Share

Pendekar Cahaya
Pendekar Cahaya
Author: Omesh

Pangeran Antakara

Di saat senja menjelang, dari jauh gunung Belah terlihat membara dengan warna merah pantulan dari sinar matahari yang sudah mulai masuk ke peraduannya, kontras dengan warna putih salju di puncaknya. Tidak seperti umumnya gunung yang lain, gunung Belah disebut demikian karena salah satu sisinya tegak lurus bagaikan terpotong pisau raksasa. Sebuah bukti dari alam bahwa di dunia ini tidak ada yang sempurna. Selain Itu, di puncak gunung ini pun sering terdengar suara gemuruh sebagai tanda badai dan longsor salju sedang terjadi. Karena itulah orang tidak akan berpikir dua kali untuk lebih memilih membuat tempat tinggal dan bersosialisasi di kaki gunung yang lebih damai, subur dan sejuk. Keindahan pemandangan yang mampu menenangkan hati ini pun menjadi sumber penghasilan bagi beberapa penduduk. Mereka menyediakan penginapan dan rumah makan sebagai mata pencaharian mereka.

Daerah ini biasa disebut dengan Sukasari, merupakan desa yang cukup besar termasuk dalam wilayah Surya Utara salah satu kadipaten dari negeri Antakara.

Semakin petang menjelang malam, sang surya sudah tenggelam menyisakan semburat merah di kaki langit. 2 ekor kuda tampak berjalan tenang tidak terburu-buru. Penunggangnya seperti biasanya para wisatawan dari luar daerah, menunggangi kuda mereka sambil melihat ke sekeliling. Menikmati pemandangan yang indah lukisan Sang Pencipta Yang Agung.

Penunggang kuda itu sepertinya ayah dan anak, melihat gerak geriknya mereka sedang mencari penginapan.

Seorang bapak, tampaknya pemilik penginapan cukup tanggap melihat rejeki yang datang menghampirinya.

“Tuan, apakah anda berdua akan bermalam di sini? Beristirahatlah di penginapan kami, ada kamar yang bersih dan nyaman dengan pemandangan gunung Belah yang indah dari jendelanya,” ucap Bapak itu.

Kemudian dia melanjutkan, “Kami juga menyediakan berbagai menu makanan khas daerah sini, yang tidak akan Anda jumpai di daerah lain.”

Kelakuannya yang sopan dan ucapannya yang menarik, tampaknya berhasil. Perhatian ayah dan anak ini tertuju kepadanya, sehingga mereka berhenti dan turun dari kudanya. Si pemilik penginapan dengan sigap menerima tali kekang kuda dan memerintahkan kepada pembantunya untuk menurunkan bawaan kedua orang tersebut.

Di dalam kamar, sambil menikmati hidangan yang tersedia, kedua orang berbeda usia tersebut mulai terlibat pembicaraan.

“Ayah, apakah itu tujuan kita?” Anak itu bertanya sambil menunjuk gunung yang terlihat dari jendela kamar mereka.

Sang ayah menundukkan kepalanya dan menjawab, “Maafkan hamba Pangeran, di sini tidak ada orang lain, jangan panggil hamba seperti itu, hamba tidak pantas.”

“Mengapa tidak pantas Paman! Paman Nayaka sudah 10 tahun meninggalkan keluarga paman, mendampingiku, membimbing dan melindungiku, itu melebihi tindakan seorang ayah kepada anak kandungnya sendiri Paman,” bantah anak itu.

“Itu sudah menjadi kewajiban hamba Pangeran, janji hamba di hadapan Yang Mulia Ayahanda Pangeran.”

“Baiklah Paman, janji itu sudah selesai sebentar lagi, kembalilah kepada keluarga paman, mereka pasti juga sangat membutuhkan figur seorang ayah”

“Terima kasih Pangeran, keluarga hamba memang membutuhkan hamba, tapi negeri ini lebih membutuhkan Pangeran,” ucap sang Paman.

“Keadilan harus ditegakkan, takhta dan kekuasaan dikembalikan ke jalur yang benar, karena saat ini Antakara sedang dikuasai angkara murka dan manusia-manusia yang serakah,” sang paman melanjutkan.

Siapakah sebetulnya kedua orang ini?

Yang berusia setengah baya adalah Nayaka mantan Komandan Pasukan Pengawal Raja. Tubuhnya tegap, wajah cenderung kotak dengan rahang yang kuat, mata sedikit sipit dengan banyak kerutan di bawah kelopaknya, tapi yang mengejutkan adalah mata itu bersinar sangat tajam. Orang yang terbiasa bergelut di dunia persilatan mengerti bahwa sinar mata tersebut hanya dimiliki oleh orang yang sudah melatih jiwa dan raganya dengan bermeditasi, menyerap energi yang ada di alam ini menjadi sumber kekuatannya. Nayaka memiliki tenaga dalam yang sudah dilatih hampir 30 tahun karena sejak usia 12 tahun dia sudah terbiasa bermeditasi.

Pasukan Khusus Pengawal Raja adalah pasukan yang dibentuk sebagai nyawa cadangan bagi sang Raja. Karena tugas utama mereka adalah keselamatan Raja walaupun nyawa mereka sebagai gantinya. Tetapi kenapa justru pimpinan pasukan ini masih hidup sedangkan Raja Arkha, raja negeri Antakara terbunuh dalam kudeta berdarah yang dilakukan oleh kakak kandungnya sendiri, Pangeran Khandra.

Nayaka mendapatkan tugas lebih penting dari sang Raja, yaitu untuk menyelamatkan pewaris takhta yang sah, putra kandung Raja Arkha, Pangeran Bayu Narendra yang saat itu masih berumur 5 tahun.

Dalam pergolakan di istana itu, Pangeran Khandra dibantu oleh tokoh-tokoh persilatan golongan hitam, salah satunya adalah Bagaskoro si Malaikat Pencabut Nyawa, mantan Panglima Tertinggi kerajaan Antakara pada era Raja sebelumnya yaitu Raja Pramadana ayahanda dari Raja Arkha dan Pangeran Khandra. Raja Arkha melengserkan Bagaskoro dari jabatannya setelah mengetahui dan mendapatkan bukti perbuatan kotornya yaitu menyalah gunakan jabatan untuk kepentingan pribadi. Salah satunya menarik upeti dan pajak melebihi yang seharusnya, dan kelebihan itu masuk ke kantung pribadinya.

Karena dendam dipecat dari jabatannya itulah Bagaskoro mulai menghasut Pangeran Khandra yang memang lumpuh sejak lahir, untuk melakukan kudeta. Alasannya Pangeran Khandralah yang seharusnya berhak atas takhta kerajaan karena beliau adalah anak tertua. Maka pewaris berikutnya adalah putra beliau yang saat ini berusia 10 tahun bernama Pangeran Bhanu Baskara.

Pangeran Khandra sebetulnya tidak terlalu peduli dengan takhta kerajaan mengingat kondisi fisiknya, tetapi beliau sangat menyayangi putranya melebihi apapun di dunia ini, karena itulah beliau tega menghancurkan hubungan kakak adik dengan membunuh adiknya sendiri, Raja Arkha menggunakan racun.

Untunglah masih ada satu barang berupa kitab pusaka, “Kitab Bumi” warisan turun temurun dari raja-raja sebelumnya yang diincar oleh Bagaskoro. Kitab pusaka tersebut dimanfaatkan oleh Raja Arkha sebagai penukar keselamatan Pangeran Bayu Narendra dan Permaisuri Safira.

Tetapi Bagaskoro tidak mau meninggalkan masalah di kemudian hari, dengan ilmunya yang tinggi disegelnya cakra pusat energi di tubuh Pangeran Bayu sehingga seumur hidup tidak akan bisa memiliki tenaga dalam lagi, sedangkan Permaisuri diasingkan di daerah terpencil, hanya ditemani oleh seorang dayang, dengan disertai ancaman bila Permaisuri keluar dari pengasingan Pangeran Bayu akan dibunuh.

Begitulah Nayaka dipercaya oleh Raja Arkha untuk melindungi Pangeran Bayu dan sebuah pesan rahasia untuk membawa pangeran di usia 15 tahun ke tempat sesuai peta yang diambilnya di tempat rahasia sesuai petunjuk Yang Mulia sebelum ajalnya.

Itulah sebabnya Nayaka saat ini berdiri di lereng gunung Belah, bersama Pangeran Bayu, menghadap ke arah dua buah batu besar membentuk gapura alami di bibir jurang yang tidak tampak dasarnya. Hanya hamparan putih awan yang bergulung-gulung bagaikan kapas yang terlihat saat mereka menengok ke bawah. Biasanya orang harus mendongak ke atas bila ingin melihat awan, di sini awan-awan itu berada di bawah kaki mereka. Sungguh sebuah karya agung dari Sang Pencipta. Mereka terpana sesaat, melupakan lelahnya perjalanan barusan, melupakan permasalahan selama ini, dendam dan perebutan kekuasaan antar saudara.

Tapi Nayaka segera tersadar dan membuka peta serta membaca sederet tulisan kecil di bawahnya, ‘berdirilah di antara 2 batu, turunlah ke bawah kembali ke tanah leluhur’

Sampai sekarang dia tidak mengerti apa yang dimaksud dengan kalimat ini. Apakah berarti pangeran Bayu harus bunuh diri dengan terjun ke dalam jurang. Nayaka adalah mantan pengawal Raja, bila dia yang diperintahkan untuk terjun ke jurang oleh sang Raja, tanpa bertanya apapun dia akan langsung loncat ke dalam jurang itu. Tetapi sekarang putra sang Raja yang berada dalam lindungannya yang harus masuk ke jurang di hadapannya, hatinya benar-benar bimbang, apa yang harus dilakukannya. Akhirnya dengan terpaksa diambilnya tali panjang dalam karung yang sudah disiapkannya sejak awal perjalanan. Tali tersebut diikatkan pada 2 batu besar dengan diatur supaya menjuntai ke jurang tepat di antara 2 batu.

“Turunlah Pangeran ikatkan tali ini di pinggang dan peganglah dengan erat, hamba akan menurunkan Pangeran pelan-pelan,” Nayaka mengangsurkan ujung tali kepada Pangeran Bayu.

“Bila ada sesuatu yang aneh, teriaklah Pangeran, maka hamba akan menarik kembali Pangeran ke atas.”

“Baik Paman, aku percayakan semuanya kepadamu.” Lalu Nayaka mulai menurunkan pangeran Bayu dengan mengulur tali tersebut pelan-pelan. Sudah setengah panjang tali terulur, tidak ada kejadian apapun, tiga perempat panjang tali, hingga sedikit lagi tali terulur habis. Tiba-tiba Nayaka merasakan tali itu bergerak lebih kencang dan ada suara yang tidak jelas dari bawah jurang. Dia menghentikan uluran tali, tapi tali itu masih terus bergoyang, hingga tiba-tiba pegangan pada talinya terasa ringan. Tepat pada saat itu terdengar suara teriakan panjang dari Pangeran Bayu,

“Aaaaaaarrrggh ... ” Lalu sunyi, hanya desiran angin gunung dan derik serangga di pohon dan di bawah batu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status