Share

9. Terdesak dan Terpaksa

Malam terasa sangat cepat sehingga berlalu begitu saja. Jovanka belum siap ketika dibawa dengan ranjang beroda menuju ruangan lain yang sudah di siapkan, dia akan segera menerima transfer embrio milik sang klien. Kepala yayasan dan pasangan suami istri itu turut hadir di sana mengantarkan Jovanka hingga ke pintu.

"Rileks, jangan terlalu tegang, oke? Kau bisa melakukannya, percayakan saja pada dokter," pesan kepala yayasan memberi semangat yang dibalas anggukan oleh Jovanka.

Rich sampai detik ini masih bingung dengan perasaannya. Apakah ini sudah benar? Apakah tidak ada masalah ke depannya nanti, karena calon bayi mereka harus dikandung orang lain? Dia sangat berharap istrinyalah yang mengandung sendiri sehingga mereka benar-benar yakin pada anak itu. Tapi sifat keras kepala Cataline tak bisa dia luluhkan, mau tak mau dia harus mengikuti cara ini demi mendapatkan keturunan.

"Semoga berjalan lancar, kami berharap padamu," kata Rich akhirnya.

Di pertemuan pertama  Rich sangat kasar dan membentak, begitu pun ketika mereka bertemu di restoran  sudah menunjukkan wajah tak senang. Jovanka tidak menyangka pria itu bisa berbicara lembut padanya sekarang. 

"Sudah, Dokter, silakan membawanya." Cataline segera menyuruh mereka membawa Jovanka memasuki ruangan itu, tanpa mengatakan apa pun padanya.

Sempat Rich melirik istrinya bingung. Bukankah tadi malam Cataline sangat peduli pada gadis itu? Kenapa sekarang dia tampak tak acuh dan biasa saja?

Sudahlah, mungkin istrinya gugup karena tadi malam tidak beristirahat dengan benar.

Di dalam ruangan itu, Jovanka memendarkan pandangan ke segala arah. Setiap sudutnya dipenuhi lemari-lemari besar yang diisi berbagai bentuk alat medis. Jovanka tidak terlalu mengetahui apa fungsi benda-benda itu selain beberapa dari mereka. 

"Anda sudah siap, Nona Jovanka?"

Dokter itu tersenyum ramah tapi tak berhasil membuang ketegangan pada Jovanka.

"Silakan buka paha Anda, kita akan memulainya." 

Dibantu perawat wanita dia membuka kedua pahanya sehingga kepala dokter benar-benar berada di ujung ke dua kaki. Jovanka merasakan dirinya sangat malu, apalagi ketika sang dokter menyentuh bagian tersembunyinya untuk memasukkan sebuah alat.

"Au...." Dia meringis kesakitan saat benda itu membuka paksa bagiannya. Jovanka sampai menitikkan air mata. 

"Tahan, ini tidak akan sakit."

Bagi Jovanka tetap saja itu sakit meski ini pengalam kedua sebuah benda dimasukkan ke dalam dirinya. Tapi rasa sakit itu tidak seberapa dibandingkan rasa malu yang harus dia tahan. Jovanka tak bisa menguasai dirinya sehingga dia menangis, saat sang dokter menyentuh semua bagian dirinya di bawah sana.

Benarkah ini Jovanka? Gadis lugu yang selama ini dikenal pendiam, tak pernah bermasalah, dan selalu menjaga dirinya saat didekati pria, hari ini menyerahkan diri untuk menjadi surrogate mother. Tangisnya tak bisa ditahan sampai mengeluarkan suara, salah satu perawat wanita itu memeluk Jovanka dan memberinya dukungan seakan paham apa yang dirasakan oleh gadis itu.

Setelah proses panjang itu selesai, Jovanka dipindahkan kembali ke ruangan inap untuk beristirahat. Dokter memberikan hormon progesteron dalam bentuk pil untuk Jovanka konsumsi selama satu minggu. Hormon itu berfungsi untuk menunjang pertumbuhan embrio di dalam rahimnya.

"Kita tinggal menunggu  hasilnya dalam sepuluh hari ke depan. Berdoalah ini berhasil agar kau tak perlu mengulangi prosesnya lagi," ucap kepala yayasan memberi penghiburan.

Jovanka diam bagaikan patung, tak terucap sebuah kata pun dari bibirnya bahkan matanya menatap kosong tak bersemangat. Hanya ketika dia berkedip saja yang menunjukkan bahwa gadis itu masih hidup. Betul-betul seperti orang yang kehilangan semangat.

Apa yang membuatnya demikian, bukankah kemarin dia tampak biasa saja? Rich menjadi bertanya-tanya. Pria itu pun tak tega hanya melihat lantas meminta ketua yayasan ikut dengannya keluar. 

"Apakah dia baik-baik saja?" tanya Rich setelah pintu ditutup, menatap serius ketua yayasan yang sudah tua. 

Kepala yayasan mengangguk dan menjawab, "Tak ada masalah padanya, Tuan, dokter sudah berkata. Ini adalah pengalaman pertamanya, sangat wajar baginya akan seperti orang bingung."

"Tapi aku merasa dia seperti terpaksa dan menyesal."

Ketua yayasan itu tersenyum getir mendengar ucapan Rich.

"Aku berurusan seperti ini sejak masih sangat muda, jadi sedikit banyaknya aku paham kenapa mereka demikian. Tuan Cullen, bagi seorang gadis yang baik, menjadi ibu pengganti bukanlah sebuah pilihan. Mereka mendambakan hidup yang normal, mengandung hanya untuk bayinya bersama pasangan yang resmi. Tapi sesuatu yang mendesak membuat mereka terpaksa melakukannya."

"Hal mendesak? Memangnya hal apa yang mendesak gadis itu?" Meski terlihat tak begitu peduli, tapi Rich sudah membaca biodata gadis itu sebelum mereka memilihnya.

"Aku hanya menerima dan membantu mereka, bukan ranahku untuk mencari tahu apa pun tentang seluruh kehidupan pribadinya, Tuan, jadi maaf," terang wanita itu.

Jovanka Abigail, begitu nama gadis itu tertulis. Dia masih berusia 22 tahun dan berstatus mahasiswa semester tiga di sebuah universitas bergengsi yang isinya 99% anak-anak orang kaya. Jika pun ada program pendaftaran gratis, tetap saja biaya kuliah di sana sangat besar dan mahal. Akan berpikir ribuan kali seseorang dengan kehidupan menengah ke bawa untuk mendaftarkan diri. Rich banyak tahu sebab dirinya juga lulusan dari universitas itu dan sekarang menjadi penyumbang paling tinggi.

Jika Jovanka mampu membayar biaya kuliah sampai tiga semester di sana, bukankah seharusnya dia berasal dari keluarga yang lumayan? Lantas terpaksa dan terdesak apa dia? Akan lebih masuk akal jika gadis itu melakukan ini demi kehidupan mewah seperti gadis-gadis pada umumnya, yang melakukan apa pun untuk uang.

Entah sudah berapa lama Rich menatap Jovanka di atas ranjang itu, tapi Jovanka masih setia dengan diamnya bahkan tak bergerak sedikit pun. Kenapa dia? Apakah sangat berat baginya melakukan semua ini? Jika memang dia menyesal, kenapa tak mengatakannya sebelum tindakan dimulai? Tak sadar Rich menjadi iba  kalah melihat gadis itu mengangkat tangannya menyeka pipi.

"Dia menangis?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status