Share

Iblis Seribu Racun

Menteri Supala segera mengalirkan tenaga dalamnya ke tubuh orang tersebut, mencegah racun menyerang jantung. Orang tersebut membuka matanya.

Pakuwon berteriak cemas, “Aryasuta ini aku Pakuwon! Bersama dengan Tuan Menteri Supala, jelaskanlah dimana Permaisuri Safira berada.”

“Uhuk ... uhuk ... hoek!” Aryasuta memuntahkan darah hitam berbau amis, tampaknya nyawanya tidak bisa dipertahankan lebih lama lagi.

Menteri Supala menyalurkan tenaga dalamnya semakin deras. Dia berharap Aryasuta bisa menyampaikan keberadaan Permaisuri Safira.

“Surya ... Bar... at, de ... kat da ... nau, hoeeek!” Aryasuta muntah darah lagi dan melayanglah jiwanya. Kematian yang tragis. Selama ini Aryasuta ketakutan, bersembunyi, lari dari kejaran kakek bertongkat kepala ular, tetapi akhirnya tewas di tangan orang itu juga.

**

Siapakah kakek bertongkat kepala ular itu sebenarnya?

Kakek itu adalah seorang datuk persilatan penguasa Lembah Ular di daerah Surya Barat. Dia seorang pawang ular yang terkenal kejam dan ganas, orang dunia persilatan mengenalnya sebagai Iblis Seribu Racun. Nama aslinya adalah Permadi. Dulunya dia adalah seorang pelayan di rumah seorang kaya, keluarga adipati Surya Barat, karena sering disiksa dan mengangkat beban berat, tubuhnya jadi bungkuk.

Suatu ketika Permadi disuruh mengirim barang ke salah satu kerabat majikannya. Untuk mempersingkat waktu dia memilih jalan yang melewati lembah Ular. Di sini tiba-tiba kuda yang ditungganginya meringkik keras dan mengangkat kedua kaki depannya sehingga Permadi terjatuh.

Permadi mengomel panjang pendek, “Kuda sialan! Apa-apaan main angkat kaki seenaknya. Apa kau pikir tidak sakit jatuh begini? Adu ... du ... duh pantatku. Eh malah kabur lagi, hoooi ... kembali kuda jelek.”

Ketika Permadi akan berdiri didengarnya suara desis yang keras, “Ssssssssssss ... “ Dan ratusan ekor ular berbagai jenis sedang merayap ke arahnya dari samping. Permadi terpana, bulu tengkuknya berdiri, dia bergidik.

Lebih aneh lagi ternyata ular-ular itu seperti dipimpin oleh seekor ular yang merayap paling depan. Tubuhnya tidak terlalu besar hanya warnanya merah cerah dan ada semacam jengger berwarna kuning di atas kepalanya sehingga menyerupai mahkota. Raja ular ini mengerutkan tubuhnya dan tiba-tiba meloncat bagaikan terbang menyerang Permadi. Kaget diserang seperti itu Permadi refleks mengibaskan tangan kirinya, sial, malah tangan kirinya yang digigit oleh sang raja ular. Permadi berteriak kesakitan, “Wadaaooww ... “ Lalu dengan panik dikibas-kibaskannya tangan kirinya berharap ular tersebut lepas, tapi ternyata gigitannya malah semakin kencang. Karena panik dan gemas ular itu masih menempel di tangannya, dipegangnya badan ular itu dan digigitnya dengan kuat. Seketika darah ular itu merembes keluar, masuk ke mulutnya, ternyata tidak terlalu amis bahkan ada sedikit rasa manis. Permadi kalap, disedotnya terus darah raja ular itu. Anehnya setelah minum darah ular tersebut dirinya tidak merasa keracunan, justru badannya menjadi segar. Tak butuh waktu lama malah sang Raja Ular yang terkulai lemas di tangannya dan melepaskan gigitannya.

Permadi bangkit berdiri. Gerombolan ular di hadapannya malah mundur. Tidak ada seekorpun yang berani maju menyerangnya. Ketika dia maju, gerombolan ular yang jumlahnya ratusan itu malah menyingkir ke kanan dan kiri menyisakan jalan di tengah mereka. Permadi heran dan takjub dengan pemandangan ini. Dia disambut bagai seorang Raja oleh kawanan ular ini. Dia berjalan ke dalam lembah Ular yang selama ini tak terjamah seorangpun. Semakin ke dalam, ular-ular itu masih mengikutinya. Akhirnya sampailah ia di ujung lembah dimana dinding tebing tinggi menghadangnya. Dinding alam ini dipenuhi tumbuhan rambat, sangat rapat sehingga sama sekali tak terlihat dindingnya. Permadi berhenti, tetapi ular-ular itu merayap terus melewati bawah tanaman rambat dan menghilang. Ratusan ular yang mengikutinya melata menuju ke arah yang sama dan tidak muncul lagi.

Permadi berpikir, “Apakah ada gua di balik tanaman rambat ini? Mungkin itu adalah sarang dari ular-ular ini.” Untuk membuktikan dugaannya dia mencabuti tanaman rambat itu. Ternyata benar, ada mulut gua yang tidak terlalu besar sehingga orang harus membungkuk untuk melewatinya. Dimasukinya gua itu dan ternyata di dalamnya cukup luas, langit-langitnya tinggi dan ada lubang besar di tengahnya sehingga kondisi gua tidak gelap maupun pengap. Tetapi yang mengerikan adalah pemandangan di lantai gua. Ribuan ular meliuk-liuk, ada yang melingkar, mengangkat kepalanya bahkan ada yang saling melilit entah bertarung atau sedang kawin.

Permadi memberanikan diri melangkah ke dalam gua, peristiwa seperti di luar tadi terulang lagi setiap dia melangkahkan kaki ular-ular yang ada di sekitarnya segera menyingkir. Permadi memandang berkeliling, dilihatnya dinding gua bagian barat seperti tergores-gores, didekatinya dinding itu ternyata ada tulisan dan gambar orang dengan berbagai posisi. Dibacanya tulisan itu dimulai dari yang paling kiri, Hanya yang berjodoh bisa masuk ke sini, kuwariskan ilmuku kepadamu, tertanda Dewa Ular. selanjutnya adalah teori cara melatih pernafasan dan mengolah tenaga dalam, serangkaian jurus tangan kosong yang disebut ‘Tangan Beracun’, serangkaian lagi jurus tongkat, dan terakhir cara meracik dan membuat racun serta pemunahnya.

Permadi terpana, dia tidak mengira akan seberuntung ini mendapatkan warisan ilmu yang hebat dari sang ‘Dewa Ular’.

Sejak saat itu Permadi tinggal di Lembah Ular dan tekun mempelajari ilmu-ilmu yang ditinggalkan sang Dewa Ular.

Waktu terus berlalu, bertahun-tahun Permadi melatih ilmunya, hingga akhirnya dia merasa cukup puas dengan hasil latihannya. Teringatlah dia akan perlakuan kejam majikannya serta upahnya yang belum diterima. Didatanginya rumah majikannya, masih besar dan sangat megah seperti dulu, hanya sekarang ada 2 orang berjaga di depan gerbang.

“Hei ... hei ... hei mau apa kau?” bentak salah seorang penjaga dengan kasar.

“Aku dulu bekerja di sini, sekarang aku akan minta upahku yang dulu belum dibayar,” jawab Permadi sambil memandang kedua penjaga itu dengan pandangan meremehkan.

“Jangan sembarangan omong! Mana mungkin Tuan tidak membayar upah pembantunya, sebutkan namamu! Aku akan tanyakan kepada Tuan,” bentak penjaga yang lain.

“Permadi, namaku Permadi,” jawab Permadi sambil mencungkil-cungkil giginya dengan jari.

Penjaga itu langsung masuk ke dalam. Tak lama kemudian keluar lagi, diiringi seseorang yang tambun tubuhnya, mengenakan pakaian yang mewah, inilah bekas majikan Permadi yaitu Tuan Margono, dengan angkuh dia berkata, “Hei benar engkau Permadi! Berani sekali kau kembali ke sini, kembalikan kuda yang kau bawa kabur itu!”

Permadi mendekati tuan Margono sambil berkata, “Kuda sialan yang membuatku jatuh hingga digigit ular, sudah untung aku tidak minta ganti rugi, hei Margono cepat bayar upahku beserta bunganya.”

Tuan Margono mengertakkan giginya, wajahnya memerah karena marah, “Kurang ajar!” Diayunkannya tangannya untuk menampar mulut Permadi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status