Share

Kudeta Berdarah

Nayaka terkesima, lalu dengan nekat dia menuruni tali tersebut menyusul pangeran Bayu, hingga tiba di ujung tali tidak ditemuinya hal yang aneh hanya batuan di dinding tebing yang keras dan tajam, dia menduga hal inilah yang menyebabkan tali ini putus. Nayaka memutuskan untuk naik lagi dan mencari jalan lain untuk menuruni dasar jurang tersebut. Setelah cukup lama mencari jalan lain yang menuju ke dasar jurang tersebut, akhirnya keesokan harinya sampailah ia di dasar jurang dimana diperkirakannya tepat di bawah 2 batu besar seperti gapura itu. Di sini adalah padang ilalang yang cukup tinggi, setinggi paha orang dewasa, sehingga sulit sekali untuk mencari sesosok tubuh atau mayat seseorang di tengah-tengahnya. Tetapi Nayaka tidak putus asa disisirnya terus daerah tersebut pada area yang cukup luas dengan berjalan bolak balik, tapi hasilnya nihil.

[POV Pangeran Bayu]

Tidak akan pernah kulupakan seumur hidupku, kejadian hari itu. Paman Khandra berkunjung ke istana utama, kediamanku bersama ayahanda raja dan bunda sebagai satu-satunya istri sah Ayahanda yang berarti Permaisuri Utama kerajaan Antakara.

Paman disambut dengan hangat oleh bunda dan ayahanda, sementara aku berjalan di belakang memegang pakaian bunda, selama ini hubungan ayahanda dan paman memang sangat baik. Ayahanda sangat menyayangi dan menghormati kakaknya yang cacat ini.

Hari itu paman membawa sebuah guci berhiaskan gambar bangau merentangkan sayapnya sangat indah dan hidup sekali. Paman dipersilahkan duduk berdampingan dengan ayahanda hanya dipisahkan sebuah meja kecil tempat paman meletakkan gucinya.

“Adi hari ini diriku beruntung sekali, ada seorang teman yang mengirimkan hadiah berupa ginseng berusia ribuan tahun, yang dibelinya dari saudagar asal negeri seberang. Kabarnya ginseng ini bisa meningkatkan tenaga dalam orang yang memakannya sebanyak 10 tahun waktu berlatih. Adi makanlah, sudah kubuat jadi sup dengan tambahan sarang burung sehingga lebih lezat dan bertambah khasiatnya.”

“Terima kasih Kanda, tapi bukankah Kanda lebih membutuhkannya, siapa tahu bisa menyembuhkan kaki Kanda,” jawab ayahanda.

“Ah Adi, kakiku ini sudah cacat sejak lahir, percuma saja tidak ada obat apapun yang bisa menyembuhkannya.”

“Makanlah!” Paman melanjutkan sambil membuka guci tersebut, segera tercium bau yang sangat harum dan sedap merangsang nafsu makan.

Ayahanda mengambil sendok dan menyuapkan sup itu ke mulutnya, berdecap-decap sambil memuji, “Ini benar-benar enak sekali Kanda”

“Ha ha ha ... benarkan apa yang kubilang, habiskanlah Adi”

Ayahanda memakan sup itu lahap sekali hingga pindahlah semua isi guci itu ke dalam perutnya.

Tapi tak lama kemudian tiba-tiba wajah ayahanda berubah, tangan kirinya memegang dada dan tangan kanannya menunjuk ke arah paman Khandra, “Kanda apa yang kau berikan padaku?” Wajah ayahanda berubah semakin mengerikan warna kehitam-hitaman menyelimuti hampir seluruh wajahnya ditambah kerut-kerut karena menahan sakit, beberapa saat kemudian terlihat darah mengalir dari mulutnya. Bunda menjerit khawatir dan memeluk ayahanda, “Kenapa ini? Apa yang kau rasakan Kanda?” Bersamaan dengan itu terdengar seseorang tertawa terbahak-bahak dari luar pintu masuk. Muncullah sesosok tubuh yang tinggi besar dengan cambang dan berewok yang menutupi separuh wajahnya bagian bawah.

“Bwua ha ha ha ... Yang Mulia, apa kabar? Pernahkah terbayang di benakmu suatu saat keadaan terbalik, kekuasaanmu tidak ada artinya bagiku.”

Ayahanda melotot kepada orang yang baru datang itu, “Bagaskoro pengkhianat rendah, rupanya engkau yang menghasut Kanda Khandra melakukan perbuatan licik ini.”

Sementara di luar ruangan sudah terjadi pertarungan antara pasukan pengawal Raja dipimpin oleh Paman Nayaka dan sekelompok orang-orang aneh yang jelas segolongan dengan Paman Khandra dan raksasa bernama Bagaskoro tadi.

Paling depan adalah seorang kakek dengan tubuh bungkuk memegang tongkat yang ujungnya berbentuk kepala ular, agak serong ke belakang seorang yang entah laki-laki atau perempuan memegang payung yang ujungnya lancip seperti mata tombak dan tudung payungnya terbuat dari lapisan logam yang tipis, sedangkan jari-jari payungnya menonjol keluar mirip seperti ujung paku. Orang ketiga wanita setengah baya yang riasan wajahnya mencolok sekali, bedak yang tebal dan pemerah bibir dengan warna merah menyala seakan-akan habis minum segelas darah segar. Orang keempat bertubuh gemuk dengan kepala gundul dan mulut selalu tertarik ke samping seperti orang tertawa. Masih ada beberapa orang lagi tetapi berdiri lebih jauh di luar ruangan sehingga aku tidak bisa melihatnya dengan jelas.

Di dalam ruangan si Raksasa Bagaskoro berkata, “ Yang Mulia, aku hanya berusaha menata kembali jalur kekuasaan pada tempatnya, Pangeran Khandra adalah anak tertua sudah selayaknyalah takhta itu menjadi hak beliau dan keturunannya kelak.”

“Tutup mulutmu pengkhianat, semua ini bukan kehendakku, melainkan titah dan petunjuk dari sang pencipta yang diterima oleh Ayahanda Pramadana setelah bermeditasi selama tujuh hari tujuh malam.” Lalu ayahanda melanjutkan ucapannya kepada Paman Khandra “Kanda, jujurlah apakah ini memang kehendakmu? Apa yang kau inginkan sebenarnya?”

“Maafkan aku Adi, bukan untukku semua ini kulakukan, tetapi putraku dan cucuku kelak yang seharusnya berhak atas semuanya ini.”

“Baiklah Kanda, waktuku sudah tidak lama lagi, mengingat hubungan kita yang masih sedarah, mohon kabulkan permohonan terakhirku ini. Biarkan istri dan putraku keluar dari sini dengan selamat. Mereka akan menjadi rakyat biasa yang tidak akan mempermasalahkan lagi kekuasaan dan tidak akan menuntut apapun terhadap dirimu dan keturunanmu kelak.”

“Tidak bisa!” si Raksasa Bagaskoro yang menjawab. “Sebentar lagi engkau akan mati, siapa yang bisa memastikan kelak putramu tidak akan menuntut balas kepada kami.”

Ayahanda menjawab dengan suara semakin lemah, “Jadi apa kehendakmu?”

“Aku sudah tahu bahwa di kerajaan Antakara ini ada sebuah kitab pusaka yang disebut ‘Kitab Bumi’. Kitab ini diwariskan turun temurun dari Raja lama kepada Raja penggantinya. Itulah sebabnya mengapa Raja Antakara selalu memiliki ilmu yang tinggi dan tak ada seorangpun di negeri ini yang dapat menandinginya.”

Raksasa Bagaskoro melanjutkan, “Aku memberikan kesempatan istri dan putramu tetap hidup asalkan kau serahkan kitab itu kepadaku.”

Ayahanda tanpa berpikir lagi langsung menjawab, “Baik, panggil Nayaka ke sini, akan kusuruh mengambil kitabnya”

Beberapa saat, “Hamba Nayaka, siap melaksanakan perintah Yang Mulia”

“Mendekatlah!” Ayahanda memanggil dan membisikkan perintahnya di telinga Paman Nayaka, tampak Paman mengangguk-angguk tanda mengerti, lalu Paman Nayaka meninggalkan ruangan itu, kondisi ayahanda semakin kritis nafasnya terengah-engah, bunda menangis sambil membaringkan kepala ayahanda di pangkuannya. Aku dengan suara terisak memanggil-manggil ayahanda sambil menggenggam tangannya.

Tidak sampai setengah jam Paman Nayaka sudah kembali dengan sebuah kotak yang tampak sudah tua sekali karena permukaannya yang kusam dan di sana sini ada serat kayunya yang terkelupas.

Melihat kotak itu si Raksasa Bagaskoro sudah tidak sabar dan merebutnya dari tangan Paman Nayaka, membukanya dan mengeluarkan isinya yang ternyata adalah sebuah kitab yang lebih usang dari kotaknya, tetapi si Raksasa Bagaskoro memandangnya melebihi emas dan permata. Sambil tertawa terbahak-bahak dia mendekatiku memegang tengkukku. Dengan sisa tenaganya Ayahanda membentaknya, “Mau apa kau?”

“Tenanglah aku pegang janjiku, aku tidak akan membunuh bocah ini.” Bersamaan dengan itu aku mulai merasakan hawa panas masuk melalui belakang leherku, merambat di tulang belakang semakin panas dan mencengkeram sehingga tanpa sadar aku berkeringat dan mengeluh, semakin lama semakin sakit, mencapai puncaknya ketika panas itu menjalar ke perut bagian bawahku dan terasa meremas dengan kuat sekali, sakitnya tak tertahankan hingga akhirnya aku tak sadarkan diri.

Itulah kejadian terakhir yang kurasakan di istana.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status