Pria itu Rich Damian Cullen, pria 39 tahun yang kemarin menuduh Jovanka mengutuknya di toko kue, pria yang juga sedang tertekan oleh keinginan istrinya. Alisnya sampai mengerut, tak menyangka mereka akan memakai jasa gadis penjual kue itu.
"Tak ada yang lain?" Rich refleks mengatakannya sebab tak suka melihat Jovanka di pertemuan pertama mereka.
"Maaf, Tuan Cullen, saat ini kami hanya memiliki dua gadis yang belum berpengalaman. Yang lain sudah pernah melakukannya bahkan ada yang sudah lima kali," sahut ketua yayasan penyalur jasa.
"Kalau begitu kita pakai yang pertama."
"Kenapa, Rich? Dia terlihat bagus. Gadis yang tadi aku tidak suka, dia terlalu banyak bicara." Cataline menyela ucapan suaminya.
"Kalau begitu, kita tunggu gadis lainnya." Rich menolak lagi dan berkata pada ketua yayasan. "Hubungi kami saat ada gadis lainnya yang memenuhi syarat.
Sangat angkuh. Entah apa masalahnya sampai menolak Jovanka seperti itu, seakan Jova adalah gadis yang tak benar. Hanya karena kesalahpahaman kemarin?
"Baik, Tuan. Tapi kami tidak bisa berjanji itu cepat, karena untuk mencari gadis yang belum berpengalaman, itu tidak mudah."
"Aku mau dia!" Cataline berkata tegas. "Rich, aku tak mau menunggu lebih lama. Jika kau ingin kita memiliki anak, aku mau itu segera!"
"Tapi, Cataline...."
"Kenapa? Kau tidak menyukai gadis ini karena sesuatu Rich? Aku jadi curiga mungkin kalian pernah memiliki hubungan?" cecar Cataline penuh selidik.
Cataline selain keras kepala, dia juga orang yang penuh rasa curiga. Rich sering dipaksa mengakui sesuatu yang tak pernah dia lakukan dan menuduh suaminya berselingkuh dengan gadis mana pun. Jika Rich berkata mereka pernah berselisih paham di toko kue, Cataline akan terus menuduh dan membuat masalah dengannya.
"Aku tak mengenalnya, Cataline... ini pertama aku melihatnya."
"Kalau begitu, kita pakai dia." Cataline sudah menegaskan dan Rich harus mengalah. Cataline menadatangani beberapa lembar formulir yang sudah disiapkan pihak yayasan dan menyerahkannya pada Rich. Pria itu melirik Jovanka tidak senang sebelum turut membubuhkan tanda tangannya.
"Kirimkan test kesehatannya dan pengacara kami akan menghubungi Anda untuk urusan hukum, terima kasih." Rich menyerahkan lembaran kertas itu pada ketua yayasan.
Jovanka masih mematung di tempatnya berdiri. Benarkah dia baru saja mendapatkan klien? Terlalu singkat sehingga dia tidak bisa percaya bahwa dirinya akan menjadi seorang ibu pengganti.
"Selamat, Nona Jovanka, kau mendapatkan job ini." Ketua yayasan mengulurkan tangannya memberi selamat, menyadarkan Jovanka yang sejak tadi mematung.
"Oh, i-iya." Jova bingung apakah ini suatu yang pantas untuk dirayakan. Kenapa ada kata selamat?
"Siapkan dirimu, jaga kesehatan dan tetaplah berpikir positif, jangan membuat tubuhmu tidak sehat. Ingat, kau harus melakukan beberapa test lagi agar benar-benar bisa mengandung anak mereka. Aku akan menghubungimu segera."
Dia akan mengandung anak dari pasangan suami istri itu. Jika fisik Jovanka kuat dan tes kesehatannya dinyatakan lolos, dia tak bisa mundur lagi! Apakah ini sudah benar? Bagaimana jika keluarga mendengarnya? Apakah dia akan kuat mendapat cecaran juga hinaan dari semua anggota keluarga? Jovanka tidak percaya dirinya sudah melangkah sejauh ini.
Malam sudah larut setelah pertemua dengan klien. Ketua yayasan dan asistennya sudah pergi, sementara Jovanka masih berdiri di depan restoran mewah tempat pertemuan tadi. Dia bingung akan ke mana, tak ada tujuan sama sekali. Malam ini ulang tahun Queena dan dia sudah diingatkan untuk tidak pulang ke rumah. Jovanka bahkan tak memiliki teman untuk menumpang barang satu malam.
Dia menghitung beberapa lembar di dalam dompet, mungkin cukup menyewa hotel murahan untuk tidur. Tapi jika dia melakukannya, Jovanka tidak memiliki uang lagi, dia harus menahan perutnya dan berjalan kaki ke kampus selama berhari-hari. Menghela napas panjang, Jovanka berpikir keras akan keputusannya.
"Mungkin aku bisa meminta gajiku lebih awal pada Nyonya Green," ucapnya menghibur. "Berapa harga hotel yang paling murah?" Sembari menduga-duga, Jovanka mulai beranjak dari tempatnya mencari hotel kecil. Dia belum pernah menyewa hotel sebelumnya, takut uangnya tak cukup jadi dia memilih tidak menghentikan taksi.
Astaga... bahkan cacingnya ikut berdemo di dalam sana sebab Jovanka belum sempat memakan sesuatu. Hanya ketua yayasan dan calon klien yang boleh menikmati hidangan di resto. Sambil menahan perut yang kelaparan, Jovanka singgah membeli dua keping roti dan air mineral di mini market, setidaknya dia bisa bertahan sampai besok.
Jovanka duduk di teras mini market mengamati jalanan yang mulai sepi. Di rumahnya pastilah terhidang banyak makanan dan minuman enak disuguhkan untuk para tamu ulang tahun Queen, sementara Jovanka hanya mengunyah roti murahan yang sudah mengeras. Matanya berkaca-kaca menelan rotinya dengan dorongan air.
"Tidak apa-apa, kau sudah merasakannya sejak kecil." Jova mengalihkan pikirannya dari rumah. Kembali mengunyah rotinya, Jovanka bergumam, "Kenapa kau bersedih hanya kerena ini? Bahkan makanan basi pun sudah sering kau makan."
Dia terbatuk oleh rotinya dan hal itu membuat sesak. Jovanka memukul kecil dadanya agar roti itu bisa lolos tanpa bantuan air. Dia menghukum diri yang iri akan kebahagiaan Queen, sementara masih banyak rintangan berat yang harus dia lalui jika ingin terus hidup.
Selesai dengan rotinya, Jova menyeka air mata dari sudut bibirnya. Menenggak seluruh air di dalam botol, dia pun berdiri untuk melanjutkan langkah.
"Kau sudah mengincarku?"
Suara seorang pria memaksa Jova memutar kepala ke kiri. Pria dengan setelan jas mahal berdiri di samping mobil mewah menatapnya tajam.
'Bukankah dia Tuan Cullen?' Jova mengamati wajah itu di bawah cahaya lampu mini market.
"Berapa banyak yang kau lakukan untuk mencari tahu tentangku?" Pria itu sudah berdiri di depan Jovanka.
Tenggorokannya bergerak menelan ludah. 'Apa maksud pria ini?' Jova bingung.
"Katakan apa tujuanmu selain uang!" bentaknya keras membuat Jovanka terkejut bukan main. "Kau dendam padaku dan berniat merusak rumah tanggaku? Memangnya, kau anggap siapa dirimu?"
Apa yang dia katakan? Bukankah tadi semua baik-baik saja? Meski Jova akui pria itu sempat menolaknya, tetap saja membingungkan melihat pria itu marah dan menuduhnya.
Rich sangat kesal. Karena sempat menolak gadis itu di restoran, istrinya menjadi curiga dan terus menyelidiki. Cataline memaksa Rich untuk jujur di mana dia bertemu gadis itu dan apa yang sudah mereka lakukan. Berapa kali pun Rich membela diri, Cataline masih terus mendesak bahkan sampai mengancam akan menanyakan sendiri pada Jovanka. Dan jika itu mengatakan yang sebenarnya, percayalah Cataline tidak akan percaya mereka bertemu di toko kue. Akan semakin panjang masalah yang Cataline buat untuk membuat suaminya frustasi. "Kau dendam padaku? Jawab!" tanya Rich sekali lagi, suaranya tak lagi keras seperti tadi. "Aku tidak mengerti maksud Anda, Tuan. Jika menurut Anda karena kejadian di toko itu, aku sudah meminta maaf. Tapi jika menurut Anda aku mengikuti dan mencari tahu tentangmu untuk sesuatu, itu jelas salah. Aku membutuhkan uang untuk kuliah, itu sebabnya aku mendaftarkan diri sebagai penyewa rahim." Jovanka menjelaskan panjang lebar, tak senang dia dituduh memata-matai seseorang.
Merayu suaminya? Ya, wanita itu baru saja menuduh Jovanka merayu suaminya. Ini kah yang dikhawatirkan pria itu sehingga mencari Jovanka tengah malam? Mulut Jovanka tergagu tak mampu untuk berbohong atau berkata jujur. "Nona Jovanka Abigail?" Asisten dokter memanggil dari pintu. "Ya, kami di sini." Ketua yayasan yang menjawab sembari melihat Cataline. "Ini sudah giliran kita, Nyonya." "Masuklah, tapi kau masih berutang penjelasan padaku," ucap Cataline, nadanya penuh penuntutan. Jovanka hanya mengangguk dan pergi mengikuti asisten dokter, dia dibawa ke ruang pemeriksaan untuk dilakukan tes. Itu sangat banyak dan membosankan. Jovanka hanya patuh pada arahan mereka sembari dokter melalukan Medical Check Up. Dia tidak begitu paham tentang kedokteran, tapi selain pemeriksaan fisik, mereka juga melakukan tes ke rahimnya dengan alet USG berkamera. Selain memastikan Jovanka layak untuk mengandung, semua itu juga demi kesehatan calon bayi yang nanti akan bersarang di rahimnya. Setelah
Ketika Jovanka tiba di kampus, Mr Mark memanggilnya ke kantor untuk membicarakan biaya kuliahnya yang sudah menunggak. "Mr Mark, bukankah Anda memberiku waktu dua bulan? Ini baru dua minggu, bagaimana aku bisa melunasi semuanya? Tolong beri aku waktu, kumohon," pinta Jovanka dengan mata berkaca-kaca, dia bahkan tak memiliki uang sekarang. "Maaf, Jovanka, kupikir tadinya bisa seperti sebelumnya. Tapi sekarang... aku juga tak bisa melakukan apa-apa. Kau masuk ke universitas ini tanpa sedikit pun biaya, jadi Rektor tak bisa memberimu keringanan lagi. Jika dalam minggu ini kau tidak segera melunasinya, kau tak bisa ikut ujian atau mungkin tidak mendapatkan hasil studimu sama sekali." Kepalanya terasa ditindih beban ribuan ton mendengar sanksi yang mungkin dia dapatkan. Jovanka sampai lemas tak mampu mengatakan apa-apa. Dia tak bisa terus memohon sebab kampus sudah sangat banyak membantu sehingga dia bisa berkuliah di sana. Jovanka meninggalkan kantor itu dengan perasaan yang sangat me
"Silakan di sini, Tuan." Rich menatap surat kontrak yang diberikan oleh pengacaranya, di sana sudah lebih dulu tertera tanda tangan Cataline. Pria itu menarik napas panjang, ada rasa ragu di hatinya. "Honey?" panggil Cataline, menarik Rich dari pikirannya. Istrinya sangat bersemangat dengan calon bayi mereka, jadi dia tak ingin mengecewakannya. Dia segera menandatangani surat itu seperti yang diinginkan sang istri. Setelahnya, pengacara memberikan kepada Jovanka selaku pihak kedua. Seperti tak memikirkan apa-apa gadis itu gergegas melakukannya sehingga surat kontrak kini berpindah pada kepala yayasan sebagai penanggung jawab. Surat kontrak itu pun disahkan oleh pengacara sesuai dengan hukum yang berlaku. 'Benarkah ini pengalaman pertamanya?' Rich bertanya di pikiran, tak percaya gadis itu sama sekali tidak terlihat canggung untuk hal yang sangat besar. Setelah urusan hukumnya selesai, ketua yayasan dan Cataline berbincang-bincang membicarakan rencana esok hari. Katanya malam in
Malam terasa sangat cepat sehingga berlalu begitu saja. Jovanka belum siap ketika dibawa dengan ranjang beroda menuju ruangan lain yang sudah di siapkan, dia akan segera menerima transfer embrio milik sang klien. Kepala yayasan dan pasangan suami istri itu turut hadir di sana mengantarkan Jovanka hingga ke pintu. "Rileks, jangan terlalu tegang, oke? Kau bisa melakukannya, percayakan saja pada dokter," pesan kepala yayasan memberi semangat yang dibalas anggukan oleh Jovanka. Rich sampai detik ini masih bingung dengan perasaannya. Apakah ini sudah benar? Apakah tidak ada masalah ke depannya nanti, karena calon bayi mereka harus dikandung orang lain? Dia sangat berharap istrinyalah yang mengandung sendiri sehingga mereka benar-benar yakin pada anak itu. Tapi sifat keras kepala Cataline tak bisa dia luluhkan, mau tak mau dia harus mengikuti cara ini demi mendapatkan keturunan. "Semoga berjalan lancar, kami berharap padamu," kata Rich akhirnya. Di pertemuan pertama Rich sangat kasar d
Seminggu pasca tindakan pemindahan embrio, Jovanka kerap merasakan nyeri dada dan perut kembung. Dokter berkata itu normal selama tidak mengganggu aktivitasnya, dia pun bisa melakukan aktivitas seperti biasa, meski dikatakan jangan terlalu kelelahan.Siang itu Jovanka bekerja seperti biasa di toko kue, menyusun kue-kue yang masih hangat ke ranknya. Sesekali dia melirik saat pelanggan baru memasuki toko dan bertanya apa yang mereka cari. Tiba-tiba dia merasakan kram di perutnya, gadis itu segera berlutut mencegah tubuhnya bisa saja tumbang.'Di sini ada calon bayi orang lain.' Kalimat itu dia ulang-ulang di dalam hati, menjaga agar dirinya tetap baik-baik saja. Bagaimana pun, Jovanka harus berhasil hamil agar tak sia-sia pengorbanannya. Tapi meski sudah berlutut beberapa saat, Jova tidak merasakan ada keringanan, justru itu semakin hebat dia rasakan. Apakah mungkin embrio itu terganggu oleh aktivitasnya? Jovanka kalut dan berdiri perlahan, hal itu membuat Nyonya Green berlari padanya.
"Aku sudah mengajukan pada rektor agar kau diberi waktu dan itu hanya satu minggu, tapi kau bahkan tak bisa melunasinya." "Tapi, Mr Mark, jika aku melewatkan ujian ini, aku harus mengulangnya kembali. Tolonglah... aku akan melunasinya minggu depan." Dia memohon dengan sungguh-sungguh.Hanya menunggu satu minggu lagi. Jika dirinya dinyatakan hamil, Jovanka akan mendapat bagian dari kepala yayasan sebanyak yang dijanjikan di dalam kontrak. Itu uang yang sangat banyak meski klien hanya membayarnya dengan uang muka saja. Dan andai pun dia dinyatakan tidak hamil, Jovanka masih akan mendapatkan uang dari tindakan yang dilakukan padanya. Meski itu tidak terlalu banyak, Jovanka masih bisa melunasi biaya semester dan untuk uang sakunya."Mr Mark, Anda mendengarku? tolonglah kali ini," pinta Jovanka sekali lagi, melihat lawan bicaranya yang hanya diam."Itu di luar wewenangku, maaf, Nona Jovanka. Jika kau ingin mengikuti ujian ini, maka kau harus segera melunasinya sebelum ujian dimulai." Tak
Rich membawa Jovanka menuju mobil dan menyuruh supir mengantarkannya ke hotel. Sementara Rich dia ingin tahu apa yang dialami gadis itu sampai memohon pada dua wanita tadi."Jangan berani pergi dari hotel tanpa seijinku, kau paham?" perintahnya sebelum mobil itu melaju. Jovanka hanya diam menutup wajahnya dengan kedua tangan, tampaknya dia sangat malu dilihat oleh Rich.Setelah kepergian Jovanka, pria itu menemui biro administrasi kampus untuk mencari tahu tentang Jovanka dan betapa terkejut dia saat mendengar gadis itu tidak diijinkan ikut ujian karena belum membayar tunggakan uang semesternya."Bukankah kalian menerima sumbangan yang sangat besar? Seharusnya itu bisa membantu mahasiswa yang sedang kesulitan, kenapa membuatnya semakin tertekan?" kata Rich geram.Dia adalah penyumbang yang paling tinggi di kampus ini. Laporan yang dia dapatkan mengatakan sumbangan itu digunakan untuk beberapa mahasiswa yang kurang mampu, mendapatkan bantuan keringanan potongan uang semester dan pemban