen, dia selalu mendapatkan apa yang diinginkan," ucapnya di sela tangisnya yang tak tertahan.

Hanya karena berulang tahun dan berhasil masuk ke universitas ternama, Queen bisa memiliki mobil keluaran terbaru. Padahal, baru beberapa bulan yang lalu gadis itu dibelikan mobil oleh ayah mereka. Sedangkan Jovanka? Jangankan mobil, bahkan ulang tahunnya tak pernah diingat oleh semua orang. Nilainya yang selalu bagus dan bisa masuk ke universitas yang sama, tak membuat sang ayah meliriknya. Jangan ucapan selamat, sedikit senyum dari mereka pun tak berhak Jova dapatkan.

Apa karena dia pembawa sial sampai tak berhak merasakan kebahagiaan bersama keluarga? Bahkan Jova pun tak pernah menginginkan kesialan itu melekat padanya. Andaikan bisa memilih, Jova akan lebih baik tak pernah terlahir ke dunia. 

"Ibu... kenapa dulu tak memilih hidupmu saja? Kenapa harus aku yang ibu pilih?" Pertanyaan yang terus terulang keluar dari mulut Jovanka, tapi tak pernah mendapat jawabannya.

"Jika Diandra memilih hidupnya,  kau tak akan pernah terlahir ke dunia. Dan tentu saja aku dan Queena  pun tak akan masuk ke rumah ini. Apakah kau sebenci itu pada kami?" 

Jovanka bangun dari ranjang menyadari Adriana dan Queen berada di dalam kamarnya. Dia salah tingkah oleh kehadiran ibu tiri sekaligus bibinya itu.

"Ma-maaf, aku tidak berpikir demikian, Bu." 

"Jangan panggil aku demikian, aku bukan ibumu!" tegas Adriana tak senang.

Kedua kakaknya berhak memanggil Adriana sebagai ibu, tapi tidak dengan Jovanka. 

"Bukankah sejak awal ayahmu melarang kau mendaftar kuliah? Kau begitu sombong menganggap dirimu mampu. Tapi lihatlah, baru di pertengahan pun kau sudah mengemis padanya," sindir Adriana menatap Jovanka dari atas ke bawah. 

"aku juga berhak kuliah untuk mengubah masa depanku, sebab di rumah ini sudah jelas aku tak punya masa depan." Jova menjawab tegas. 

"Orang sepertimu apakah pantas mendapatkan masa depan? Masih untung kau diberi tempat tinggal, jadi jangan berharap lebih!" Adriana membalik badan dan berkata, "Queen, ayo kembali ke kamarmu. Kau bisa terkena sial jika dekat dengannya."

Padahal Adriana adalah adik kandung ibu Jovanka, tapi dia selalu mengutuk gadis itu setiap hari. 

"Oh malang... entah kenapa kau harus lahir ke dunia ini." Queen yang akan mengikuti ibunya pergi, tak lupa ikut melontarkan kata yang menyakitkan.

Jovanka tertawa kecil, menertawakan hidupnya yang sungguh menyedihkan.

Queena menghentikan langkah lantas bertanya kesal, "Kau menertawakanku?"

"Itu perasaanmu saja." Jova menjawab tak acuh dan merapikan bantalnya, tapi Queena tak melepaskannya begitu saja.

"Hei, anak pembawa sial! kenapa tak mati saja agar kau tak mengotori rumah ini? Kau sudah membunuh ibumu, atau mungkin kau juga berencana membunuh ayah dan saudaramu sendiri?"

Dada Jovanka bergemuruh disebut sebagai pembunuh ibunya. Meski bukan kali ini saja kata-kata itu dituduhkan padanya, dia sangat marah sampai menatap Queen dengan mata membunuh.

"Kenapa? Kau ingin membunuhku? Kau tak puas hanya membunuh ibumu saja?"

"Bukankah seharusnya kau berterima kasih padaku, Queen? Jika aku tak membunuh ibuku, kau dan ibumu tak akan pernah memasuki rumah ini!" ucap Jova sangat  marah.

Quena mendengarnya ikut kesal dan berteriak di depan wajah Jovankan, "Diam kau, Sialan!" Tak enggan dia melayangkan tamparan ke muka Jova sampai membuah gadis itu terhempas ke atas ranjang. "Kau iri padaku karena ayah tak menolongmu membayar biaya kuliah, sementara aku dibelikan mobil, begitu kan? Sadar dirilah... sampai mati pun kau tak akan bisa menyaingiku!" Dia meninggalkan Jovanka di kamar berukuran kecil itu.

Sebelum menutup pintu, Queen melihat kebelakang dan berkata,  "Aku dengar, banyak orang kaya yang mencari gadis muda untuk menjadi ibu pengganti. Kupikir kau mungkin cocok menjual dirimu pada mereka, untuk membayar biaya kuliah!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status