Pagi itu Jovanka bangun sangat bersemangat dari ranjangnya. Bukan karena ranjang itu sangat empuk dan tak sama dengan kasur tipis yang dia miliki di rumah. Tetapi dia bersemangat karena pagi ini akan mengikuti ujian di kampus.Keberuntungan ternyata tidak meninggalkannya begitu saja, meski Jovanka mengalami kesulitan beberapa hari terakhir. Ponsel yang dia pikir menghilang ternyata ada pada Rich dan pria itu menyerahkannya kemarin, sebelum pergi dari hotel. Tak lama setelah Jovanka mengisi daya, ponselnya berdering dan dia mendapat kabar dirinya diperbolehkan ujian, bahkan dikatakan mendapat beasiswa. Jovanka sangat senang sampai menelepon Sarah di pagi-pagi sekali."Hei, Nona, apa yang terjadi sampai kau bersemangat begini?" Sarah bertanya, ikut tersenyum melihat wajah sahabatnya yang sangat cerah di layar ponsel."Sarah, aku tak tahu bagaimana mengatakannya." Jovanka mengambil jeda beberapa saat sebelum mulai bercerita tentang keberuntungan yang tiba-tiba dia dapatkan. "Ini di luar
Jovanka masih tertegun di dekat pintu kamar hotel, menatap pria yang berdiri di dekat sofa. Pria itu mengeluarkan sebuah benda dari dalam kotaknya, tampaknya itu baru saja dia beli. "Kenapa kau masih di situ? Tutup pintunya, atau seseorang akan membuat masalah."Dia terperanjat setelah mendengar ucapan si pria, lalu menutup pintu segera."Ini. Kau bisa memakainya untuk berkuliah.""Maksudnya... Anda membelikanku laptop itu?"Serius? Dia memberi Jovanka sebuah laptop baru untuk dipakai berkuliah? Jovanka tidak mengerti dengan pikiran pria bernama Rich itu. "Maaf, tapi aku memilikinya di rumah. Kenapa Anda repot-repot membelikannya?""Aku melakukannya untuk keselamatan embrio yang ada di perutmu, jangan banyak bertanya," sahut Rich sebelum gadis itu bertanya kembali."Selesaikan ujianmu segera dan jangan stress. Kau ingat kata dokter? Kesehatanmu juga penting untuk keberhasilan transfer embrio itu." Dia kemudian pergi tanpa melihat ke belakang.Oke. Jovanka tahu dirinya sedang membaw
Sepuluh hari sudah berlalu sejak Jovanka menerima embrio transfer milik pasangan suami istri itu. Setelah mengantarkan jawaban ujiannya ke kampus, dia bergegas menuju Rumah Sakit di mana tindakan itu dilakukan padanya. Hari ini adalah jadwal melakukan pemeriksaan untuk melihat apakah hasilnya sesuai dengan yang diharapkan.Ketua yayasan sudah menghubunginya sejak tadi. Ketika tiba di depan ruang pemeriksaan, dia melihat Rich dan istrinya juga ada di sana. Dia menjadi kikuk kala mendengar perkataan Cataline yang langsung menyemprotnya.“Apa kau tidak bisa lebih konsisten, Nona Jovanka?”“Maaf, Nyonya, aku harus mengurus ujian kuliahku, tolong maafkan aku.” Jovanka setengah membungkuk dan menunjukkan wajah menyesal.“Dan kau pikir kami tidak memiliki kesibukan? Jangan berpikir hanya kami yang membutuhkanmu, kau juga membutuhkan uang dari kami!”“Kate, sudah, sudah.” Rich merasa sungkan oleh ucapan istrinya dan langsung menengahi. “Nona Jovanka, masuklah. Dokter sudah menunggu sejak tad
"Sayang, menurutmu apa jenis anak kita saat lahir nanti? Perempuan atau laki-laki?" "Rich, ini masih sangat lama. Jangan terlalu buru-buru memikirkan itu apa." "Tidak, Kate, kita harus memikirkannya sejak sekarang. Kau tidak memiliki harapan akan memiliki seorang bayi laki-laki atau perempuan?" Rich memutar tubuhnya menghadap Cataline untuk bisa melihat wajah istrinya. Raut bahagia yang dia tunjukkan membuat Cataline merasa tak senang."Entahlah, aku belum memikirkannya," sahut Cataline tak acuh. Sebenarnya, dia senang saja karena berhasil memberi anak untuk Rich. Tapi reaksi suaminya yang sangat bersemangat entah kenapa membuat dia menjadi tak senang. "Astaga, aku bingung ingin berdoa apa sekarang. Apakah aku harus meminta anak laki-laki, agar dia bisa menjaga adiknya kelak?" Sangat bersemangat Rich terus membahas anak yang akan mereka miliki nanti, dia tidak bisa tenang di atas ranjang dan terus membuat gerakan. "Ah aku pasti sudah keterlaluan. Kita sudah berhasil membuat ba
Perkataan Sebastian terus berputar di kepala pria itu, sehingga dia semakin geram. Langkah panjangnya tidak sabaran ingin segera tiba di pintu kamar Jovanka, yang masih berdiri di sana dengan seseorang. "Jovanka Abigail!"Ketika Rich memanggilnya, Jovanka dan pria itu langsung melihat padanya. "Hei... Rich Damian Cullen!" seru pria itu melebarkan kedua tangannya. "Wah! Apakah ini sebuah keberuntungan? Sungguh tak terduga bisa bertemu denganmu tanpa membuat janji."Pria itu adalah Liam Nelson, orang yang pernah mengganggu Cataline di awal pernikahannya dulu. Dan sejujurnya, Rich sangat tidak menyukainya, meski mereka memiliki beberapa kerjasama. Selain pernah mengganggu Cataline, Liam juga sudah terkenal sangat suka bermain-main dengan bergonta-ganti wanita. Mengetahui Jovanka bisa mengenal pria itu, dia menjadi semakin tidak senang. "Jovanka, masuklah."Mendengar nada memerintah Rich pada Jovanka, Liam terkekeh pelan dan berkata pada Jovanka, "Terima kasih, Manis. Mari kita berte
Rich membeku mendengar perkataan istrinya. Hanya karena dia membawa Jovanka ke rumah mereka, lantas istrinya ingin meninggalkan rumah?Baiklah. Rich tahu tak ada istri di mana pun yang mau rumahnya dimasuki perempuan lain, apalagi mereka bahkan tidak mengenal Jovanka. Tapi karena itu pula lah dia ragu membiarkan Jovanka tinggal jauh, sebab mereka tak akan tahu apa yang bisa dilakukan Jovanka pada bayi mereka. "Kate, dengar," kata Rich. Meski istrinya menutup telinga dan tak mau mendengarkan, dia harus tetap berbicara. "Dia bertemu Liam."Cataline yang tadinya dirasuki amarah, tiba-tiba menjadi diam seketika. Matanya membesar mendengar nama yang disebutkan suaminya."Liam? Maksudmu... Liam Nelson?" Akhirnya Cataline bisa menahan emosinya dan sekarang dia justru terlihat tak nyaman. "Ya, dia." Cataline memanggil pelayan dan menyuruhnya mengawasi Jovanka, sementara pasangan suami istri itu pergi berpindah ke lantai atas, untuk membahas pria bernama Liam Nelson."Dari mana gadis itu
Cataline meletakkan kantong belanjaan yang sejak tadi dia bawa. Jovanka tidak berani menduga apa isi dari kantong belanjaan itu, dia hanya menunduk tanpa berani melihat langsung. "Ini vitamin untuk orang hamil, juga beberapa cemilan yang bagus untuk bayi. Pastikan kau makan itu dengan benar agar bayi di perutmu bisa sehat." Dia mengatakannya sebelum pergi. Rasanya tak bisa dia melihat gadis itu lebih lama, sebab setiap kali menatap wajah Jovanka, sangat banyak keraguan di hati Cataline. Apakah nanti bayi itu akan mirip suaminya saja, atau mungkin juga membawa sebagian garis wajah gadis kampungan itu? Memikirkannya saja sudah membuat Cataline merasa muak. Bagaimana jika nanti dia menatap wajah bayi itu? Semakin dia memikirkan bayi yang Jovanka kandung, pikirannya semakin tidak menentu. Apalagi menyaksikan betapa Rich peduli dengan bayi itu, sungguh menguras emosinya. Baru saja Cataline masuk ke dalam kamar, ponselnya berdering. Dia menatap nama Rich di layar memanggil. Sampai pang
"Hai... Cataline Sayangku. Akhirnya kau rindu dan menghubungi aku?" Telinga Cataline disambut suara seseorang yang dia kenal, di ujung sana. Nadanya penuh semangat, tapi membuat Cataline menjadi kesal. Dia mencibir tidak senang, mendengarkan ocehan pria itu yang masih terus berbicara. "Sudah berapa lama? Jika diingat-ingat, mungkin sekitar tiga, empat, atau lima bulan terakhir kita berbicara? Aku ingat betul kau memperingatkan agar aku tidak menghubungimu, lantas... kenapa kau tiba-tiba menelepon?" ucap pria itu. Cataline menghubunginya bukan untuk sebuah basa-basi, dia langsung menjawab dengan nada tinggi. "Sejauh apa kau sudah mengikutiku?" "Mengikutimu?" Pria itu terkekeh dan berkata, "Hei, kau lupa pernah berkata, kita tak boleh saling melupakan? Lantas, bagaimana aku akan terus mengingatmu jika tidak melihat dari jauh? Aku tidak ingin mengingkari janjiku, sungguh hanya untuk itu." "Tapi aku sudah mengingatkan agar kau menjauh dari hidupku!" Cataline membentak penuh amarah.